Yunda sudah terbiasa memulai harinya sebelum matahari sepenuhnya terbit. Setiap pukul lima, matanya akan terbuka dengan sendirinya, bahkan sebelum alarm ponselnya berbunyi.
Hidupnya berjalan dalam pola yang nyaris sama setiap hari: bangun, mandi, menyeduh kopi hitam tanpa gula, lalu merias diri. Di sela rutinitas itu, ada satu hal yang tak pernah ia lewatkan, yaitu mengirim pesan singkat kepada kepala pelayan di rumah Geral untuk menyiapkan pakaian dan aksesori apa saja yang akan dikenakan lelaki itu.
Namun, pagi ini berbeda. Dia belum melakukannya. Ada keraguan yang memenuhi benaknya. Geral telah menjadi suami orang. Bagaimana jika istrinya telah mengambil alih tugas itu? Bagaimana jika hari ini Geral datang ke kantor dengan setelan yang sama sekali tidak mengikuti arahannya?
Yunda tidak ingin menelan pahitnya kekecewaan. Tapi semua prasangka itu sekejap sirna kala Geral menghubunginya.
“Kau baik-baik saja?” Suara Geral terdengar cemas di seberang.
“Ya, ada apa?”
“Kau tidak mungkin kesiangan, kecuali jika kau tidak enak badan, Sayang.”
“Aku baik-baik saja. Sungguh.”
“Lalu, kenapa kau belum menyuruh Bibi Eva menyiapkan pakaianku? Apa… aku sudah berbuat salah tanpa kusadari?”
Senyum langsung merekah di wajah Yunda. Rupanya kekhawatirannya memang tidak berdasar.
“Astaga, maafkan aku. Aku baru mau menghubunginya. Pemanas air di kamar mandiku sempat bermasalah tadi,” dalihnya cepat.
“Sudah hubungi petugas?”
“Sudah, Sayang.”
“Syukurlah. Kalau begitu, cepat katakan apa yang harus kupakai, atau… kau lebih suka melihatku datang telanjang ke kantor?”
Tawa Yunda meledak. Dari balik telepon, ia mulai mengarahkan satu per satu barang yang akan dikenakan Geral, dari jas hingga sepatu.
“Pakai jam tangan yang ada di kotak kaca deretan paling bawah, urutan ketiga dari kiri,” pungkasnya.
“Bagaimana kau bisa tahu letak semua barang-barang ini tanpa melihatnya? Jangan-jangan, kau memasang kamera pengawas di ruang wardrobe-ku.” Geral tergelak.
Yunda ikut terkekeh, “Jangan lupa, aku sekretaris sekaligus kekasihmu, Pak Geral.”
“Aku tiba-tiba merindukan sekretarisku yang cantik.”
“Kalau begitu, sampai nanti di kantor, Pak CEO.”
Namun, senyuman yang menghiasi wajah Yunda segera membeku saat kembali mendengar suara kekasihnya.
“Hari ini… Rosa mungkin akan ikut ke kantor. Kakekku ingin aku mengenalkannya dengan jajaran direksi dan manajemen,” ucap Geral, terdengar berat dan hati-hati.
“Baiklah,” sahut Yunda singkat. “Mau disiapkan dua kopi?”
“Bukan itu maksudku, Sayang.” Ada jeda sebelum terdengar desahan pelan, “Aku mungkin saja memperlakukannya sebagai… istriku di depan para pegawai… di depanmu…”
Keheningan menggantung sejenak. Pekat. Cukup untuk melenyapkan senyum di wajah Yunda tanpa sisa. Tentu saja Geral harus memperlakukan wanita itu layaknya seorang istri di hadapan para pegawai, sementara Yunda, si sekretaris akan tetap berada di balik mejanya. Tersenyum dan bersikap baik-baik saja.
“Aku mengerti,” kata Yunda akhirnya. “Aku akan pastikan semua menyambut kedatangannya dengan baik.”
Dia menutup telepon dengan pelan. Tatapannya tertuju pada pantulan dirinya di cermin rias. Riasannya tampak natural dengan bibir berwarna nude matte dan rambut hitam terurai yang bergelombang di bagian ujung. Dia mengenakan blus satin warna putih dengan aksen pita di leher, terselip rapi ke dalam celana panjang high-waist berwarna cokelat gelap.
Ditariknya napas dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Dia sontak bangkit. Langkahnya cepat menuju lemari. Dengan gerakan tergesa-gesa bercampur gelisah, ia mengobrak-abrik deretan pakaian di sana, menemukan setelan blazer dan rok pendek berwarna krem yang nyaris tak pernah disentuh karena sudah kekecilan. Namun pagi itu, Yunda memutuskan untuk memakainya, lengkap dengan dalaman ketat yang sedikit menonjolkan belahan dadanya.
