Share

Bertemu Pria Gila

Secara refleks, pria itu pun membalikkan badannya. Dalam keremangan cahaya, Mayzura melihat sosok lelaki dewasa yang tengah menatapnya dengan tajam. Iris mata abu-abu gelap yang dibingkai dengan sepasang alis tebal, hidung mancung, dan bibir tebal. Tampan, itulah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan pria di hadapannya ini.

“Pria mesum? Bukankah sebutan itu terbalik? Seingatku kamu yang baru saja memelukku tanpa bertanya dulu,” sanggah pria itu memicingkan mata.

Semburat merah tercetak jelas di pipi Mayzura. Untung saja suasana di sekitarnya tidak terlalu terang. Bila tidak, ia pasti akan malu setengah mati dan memilih untuk menenggelamkan diri di dasar bumi. Meski begitu, Mayzura tetap berusaha menutupi rasa malunya dengan mengalihkan pembicaaan.

“Itu karena aku salah orang! Di mana Enzio, apa kamu menculik atau mencelakai dia?” sentak Mayzura memasang wajah galak.

Pria dewasa itu mengerutkan dahi dalam-dalam, seolah tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Mayzura.

“Maaf, Nona, aku tidak mengenal siapa itu Enzio. Lebih baik Nona pergi dari sini. Tidak baik jika seorang wanita muda berkeliaran sendirian di malam hari,” ujar pria itu hendak beranjak pergi.

Merasa sudah kepalang tanggung, Mayzura mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk menggertak pria tersebut.

“Aku tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku! Kamu apakan Enzio? Aku akan melaporkanmu ke polisi sekarang jika kamu menyakitinya,” ancam Mayzura.

“Dengar, aku tidak mengenal kekasihmu itu. Berhenti menuduhku, karena aku sedang punya urusan penting!”

Tanpa menghiraukan ocehan dari Mayzura, pria itu berjalan cepat menyurusi tepian danau. Karena takut ditinggal sendirian di tengah kegelapan, Mayzura terpaksa membuntuti pria tersebut.

“Hey, jangan kabur, Pria Mesum! Katakan di mana Enzio!”

“Namaku Sadewa, dan aku bukan pria mesum. Aku tidak punya waktu untuk meladeni gadis manja sepertimu! Lebih baik tinggalkan danau ini!” balas pria itu dengan nada sinis.

Dalam suasana yang senyap itu, mendadak terdengar suara desingan peluru di udara.

Dorrr!

Dorrr!

Sontak, kedua mata Mayzura terbelalak lebar. Dia hampir saja menjerit histeris, jika saja Sadewa tidak segera membekap mulutnya. Tak hanya itu, Sadewa juga merengkuh pinggang ramping Mayzura agar tubuh gadis itu tidak gemetaran.

“Lepas, jangan sentuh aku!” ucap Mayzura berusaha memberontak.

“Ssshhh, diamlah! Ikut aku sekarang jika kamu masih sayang kepada nyawamu.”

Sambil merangkul Mayzura, Sadewa membawa lari gadis itu menuju sekumpulan pohon besar untuk bersembunyi. Namun, gerakan Sadewa terbaca oleh dua orang pria berjaket hitam yang sedang mengejar mereka.

“Berhenti, jangan kabur!” teriak salah satu pria yang memegang pinsol di tangannya.

Tanpa aba-aba, pria itu mengarahkan pistolnya kepada Mayzura. Melihat Mayzura dalam bahaya, dengan gerakan secepat kilat Sadewa membalikkan tubuhnya untuk melindungi gadis itu. Dan dalam hitungan detik, lengan kiri Sadewa pun tertembus oleh peluru.

“Aaaarghh! Lenganmu berdarah. Kamu tertembak oleh mereka,” pekik Mayzura ketakutan. Lututnya terasa lemas saat melihat cairan berwarna merah pekat yang membasahi kemeja Sadewa.

“Tidak usah pedulikan, aku! Kita harus lari sekarang. Apa kamu membawa mobil?” tanya Sadewa meringis menahan sakit.

“I-iya, mobilku ada di sebelah sana!”

Sadewa dan Mayzura berlari menuju ke mobil, sementara suara desingan peluru masih terdengar di belakang mereka.

“Masuk dan kemudikan mobilmu sekarang!” perintah Sadewa sembari memegangi lengannya.

“Kita akan ke mana?” tanya Mayzura kalut. Pikirannya saat ini benar-benar sangat kacau, hingga dia bingung harus berbuat apa.

“Ke mana saja, yang penting para penjahat itu tidak akan menemukan kita,” jawab Sadewa.

