LOGINGeral baru saja melangkahkan kaki ke dalam kamar ketika sebuah bantal melayang tepat ke wajahnya. Tidak sakit, tapi cukup mengejutkan. Tidak pernah ada manusia yang seberani ini padanya.
“Aku sebenarnya ingin melemparmu dengan vas bunga,” ucap Rosa dengan nada sinis.
Geral menarik napas panjang, “Karena kau sudah kurang ajar, aku tidak akan minta maaf.”
“Aku tidak butuh permintaan maaf darimu!” bentak Rosa, berdiri tegak dengan tangan di pinggang. “Dan asal kau tahu, kaulah yang lebih kurang ajar! Meninggalkanku sendirian di hotel hanya beberapa jam setelah pesta, lalu mengurungku di sini bersama orangmu yang menyebalkan. Kau juga mengabaikan telpon dan pesanku, Brengsek!”
Geral memilih diam, enggan membuang energi meladeni perempuan yang—dalam pandangannya—lebih mirip nenek sihir daripada seorang artis papan atas.
“Baiklah,” ucap Geral akhirnya. “Kau mau terus mengomel di sini atau ikut pulang denganku?”
Rosa mendengus. Dia mencopot kacamata hitam yang bertengger di kepalanya, lalu mengenakannya dengan gerakan angkuh. Tanpa bicara, ia berjalan melewati Geral, menyambar lengan lelaki itu.
“Kau dipecat! Jangan pernah lagi muncul di hadapanku!” hardiknya pada Wira yang berdiri tak jauh di belakang Geral.
Wira hanya meringis, geleng-geleng kepala menyaksikan wanita berambut kecokelatan itu melenggang pergi.
Geral menoleh, menatap dengan alis berkerut. “Memangnya apa yang sudah kau lakukan padanya?”
“Dia menyebalkan,” jawab Wira enteng. “Dia pikir aku pelayannya yang ke mana-mana harus siap melayani. Kalau kau menyuruhku berurusan dengannya lagi, aku yang akan menyerahkan surat pengunduran diri duluan.”
Geral terkikik, begitu juga Wira. Keduanya sama-sama tahu hal semacam itu tidak akan pernah terjadi. Persahabatan mereka sudah terjalin sejak SMA. Setiap duka maupun suka yang dilalui Geral, Wira selalu ada di sisinya. Dia bukan lagi sekadar tangan kanan, melainkan sudah seperti keluarga. Bahkan, lebih dekat daripada keluarga Geral sendiri.
“Bagaimana dengan Yunda?” tanya Wira kemudian.
“Dia baik-baik saja. Setidaknya, begitu yang kulihat.” Geral menghela napas. “Kami berpisah saat transit di Dubai.”
“Apa dia tahu kau menyusul Rosa ke sini?”
“Tentu saja.”
Geral tidak akan menyembunyikan apa pun dari wanita itu. Kejujuran adalah satu-satunya hal yang bisa ia berikan sepenuhnya selain hatinya. Karena sampai saat ini, cinta mereka masih harus tersimpan di balik tirai rahasia.
****
Mobil melaju membelah jalanan kota Paris yang basah oleh sisa hujan sore. Gedung-gedung berarsitektur klasik berdiri megah di sepanjang boulevard, diselingi lampu jalan yang baru saja dinyalakan. Kota itu tak pernah kehilangan pesonanya, bahkan dalam keheningan yang menggantung.
Suasana di dalam mobil tidak kalah sunyi. Hanya deru mesin yang terdengar di antara dua manusia yang sama-sama memilih diam. Rosa duduk bersedekap, menatap jendela dengan dagu terangkat tinggi. Di sisi lain, Geral menatap lurus ke depan, berusaha menahan kantuk yang mulai menyerang. Sesekali ia melirik jam tangannya, berharap waktu berjalan lebih cepat. Dia sudah tidak sabar naik ke pesawat dan merebahkan tubuhnya.
Setibanya di bandara, Rosa turun dari mobil tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya cepat dan penuh emosi. Seorang staf maskapai segera menghampiri, membantu membawa dua buah koper besar dan satu koper sedang berwarna merah marun—semuanya milik Rosa.
“Kau cuma beberapa hari di sini, tapi barang-barangmu seperti kau sudah tinggal sebulan,” desis Geral, menyusul langkah Rosa menuju VIP lounge.
“Aku sedang berusaha menghabiskan uangmu, kalau kau belum sadar,” sahut Rosa dingin tanpa melirik sedikit pun ke arahnya.
Geral menyeringai tipis, “Kalau boleh jujur, aku lebih suka kau menghambur-hamburkan uangku daripada menuntut banyak dariku. Seperti sekarang, contohnya.”
Rosa akhirnya menoleh. Dia melepas kacamatanya dengan gerakan kasar. Sorot matanya tajam, menyala oleh amarah seakan ia hanya butuh satu alasan kecil untuk meludahi wajah Geral.