Dia lantas kembali ke meja rias. Tanpa ragu menghapus makeup-nya dan memulai dari awal dengan warna yang lebih berani. Eyeliner-nya digores lebih tegas dan lipstiknya diganti ke warna mawar tua yang segar namun menyengat.
Tampak kekanak-kanakan memang. Tapi Yunda tidak mau terlihat kalah dari wanita yang kini menyandang status istri sah kekasihnya. Jika ia harus berada di dekat mereka, maka ia akan berdiri tegak sebagai Ayunda. Sekretaris yang tangguh sekaligus pemilik hati sang CEO.
Setelah menyemprotkan parfum ke sekujur tubuh, ia melangkah ke lemari sepatu di dekat pintu apartemen. Secara tak sengaja, ia menangkap sosoknya pada kaca tinggi di samping rak.
Yunda terpaku. Diam.
Yang ia lihat di sana bukanlah dirinya. Dan, air matanya seketika menitik.
****
Yunda tiba di kantor tepat waktu—kurang lima menit dari pukul delapan. Sedikit lebih lambat dari biasanya. Dia selalu datang setidaknya setengah jam sebelum waktu kerja dimulai. Dengan napas sedikit terengah, ia menjatuhkan tubuh ke kursinya
“Tumben datang jam begini,” sapa Wira sembari meletakkan sebotol air mineral di mejanya.
“Thanks.” Yunda langsung meraih botol itu dan meneguknya sedikit. “Aku agak kesiangan.”
“Tumben,” ulang Wira, kali ini disertai segaris senyum nakal sebelum berbalik menuju mejanya di seberang ruangan.
Lelaki itu pasti mengira Yunda menghabiskan malam bersama Geral. Padahal kenyataannya, ia datang lebih lambat karena kembali mengganti pakaiannya dengan yang semula dan menghapus riasan yang benar-benar bukan dirinya.
Kecemburuan telah membutakannya sesaat. Hampir saja ia kehilangan akal dan datang ke kantor seperti wanita murahan yang siap menggoda siapa pun lelaki yang dilaluinya.
Kini, tak ada waktu untuk tenggelam dalam perasaannya sendiri. Dengan sigap, ia menyalakan laptop dan mulai bekerja. Jemarinya bergerak lincah di atas papan ketik, menyusun pemberitahuan untuk seluruh jajaran yang akan menghadiri rapat hari ini perihal kunjungan Ibu Rosaline.
Tidak ada yang tahu bahwa di sela-sela teks emailnya, ada sesuatu yang mencekik dadanya.
Yunda sudah terbiasa memulai harinya sebelum matahari sepenuhnya terbit. Setiap pukul lima, matanya akan terbuka dengan sendirinya, bahkan sebelum alarm ponselnya berbunyi.Hidupnya berjalan dalam pola yang nyaris sama setiap hari: bangun, mandi, menyeduh kopi hitam tanpa gula, lalu merias diri. Di sela rutinitas itu, ada satu hal yang tak pernah ia lewatkan, yaitu mengirim pesan singkat kepada kepala pelayan di rumah Geral untuk menyiapkan pakaian dan aksesori apa saja yang akan dikenakan lelaki itu.Namun, pagi ini berbeda. Dia belum melakukannya. Ada keraguan yang memenuhi benaknya. Geral telah menjadi suami orang. Bagaimana jika istrinya telah mengambil alih tugas itu? Bagaimana jika hari ini Geral datang ke kantor dengan setelan yang sama sekali tidak mengikuti arahannya?Yunda tidak ingin menelan pahitnya kekecewaan. Tapi semua prasangka itu sekejap sirna kala Geral menghubunginya.“Kau baik-baik saja?” Suara Geral terdengar cemas di seberang.“Ya, ada apa?”“Kau tidak mungkin k
Geral baru saja melangkahkan kaki ke dalam kamar ketika sebuah bantal melayang tepat ke wajahnya. Tidak sakit, tapi cukup mengejutkan. Tidak pernah ada manusia yang seberani ini padanya.“Aku sebenarnya ingin melemparmu dengan vas bunga,” ucap Rosa dengan nada sinis.Geral menarik napas panjang, “Karena kau sudah kurang ajar, aku tidak akan minta maaf.”“Aku tidak butuh permintaan maaf darimu!” bentak Rosa, berdiri tegak dengan tangan di pinggang. “Dan asal kau tahu, kaulah yang lebih kurang ajar! Meninggalkanku sendirian di hotel hanya beberapa jam setelah pesta, lalu mengurungku di sini bersama orangmu yang menyebalkan. Kau juga mengabaikan telpon dan pesanku, Brengsek!”Geral memilih diam, enggan membuang energi meladeni perempuan yang—dalam pandangannya—lebih mirip nenek sihir daripada seorang artis papan atas.“Baiklah,” ucap Geral akhirnya. “Kau mau terus mengomel di sini atau ikut pulang denganku?”Rosa mendengus. Dia mencopot kacamata hitam yang bertengger di kepalanya, lalu m
Semua orang mengenalnya, Ayunda Anindya Kusuma. Gadis peraih beasiswa penuh yang tak hanya memikat lewat prestasi, tapi juga parasnya yang tenang sekaligus teduh. Sejak awal semester, namanya melambung di antara para mahasiswa baru di kampus bergengsi itu.Tidak terhitung berapa banyak laki-laki yang berusaha menarik perhatiannya. Mulai dari cara yang paling sederhana hingga paling mencolok. Geral termasuk salah satunya. Seorang lelaki tinggi yang lumayan tampan—setidaknya, itu kesan pertama Yunda padanya.Hari itu, langit sedang tidak bersahabat. Awan kelabu menggantung sejak siang dan akhirnya menumpahkan hujan deras menjelang sore. Lorong-lorong gedung fakultas dipenuhi mahasiswa yang berteduh meski sebagian akhirnya nekat menerobos hujan.Yunda berdiri memeluk buku-bukunya, menyesal telah mengabaikan nasihat teman sekamarnya untuk membawa payung. Kini, ia hanya bisa menunggu dengan gelisah karena sejam lagi ia harus masuk kerja paruh waktu.“Sedang menunggu langit berubah pikiran?