Mayzura bergegas masuk ke kursi kemudi, sedangkan Sadewa duduk di sebelahnya. Sambil menggigit bibir bawahnya, Mayzura menyalakan mesin mobil. Masih ada sedikit keraguan di hatinya untuk pergi berdua bersama Sadewa. Pasalnya, mereka baru bertemu dalam hitungan menit.

“Tetapi, aku belum mengenal siapa kamu. Aku tidak biasa pergi dengan orang asing,” ucap Mayzura secara jujur.

“Jangan banyak bicara, cepat injak pedal gasnya! Percayalah, aku tidak akan melukaimu.”

Dari kaca spion, Mayzura melihat dua penjahat tadi berlari ke mobilnya sambil menembakkan peluru. Merasa tak punya pilihan, Mayzura akhirnya mengikuti perintah Sadewa. Gadis itu menginjak pedal gas sekuat mungkin, lalu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Sambil menyetir mobil, Mayzura mendengar desisan kecil dari bibir Sadewa. Dia pun melirik ke bagian lengan kemeja pria itu yang ternyata bersimbah darah.

“Ambil tissue di dashboard untuk mengelap darahmu, aku tidak mau mobilku dikotori oleh noda darah. Apa kamu ini seorang pencuri, perampok, atau psikopat? Kenapa mereka mengejarmu?” cecar Mayzura.

“Bisa-bisanya kamu bicara begitu, setelah aku menyelamatkanmu! Mungkin di sini kamulah yang sedang dikejar oleh mereka, Nona,” dengus Sadewa merasa kesal.

“Enak saja, aku ini seorang penulis novel, mana mungkin aku dikejar penjahat,” kata Mayzura membela diri.

Merasa Mayzura sudah memojokkan dirinya, Sadewa pun menunjuk ke arah belakang.

“Alibimu itu sama sekali tidak kuat. Siapapun yang masuk ke mobil ini bisa melihat kalau kamu membawa koper besar. Jangan-jangan kamu sedang berusaha kabur dari seseorang, sehingga mereka mengejarmu,” tuduh Sadewa.

Mendengar kata-kata Sadewa yang menohok, Mayzura pun bungkam. Bisa jadi para penjahat tadi memang orang suruhan Tuan Bramantya, karena pria tua itu terkenal dengan kekejamannya.

“Kenapa diam? Apa yang aku katakan benar? Kamu sedang berusaha kabur dengan pacarmu yang bernama Enzio?” tanya Sadewa.

“Ck, jangan cerewet, itu bukan urusanmu. Aku yakin kamu yang bermasalah di sini,” balas Mayzura sinis.

“Aku harus cerewet karena terlanjur terlibat dengan masalahmu. Katakan siapa namamu dan di mana rumahmu?”

Mayzura mengerutkan alisnya, karena curiga dengan pertanyaan yang diajukan Sadewa.

“Untuk apa kamu meminta nama dan alamat rumahku? Pasti kamu ingin menculikku lalu minta tebusan, kan?

“Hufff, bicara denganmu memang selalu menguji tingkat kesabaranku. Jika kamu tidak mau menyebutkan nama tidak masalah bagiku. Aku akan memanggilmu Gadis Bucin," tukas Sadewa merasa geram. Entah apa dosanya di masa lalu, hingga ia harus berurusan dengan gadis yang masih labil.

Kelopak mata Mayzura langsung membola saat mendengar julukan yang disematkan Sadewa kepadanya.

“Bucin? Jangan bicara sembarangan kalau kamu tidak tahu masalahku. Mayzura Nugraha tidak pernah bucin dengan lelaki mana pun. Camkan itu!”

“Buktinya kamu rela melakukan apa saja demi cinta, bahkan berniat kawin lari,” timpal Sadewa dengan ekspresi datar.

Perdebatan mereka terhenti karena Mayzura melihat sebuah mobil jeep yang berusaha menyalipnya dari belakang. Dia yakin seratus persen bahwa itu adalah mobil milik para penjahat tadi.

“Oh, God, mereka masih terus mengejar kita,” seru Mayzura panik.

“Belok ke kanan sekarang, lalu tancap gas! Lewati truk barang itu!” titah Sadewa memberikan petunjuk.

Mendapat perintah yang tidak masuk akal, Mayzura pun melotot tajam kepada Sadewa.

“Hah, apa kamu sudah tidak waras? Kamu ingin kita mati bersama? Sadarlah, ini adegan nyata bukan di dalam film,” tolak Mayzura.

Bukannya memahami ketakutan Mayzura, Sadewa malah memberikan jawaban yang mengejutkan.

“Jika kita memang ditakdirkan untuk mati hari ini, mau bagaimana lagi? Setidaknya aku tidak akan mati sendirian, karena ada kamu yang menemani aku,” jawab Sadewa dengan santai.

“Dasar, pria gila!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status