“Jadi kau berpikir aku sedang menuntut?” ucapnya lirih, tapi sarat emosi. “Aku bahkan tidak mengharapkan apa pun dari bulan madu ini. Aku bukan ingin berada di dekatmu. Aku tidak peduli kau punya urusan di belahan dunia mana. Tapi meninggalkanku sendirian di malam pernikahan tanpa kabar apa pun benar-benar brengsek, Geral.”
Rosa mendekat, menatap Geral lebih dekat seolah menantang.
“Pernikahan ini atas kesepakatan kita berdua. Kau tidak bisa seenaknya begini, kecuali…kalau kau memang ingin sepulang dari sini aku langsung melayangkan surat cerai padamu.”
Geral diam. Mungkin dia terlalu meremehkan Rosa. Jika wanita itu benar-benar melayangkan gugatan cerai, Geral bisa kehilangan segalanya. Pernikahan singkat mereka akan jadi santapan media, dan itu cukup untuk merusak citranya yang juga akan berdampak pada perusahaan yang ia pimpin. Kakeknya tidak akan berpikir dua kali untuk mencopot jabatannya, dan yang terburuk tak akan memberinya selembar saham pun.
Rosa memberi lirikan sinis sebelum berbalik badan. Dia kembali mengenakan kacamatanya, memasukkan kedua tangan ke saku blazer putihnya, lalu berjalan cepat dengan kepala tertunduk, menghindari sorotan orang-orang yang bisa saja mengenalinya.
Geral mematung sejenak hingga akhirnya menyusul dengan langkah panjang.
“Rosa,” panggilnya pelan namun tegas, cukup untuk membuat langkah wanita itu melambat.
Rosa hanya menengok sekilas, “Apa lagi?”
“Aku salah,” kata Geral, mengejutkan dirinya sendiri. Kalimat itu nyaris tak pernah keluar dari mulutnya kepada orang selain Yunda. “Aku seharusnya memberitahumu. Tidak pergi begitu saja. Ke depannya, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.”
Rosa tertawa miring, “Tentu saja, malam pernikahan kita tidak bisa diulang.” Langkahnya kemudian terhenti. Sambil menarik napas panjang, ia melanjutkan, “Aku tahu siapa aku dalam hidupmu. Aku tidak butuh perhatian, apalagi kasih sayang seperti istri pada umumnya. Tapi jangan pernah mengabaikanku. Setidaknya hargai aku sebagai istrimu secara hukum. Atau kalau itu sulit bagimu, hargai aku sebagai partnermu supaya kita bisa menjalankan peran masing-masing dengan baik.”
Kata-katanya bagaikan paku yang menancap di kepala Geral. Terlalu benar untuk disanggah.
“Baiklah,” sahutnya pelan. “Kau akan mendapatkan semua yang kau butuhkan untuk menjalankan peranmu.”
“Bagus,” ucap Rosa sebelum kembali melangkah, kali ini dengan kepala sedikit lebih terangkat.
“Yunda!”Tubuh Yunda sontak menegang ketika mendengar namanya diserukan. Saat ia menoleh, tampak Wira berlarian menghampirinya.“Apa ini? Kau mau ke mana?” cecar lelaki itu. Matanya menyapu tajam barisan koper yang menunggu dimasukkan ke bagasi sebuah mobil travel.Yunda tidak segera menjawab. Dia menatap ibu dan adik-adiknya bergantian sebelum meminta waktu untuk berbicara sebentar dengan Wira. Setelah itu, ia mengikuti Wira masuk ke mobilnya.Begitu pintu tertutup, Wira langsung menghujani dengan pertanyaan.“Apa yang terjadi, Yunda? Surat pengunduran dirimu belum selesai diproses, kenapa kau tidak datang ke kantor? Dan barang-barang itu… kau mau pergi ke mana?”Beberapa detik hanya diisi keheningan. Yunda meremas jemarinya sebelum berbisik.“Aku harus pergi, Wira.”“Pergi ke mana?”“Ke mana pun, asalkan Geral tidak bisa menemukanku.”Wira menggeleng keras, “Yunda, jangan begini. Kau tahu Geral tidak akan bisa hidup tanpamu. Aku pun tidak ingin kau pergi. Kita bisa cari jalan keluar
Seperti biasa, kedatangan Geral disambut beberapa staf di pintu lobi. Satu-satunya yang berbeda pagi itu hanyalah ketiadaan sosok Yunda di antara mereka, sang sekretaris. Geral menahan diri untuk tidak mengerutkan dahi.Yunda memang belum resmi keluar dari perusahaan, tapi jarak di antara mereka sudah terasa begitu jauh.“Hari ini, Bapak ada rapat dengan jajaran direksi, lalu setelah itu ada pertemuan dengan pihak manajemen La Viera Boutique. Siang nanti Bapak dijadwalkan makan siang dengan calon investor dari Singapura di Elysion Palace. Dan sorenya, Bapak ada tinjauan proyek renovasi di lantai delapan,” ujar seorang staf wanita yang untuk sementara menggantikan posisi Yunda.Geral hanya mengangguk tanpa ekspresi. Begitu sampai di lantai eksekutif, matanya langsung tertuju ke meja resepsionis di depan ruangannya.Kosong.“Apa Yunda belum datang?” tanyanya datar.“Sepertinya belum, Pak,” jawab staf itu hati-hati.Geral melirik jam di pergelangan tangannya. Yunda seharusnya sudah berad