Mobil terus melaju seiring bertambahnya kerutan di kening Yunda. Malam makin larut, dan ia mulai sadar ini bukan jalan menuju apartemennya.“Kita mau ke mana?” tanyanya pelan, melirik lelaki di sampingnya.Geral menyunggingkan senyum, menoleh sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. “Coba tebak.”Yunda mengalihkan pandang ke luar jendela. Jalanan ini tak asing baginya. Jalur yang biasa ia lewati setidaknya satu-dua kali dalam sebulan.“Ini jalan ke bandara, Geral.”Lelaki itu kembali tersenyum, kali ini tanpa berkata apa-apa. Yunda memilih diam sembari menanti ke mana lelaki itu hendak membawanya. Dan benar saja, mobil berhenti di area parkir bandara.Geral segera turun, berlari kecil ke sisi kiri mobil, lalu membukakan pintu untuknya. Yunda melangkah turun diiringi sekelebat ragu sekaligus bingung. Terlebih saat melihat Wira berdiri tidak jauh dari sana—masih mengenakan setelan jas biru tua dari pesta tadi. Lelaki itu menghampiri mereka sambil menyeret dua buah koper abu-abu.“Selamat
Pesta telah usai. Begitu pula senyum yang sempat menghiasi wajah Geral telah menghilang. Kini, ia berada di presidential suite bersama wanita yang secara hukum telah menjadi istrinya.Rosaline atau yang kerap disapa Rosa berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya yang masih berbalut gaun pengantin. Dia adalah seorang model sekaligus selebriti papan atas. Hidupnya bergelimang kemewahan dan sorotan kamera.Meski dibesarkan dalam keluarga kaya raya—pemilik sebuah perusahaan elektronik ternama—Rosa ingin menjalani hidup sesuai keinginannya sendiri. Melakukan apa yang ia suka, termasuk tidak ingin dikekang dalam ikatan sebuah pernikahan. Namun, ia akhirnya menerima perjodohan keluarganya demi satu tujuan: menepis rumor yang menudingnya sebagai wanita simpanan seorang sutradara terkenal yang telah beristri.“Hari ini melelahkan. Aku mau istirahat. Sampai bertemu besok,” kata Geral, berlalu menuju sebuah pintu lain di kamar.“Setidaknya bantu aku melepaskan gaun merepotkan ini,”
“Aku akan menikah.”Kalimat itu meluncur dari bibir Geral, menyusup seperti racun ke kerongkongan Yunda. Pahit dan membekukan. Bibirnya kelu. Pandangannya kosong, menatap nanar ke luar jendela besar yang membingkai kemilau kota di malam hari.“Jadi kau sudah memutuskan?” tanyanya dengan suara parau.Geral menggumam pelan, mengeratkan pelukannya. Dada bidangnya menempel di kulit punggung Yunda. Terasa hangat, tapi tak cukup mampu mengusir dingin yang menyelimuti hati perempuan itu.“Aku tidak punya pilihan, Sayang. Kau tahu betapa pentingnya Grand Aurora bagiku.”Jadi, Yunda tidak sepenting itu?Namun, ia memilih diam. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi selama itu, Geral tidak pernah benar-benar berani mengakui siapa Yunda dalam hidupnya. Bahkan pada keluarga besarnya, ia tidak mampu memperkenalkan Yunda sebagai perempuan yang ia cintai, yang ingin ia bahagiakan sepenuh hati.Di mata orang, Yunda tidak lebih dari sekadar sekretaris yang senantiasa membantu Geral melaksanakan