Mayzura berdiri di depan meja setrika dengan tatapan kosong, memandang setumpuk pakaian yang tersebar di atas meja. Hidupnya jauh dari kata santai, pekerjaan terus datang silih berganti. Tak ada waktunya untuk beristirahat. Terlebih lagi, ia berada di bawah pemantauan wanita arogan seperti Soraya Maheswara.“Kenapa kerjamu lambat sekali?! Aku mau pergi ke acara fashion show nanti sore. Jangan bersantai dan melamun saja dari tadi!” ucap Soraya dengan suara yang tegas, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. “Pastikan semuanya terlihat sempurna tanpa kusut!”Soraya pergi dengan santainya sambil membawa iPad di tangan. Tanpa banyak bicara, Mayzura segera mengambil setiap helai pakaian milik Soraya dan meletakkannya di atas meja setrika. Namun, tiba-tiba saja Soraya berteriak lagi memanggil nama Mayzura. “Mayzura! Cepat ke sini!” teriak Soraya. “Sebentar, Nona,” sahut Mayzura dengan suara lembut. Takut adik suaminya itu akan marah, Mayura buru-buru berjalan menuju kamar Soraya. Ia
Tuan Bramantya duduk tegak di sofa ruang tamu. Sorot mata pria paruh baya itu nampak tajam menyala. Sementara, Mayzura memasuki ruang tamu dengan hati yang berdebar-debar. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap seiring dengan rasa cemas yang melanda. Pasalnya, Mayzura tidak bisa menebak apa yang hendak dibicarakan oleh Tuan Bramantya. “Tuan, saya minta maaf atas kesalahan saya tadi. Saya berjanji tidak akan mengulanginya,” ucap Mayzura dengan suara yang gemetar. Gadis itu berdiri di depan sang ayah mertua dengan tubuh yang tegang. Tuan Bramantya terdiam sejenak, membuat atmosfer ruangan itu terasa mencekam. “Mayzura, kamu tahu bagaimana sifat Gavindra. Jika ada yang berani menentang atau melawannya, dia pasti akan tersulut emosi.” Tuan Bramantya menegakkan posisi duduknya, lalu berkata, “Mulai sekarang, bersikaplah hormat di depan Gavindra dan patuhi semua perintahnya. Dengan begitu, kejadian ini tidak akan terulang lagi. Aku tidak bisa setiap saat datang untuk menolongmu!” “S
Mayzura memandangi wajahnya yang pucat. Tenaganya terkuras habis padahal tak melakukan apa pun. Cukup lama Mayzura memandangi wajahnya sendiri, sampai terdengar suara Gavindra yang memanggil namanya. Awalnya, gadis itu ragu untuk keluar mengingat tubuhnya masih lemas, tetapi apa boleh buat. Ia tidak bisa menolak atau membantah. Mayzura pun merapikan rambutnya sembari membasahi sedikit bibirnya agar tidak terlalu kering. "Mayzura!"Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan Mayzura dengan wajahnya yang pucat. Seingat Gavindra, kemarin malam wanita itu terlihat baik-baik saja. Lantas apa yang terjadi, sampai pagi ini Mayzura terlihat seperti mayat hidup yang tak bertenaga."Aku akan pergi ke kantor. Kamu tidak boleh ke mana-mana dan tetap di rumah! Setiap sudut rumah ini ada kamera pengawas dan setiap pergerakanmu akan dipantau melalui kamera itu," titah Gavindra dengan rahang yang mengeras. Lelaki itu baru saja pulang dari berolahraga dengan ditemani Tama. "Baik, Tuan," lirih Mayzura."