Langit berwarna jingga pucat ketika taksi yang ditumpangi Yunda dari stasiun berhenti di depan rumah ibunya. Begitu menjejak tanah, langkahnya terasa goyah. Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa ia akan pulang dalam keadaan sehancur ini.Sambil menyeret koper, ia melintasi halaman rumah yang sunyi. Begitu sampai di depan pintu, aroma masakan segera menyapa penciumannya.“Ibu, aku datang…” ucapnya lirih.Tak berselang lama, ibunya muncul dari balik gorden krem yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.“Yunda? Tumben kamu pulang tidak mengabari dulu, Nak,” sambut sang ibu keheranan meski senyum penuh kehangatan tetap menghias wajahnya.Melihat wajahnya ibunya, pertahanan Yunda seketika runtuh. Dia berlari kecil, langsung menghambur ke pelukan yang selalu menjadi tempatnya pulang.“Ibu…” rintihnya.Sang ibu sontak memeluk erat tubuh Yunda yang gemetar.“Astaga, Yunda… ada apa, Nak?”Tapi Yunda hanya menangis. Tangisnya pecah seperti anak kecil. Untuk pertama kalinya set
Yunda menarik napas panjang, menahan debaran jantungnya yang tak beraturan. Jemarinya meremas amplop dalam dekapan, seolah mencari keberanian yang hampir luruh. Setelah beberapa detik terdiam, ia akhirnya menerjang segala keraguan yang membelenggu.Diketuknya pintu kayu mahoni yang menjulang tinggi di hadapannya. Tak lama, pintu itu terbuka, menampilkan seorang lelaki berseragam hitam dengan tubuh tinggi tegap.“Apakah saya boleh menemui Tuan Komisaris?” tanyanya sopan.“Silakan, beliau sudah menunggu Anda.”Yunda melangkah masuk, mengikuti lelaki itu menyusuri ruangan yang dikelilingi rak-rak buku tinggi hingga akhirnya berhenti di depan meja besar. Di balik meja, duduk seorang lelaki paruh baya yang tengah membaca sebuah buku.Begitu menyadari kehadirannya, lelaki itu mengangkat pandangan, menatap Yunda di balik kacamatanya sambil tersenyum tipis. Dengan agak kesusahan, ia bangkit dan mempersilakan Yunda duduk di sofa.Lelaki berseragam tadi membantu sang komisaris berjalan ke sofa,
“Terima kasih sudah menemaniku.”Rosa memecah keheningan yang menyelimuti mobil sejak tadi.“Aku tidak akan memaksamu untuk hal lain setelah ini,” tambahnya pelan.Geral hanya mengangguk tanpa menoleh. Pandangannya terpaku pada jalan.Detik demi detik berlalu. Udara dalam kabin kian terasa berat bagi Rosa. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ibu selain mendengar detak jantung bayinya dan tahu bahwa janin di dalam kandungannya tumbuh dengan baik. Namun, kenyataan bahwa ia akan segera berpisah dengan Geral—ayah dari bayinya, lelaki yang ia cintai—terus menyayat hatinya.“Soal perceraian kita,” ujarnya lirih, “kau saja yang urus semuanya di pengadilan. Aku akan mengutus pengacaraku. Sekarang, aku hanya ingin fokus dengan kehamilanku.”Lagi-lagi, Geral hanya mengangguk.“Aku juga sudah mengemas barang-barangku,” lanjut Rosa. “Besok, aku berencana kembali ke apartemen.”Geral menoleh sejenak sebelum kembali fokus pada kemudi, “Soal itu, biar aku yang putuskan. Aku akan bicara d
“Yunda, bisa bicara sebentar?”Suara itu membuat Yunda tersentak. Malam itu, ia duduk sendirian di lorong rumah sakit yang sepi, jauh dari tempat keluarga Geral menunggu. Udara dingin menempel di kulit, sementara pikirannya penuh dengan kecemasan akan kondisi kekasihnya.Yunda menoleh, mendapati Stevie berdiri di sana. Yunda segera bangkit, buru-buru menyeka air mata. Jantungnya berdegup tidak karuan, antara kaget dan gugup.“Bu Stevie, maafkan saya diam-diam menunggu di sini,” ucapnya panik. “Saya datang bersama Wira dan—”“Saya sudah tahu tentang hubunganmu dengan Geral,” sela Stevie tiba-tiba.Sekujur tubuh Yunda menegang. Kata-kata itu menampar lebih keras daripada apa pun yang pernah ia bayangkan. Bagaimana Stevie bisa tahu? Apa Geral yang memberitahunya?Tapi pertanyaan itu tak sempat keluar. Ada sesuatu dalam sorot mata Stevie yang membuatnya memilih diam. Tanpa banyak bicara, Yunda mengikuti langkah wanita itu menuju area parkir.Sesampainya di dalam mobil, Stevie menatapnya s







