Geral dan istrinya dikabarkan akan tiba dalam beberapa menit. Para manajer sudah berbaris rapi di depan lobi utama Grand Aurora. Yunda berdiri di antara mereka, mengamati satu per satu raut antusias yang terpancar. Semua tampak bersemangat menyambut kedatangan pasangan baru itu. Kecuali dirinya.
Dia menarik napas pelan seraya memperbaiki posisi tanda pengenal yang menggantung di lehernya. Meski sudah bertemu Rosa di pesta pernikahan, ini adalah kali pertama mereka akan berkenalan secara resmi.
“Kudengar mereka baru saja pulang dari bulan madu di Paris,” bisik Jane, rekan kerja yang berdiri di sampingnya.
“Rosaline benar-benar beruntung bisa mendapatkan Pak Geral,” timpal wanita berambut sebahu di sisi lainnya. Aroma alkohol samar-samar menyelip dari napasnya membuat Yunda makin kesal berada d
Geral kembali ke ruang makan dengan langkah tenang. Rosa belum beranjak dari kursinya meski sendok dan garpunya sudah tertangkup rapi di atas piring. Dia menyeka bibir dengan serbet putih, lalu melipatnya perlahan dengan gerakan anggun.“Siapa yang menelepon?” tanyanya halus.Geral tidak langsung menjawab. Dia menuang air putih ke gelasnya seolah butuh jeda beberapa detik untuk memikirkan jawaban.“Wira,” sahutnya singkat.Rosa mendesah pelan, “Dia benar-benar tidak tahu sopan santun. Bagaimana bisa dia menelepon pimpinannya malam-malam begini?”“Ada beberapa hal yang harus segera dibahas denganku.”Rosa meraih gelas di hadapannya, m
Sore telah menua kala deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Yunda sedang mencuci piring di dapur, dan tak berselang lama suara langkah kaki terdengar mendekat.Saat menoleh, tampaklah Winda dengan crop top yang sedikit memperlihatkan pinggang mungilnya, dipadukan celana panjang hitam yang melebar di bagian bawah. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang. Dengan wajah tanpa ekspresi, adiknya membuka kulkas dan mengambil sebotol air.“Dari mana saja kau?” tanya Yunda ketus.“Aku syuting di studio temanku,” jawab Winda santai, lalu menenggak air langsung dari botol.Tangan Yunda bergerak lebih cepat, menyelesaikan cucian sambil menahan geram. Setelah semuanya beres, ia mengeringkan tangan dengan kain yang tergantung di sisi bak cuci.“Sampai kapan kau mau terus begini? Pergi dan pulang sesukamu,” tegurnya, menghampiri Winda di meja makan yang sibuk melahap bronis yang dibeli saat membawa Ardan jalan-jalan siang tadi.“Aku ada kerjaan, Kak. Lagi pula, aku sudah izin pada Ibu.”“Kerja a
Seberkas cahaya matahari menyusup lembut melalui celah jendela, membangunkan Yunda dari tidurnya. Tubuh rampingnya menggeliat pelan di atas kasur, merenggang sebentar sebelum tangannya meraba ke balik bantal mencari ponsel.Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, ia menatap layar. Hampir pukul tujuh. Padahal biasanya, ia selalu terjaga sebelum matahari menampakkan diri. Entah kenapa, setiap kali pulang ke rumah ibunya, waktu terasa melambat. Tidurnya jadi lebih nyenyak, lebih dalam, seolah semua beban dunia ikut tertinggal di balik pagar rumah sederhana ini.Kamar yang ia tempati tak lebih besar dari kamar apartemennya. tapi terasa jauh lebih hangat. Dindingnya dicat krem pucat dan dihiasi rak-rak kayu kecil berisi beragam produk kecantikan milik Winda, adiknya. Di sudut ruangan terdapat meja lipat dengan ring light mungil—meja kerja sang adik yang melabeli dirinya sebagai konten kreator.Saat menoleh ke sisi kasur yang lain, keningnya sontak berkerut. Selimut di sisi itu masih ter
Bagi Rosa, cinta adalah sebuah kemewahan karena ia tak pernah benar-benar bisa memilikinya. Meski tumbuh dalam keluarga kaya raya, ada ruang besar di hatinya yang selalu terasa hampa. Seorang ayah yang kasar dan tak pernah mencintainya, dan seorang ibu yang lebih sibuk mencintai dirinya sendiri.Menjadi selebriti adalah cara bagi Rosa untuk memuaskan kehausannya akan perhatian dan rasa dicintai. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan saat pertama kali melangkah ke dunia hiburan sampai ia bertemu dengan pria blasteran itu. Jeffrey Armanza.Namanya sudah sangat dikenal dalam industri hiburan. Dia adalah produser sekaligus pemilik rumah produksi ternama yang menjadi gerbang emas bagi siapa pun yang ingin bersinar di layar kaca. Tampan, karismatik, dan ramah pada semua orang. Itulah kesan pertama Rosa. Tapi di balik semua itu, tersembunyi sesuatu yang jauh lebih gelap.Rosa tidak pernah menyangka, mencintai Jeffrey justru menambah luka yang bertumpuk di hatinya. Bukan hanya terluka, ia juga
Yunda kembali ke ruang kerja Geral setelah memastikan Rosa telah turun ke lobi bersama asisten pribadinya. Di tangannya, tergenggam beberapa dokumen yang perlu ditandatangani sang CEO. Dia mengetuk pintu singkat sebelum meraih gagangnya.Ruangan itu kini terasa lebih lapang, lebih sunyi, tapi juga lebih berat dari sebelumnya.Geral yang sedang fokus menatap layar tablet di balik meja kerjanya mendongak. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku. Seperti biasa, ia menyambut kehadiran Yunda dengan senyum cerah.“Ini draft penawaran kerja sama dan laporan dari beberapa tim terkait rencana kunjungan MAISON minggu depan.” Yunda meletakkan berkas-berkas itu di atas meja.
Geral dan istrinya dikabarkan akan tiba dalam beberapa menit. Para manajer sudah berbaris rapi di depan lobi utama Grand Aurora. Yunda berdiri di antara mereka, mengamati satu per satu raut antusias yang terpancar. Semua tampak bersemangat menyambut kedatangan pasangan baru itu. Kecuali dirinya.Dia menarik napas pelan seraya memperbaiki posisi tanda pengenal yang menggantung di lehernya. Meski sudah bertemu Rosa di pesta pernikahan, ini adalah kali pertama mereka akan berkenalan secara resmi.“Kudengar mereka baru saja pulang dari bulan madu di Paris,” bisik Jane, rekan kerja yang berdiri di sampingnya.“Rosaline benar-benar beruntung bisa mendapatkan Pak Geral,” timpal wanita berambut sebahu di sisi lainnya. Aroma alkohol samar-samar menyelip dari napasnya membuat Yunda makin kesal berada d