Sadewa melangkah masuk ke lobi gedung perusahaan Bramantya dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan yang megah, penuh dengan kesibukan para karyawan yang berlalu-lalang. Ketika sampai di resepsionis, Sadewa memperkenalkan dirinya dan meminta untuk bertemu dengan Tuan Bramantya. Sang resepsionis, yang tampak bingung sejenak, segera menghubungi ruangan dari sang pemilik perusahaan. “Tuan Bramantya, ada tamu yang ingin bertemu. Namanya Sadewa,” katanya dengan nada formal. Dalam hitungan detik, wajahnya berubah terkejut mendengar instruksi dari ujung telepon. “Silakan naik ke lantai 10, Pak Sadewa. Tuan Bramantya sudah menunggu.”Di dalam lift, Sadewa mengatur perasaannya agar tidak terbawa emosi saat bicara. Ini satu-satunya kesempatan bisa bertemu dengan Mayzura. Pasalnya, naluri Sadewa mengatakan bahwa wanita yang dicintainya itu sedang membutuhkan pertolongan. Langkah Sadewa tergesa-gesa keluar dari lift. Pintu kaca besar terbuka dan di ujung ruangan, Tuan Bramantya berdiri de
Seorang gadis muda sedang berbaring tertelungkup di atas ranjang sambil memainkan ponsel. Gadis itu adalah Mayzura, putri tunggal dari keluarga Nugraha. Tak hanya cantik dan hidup serba berkecukupan, Mayzura juga memiliki popularitas sebagai seorang penulis novel online. Terkadang, ia juga memposting kemampuannya dalam bermain piano di media sosial. Mayzura sedang membaca pesan dari sang kekasih, Enzio. Dua hari lagi adalah tepat enam bulan mereka menjadi sepasang kekasih. Karena itu, Mayzura berencana untuk merayakannya dengan cara yang spesial. Tatkala gadis cantik itu sedang asyik berbalas pesan, terdengar suara ketukan dari luar. “May, Papa ingin bicara denganmu. Papa tunggu di meja makan,” panggil sang ayah dari balik pintu. “Iya, Pa, tunggu sebentar.” Buru-buru, Mayzura menyembunyikan ponselnya, lalu beranjak dari tempat tidur. Dia merasa heran karena sang ayah sudah pulang sebelum jam lima sore. Padahal, Tuan Agam biasanya baru menginjakkan kaki di rumah menjelang makan ma
Secara refleks, pria itu pun membalikkan badannya. Dalam keremangan cahaya, Mayzura melihat sosok lelaki dewasa yang tengah menatapnya dengan tajam. Iris mata abu-abu gelap yang dibingkai dengan sepasang alis tebal, hidung mancung, dan bibir tebal. Tampan, itulah satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan pria di hadapannya ini.“Pria mesum? Bukankah sebutan itu terbalik? Seingatku kamu yang baru saja memelukku tanpa bertanya dulu,” sanggah pria itu memicingkan mata. Semburat merah tercetak jelas di pipi Mayzura. Untung saja suasana di sekitarnya tidak terlalu terang. Bila tidak, ia pasti akan malu setengah mati dan memilih untuk menenggelamkan diri di dasar bumi. Meski begitu, Mayzura tetap berusaha menutupi rasa malunya dengan mengalihkan pembicaaan.“Itu karena aku salah orang! Di mana Enzio, apa kamu menculik atau mencelakai dia?” sentak Mayzura memasang wajah galak. Pria dewasa itu mengerutkan dahi dalam-dalam, seolah tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Mayzura
Meskipun jantungnya berdentum seperti genderang perang, Mayzura tidak punya pilihan selain mengikuti arahan dari Sadewa. Dengan mengerahkan segenap kemampuan, Mayzura berhasil melewati truk barang di depannya. Kemudian, ia membanting setir ke kanan dan melewati sebuah tikungan tajam. Setelah melakukan aksi kebut-kebutan yang mendebarkan di jalan, mobil mereka akhirnya lolos dari kejaran para penjahat itu. “Wow, aku sangat hebat!” pekik Mayzura memuji dirinya sendiri. Seumur hidup baru sekali ini dia melakukan sesuatu yang di luar nalar dan berpotensi mengancam keselamatan nyawanya. Anehnya, dia justru menikmati adegan berbahaya tersebut. Melihat kelakuan Mayzura yang kekanak-kanakan, Sadewa hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kamu memang gadis labil. Tadi mengatakan aku gila, sekarang malah berbahagia,” celetuk Sadewa. Dia sampai lupa jika lengannya masih mengeluarkan darah hingga saat ini. Mayzura langsung menoleh dan melayangkan tatapan sinis kepada Sadewa. “Bisa tidak kamu dia
Kelopak mata Mayzura langsung membulat sempurna. Dia tidak menyangka jika sang ayah akan memilih Sadewa sebagai bodyguardnya. Padahal hubungannya dengan Sadewa sudah mirip seperti anjing dan kucing. “Papa serius mau menjadikan pria ini sebagai bodyguardku?” tanya Mayzura tidak percaya. Tuan Agam menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan. Entah kenapa dia merasa sangat percaya kepada Sadewa, meskipun mereka baru pertama kali bertemu. “Sangat serius. Sadewa sudah membawamu pulang dengan selamat. Papa sangat yakin dengan kemampuannya. Kamu akan aman bersama Sadewa,” tandas Tuan Agam. Kini, Mayzura mencoba menggoyahkan pendirian sang ayah. Bagaimanapun dia tidak ingin memiliki seorang penjaga yang akan membatasi semua ruang geraknya. Kendatipun Sadewa pernah menyelamatkan nyawanya, tetapi pria itu terlalu banyak bicara dan suka bertindak sesuka hati. “Pa, kita bahkan tidak tahu asal-usul pria ini, apa pekerjaannya, dan apakah Sadewa itu nama aslinya. Kenapa Papa merektrutnya sebaga