= Bioskop A. Jam 07.00 malam =
Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya. Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang. Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira. "Ema. Kamu datang?" Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk. "Saya sudah janji akan datang." Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya. "Kamu tidak bawa mobil, kan?" Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk. "Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini." Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket di tangannya. "Aku sudah membeli tiket. Ayo kita masuk." Ilyas baru akan berbalik saat merasakan tarikan pelan di jas-nya. Tampang Ema terlihat bingung. "Nonton? Saya kira bapak minta saya ke sini untuk bicara?" Tersenyum simpatik, pria itu menepuk pelan bahu wanita itu. "Kita memang akan bicara. Setelah nonton." Ekspresi wanita itu berubah tegang. Tubuhnya kaku dan ia sedikit mundur. "Maaf. Tapi saya tidak bisa. Saya tidak mau-" Tubuh Ema terhuyung ke depan dan langsung jatuh ke pelukan Ilyas. Suasana di lobi bioskop tiba-tiba saja berubah ramai. Sepertinya film yang akan ditayangkan malam ini cukup populer dan banyak yang ingin menonton. Memeluk erat pinggang Ema, Ilyas berusaha menarik mereka dari kerumunan lautan manusia. "Ayo. Studio kita ada di sana." Keduanya masuk ke ruangan dan lagi-lagi, wanita itu terperangah kaget. Studio itu ternyata Velvet Class. "Pak. Saya kira ini tidak pantas. Ini-" "Maaf. Permisi. Kami mau lewat." Terdengar suara orang di belakang mereka yang tidak sabar. Wanita itu menyadari kalau ternyata studio itu hampir terisi penuh. Meski harga tiketnya hampir 5 kali lipat dari harga normal, tapi tampaknya banyak orang rela mengeluarkan uang banyak untuk menonton. Seperti minggu kemarin, terlihat banyak pasangan sudah berada di bangku mereka masing-masing. Dan kali ini, cukup terang-terangan menunjukkan perilaku yang int*m di ruang publik. Pipi Ema memerah saat melihat satu pasangan yang terlihat berpelukan di balik selimut. Kepala wanita itu menggeleng dan ia akan keluar saat lengan atasnya ditahan. "Em. Ini film bagus. Premiere. Dan aku janji, kita hanya nonton. Aku tidak akan macam-macam padamu." Pandangan Ema terlihat skeptis. Tapi Ilyas menggodanya dengan memperlihatkan tiket di tangannya. Mend*sah kalah, akhirnya wanita itu mengangguk. "Baiklah saya nonton. Setelah itu, kita bicara dan saya pulang. Oke?" Senyuman Ilyas melebar. "Nah, begitu dong. Ayo. Tempat kita agak ke atas." Tidak lama, lampu di bioskop mulai meredup dan akhirnya gelap gulita. Layar mulai menampilkan berbagai gambar diiringi suara dentuman musik yang mantap dari sound system. Suhu ruangan yang dingin membuat Ema menyelimuti kedua kakinya. Matanya berkelana dan menyadari posisi duduk mereka yang cukup strategis. Mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman, perhatian wanita itu kembali ke arah layar besar di depannya. Belum 10 menit film berlangsung, bahu Ema terasa berat. Lagi-lagi, Ilyas tertidur di sampingnya. Wanita itu merasa bobot pria itu bertambah 2 kali lipat karena tidak ada penopang lain. Ia berusaha menggerakkan bahunya untuk membangunkan lelaki di sampingnya. Bukannya bangun, kepala Ilyas malah merosot ke bawah dan akhirnya menyender di pahanya. Gugup, Ema menepuk pelan bahu pria itu. "Pak? Pak Ilyas?" Tubuh pria itu menggeliat dan malah memeluk pahanya seperti guling. Pria itu kembali tidur. Suara dengkuran yang halus membuat Ema yakin, ilyas sudah sangat terlelap dalam tidurnya. Sambil menghela nafas, wanita itu menunduk. Kekesalannya sedikit menguap saat mengamati wajah pria itu yang lelah dan tampak nyenyak. Sepertinya, dia memang benar-benar butuh istirahat. Hawa panas yang menyebar dari tubuh Ilyas perlahan membuat Ema mulai hangat. Berusaha mengacuhkan rasa tidak nyaman di perutnya, wanita itu mengkonsentrasikan dirinya pada film di depannya. Sejak kejadian mereka hampir berciuman, sedapat mungkin ia tidak ingin bersentuhan dengan pria ini lagi. Sayangnya, takdir berkata sebaliknya. Lelaki ini justru malah makin dekat secara fisik dengannya. Dan Ema sadar, ia telah membiarkannya. Beberapa jam kemudian, tampak keduanya duduk di dalam mobil Ilyas. Mereka telah sampai di pelataran parkir di depan apartemen Ema. Kepala Ilyas menoleh dan pria itu terlihat merasa bersalah. "Maaf. Aku sebenarnya ingin mengajakmu makan malam di sana, tapi semua tempat penuh. Aku tidak tahu kenapa hari ini sangat banyak orang datang ke tempat itu." Tersenyum canggung, Ema menggeleng kecil. "Tidak apa-apa pak. Saya juga sudah makan di kantor tadi, makanya sedikit telat datang." Pria itu menatapnya sebentar dan tersenyum lembut. "Terima kasih, Em. Kamu perempuan baik." Perkataan itu membuat wajah Ema perlahan menjadi pias. 'Kamu gadis baik, An. Kekasih yang sangat baik dan setia. Tapi aku tidak bisa nikah dengan kamu. Aku butuh orang yang bisa menopangku, An. Pendamping yang bisa aku banggakan dan menunjang karir-ku ke depan. Aku tidak bisa dengan orang yang... seperti kamu.' "Em?" 'Aku tidak bisa dengan gadis biasa saja. Maaf, Andie. Tapi pendidikanmu hanya D3. Ibu-mu juga cuman pedagang kue di pasar. Bukannya aku mau menghinamu, tapi aku butuh wanita yang setara dengan aku. Setara dengan keluargaku juga. Keluarga Prabukusuma. Kamu bisa ngerti itu, kan?' "Ema?" Sentuhan lembut di pipinya membuat wanita itu terlonjak dan refleks menghindar. Alis Ilyas berkerut dalam dan pria itu menatap Ema lebih tajam. "Em? Kamu ga apa-apa?" Menelan ludahnya, Ema balas menatap Ilyas dan akhirnya menyadari siapa pria di depannya ini. Bodohnya aku. Berusaha meredakan getaran menyakitkan di tubuhnya, bibir Ema tersenyum pahit. "Saya tidak apa-apa. Sebaiknya saya segera masuk. Selamat malam, pak Ilyas." Tangan wanita itu baru menyentuh handle pintu saat Ilyas menyambar pergelangannya. "Sebentar, Em. Kita belum bicara." Posisi pria itu seolah memeluknya dari arah belakang. Ema bisa merasakan kehangatan tubuh lelaki itu yang sedang melingkupi tubuhnya sendiri yang jauh lebih kecil. Ema merasakan tubuhnya makin bergetar. Bukan karena takut pada pria ini, tapi ia takut pada dirinya sendiri. Ia takut akan menyukai lelaki di belakangnya ini, yang pada akhirnya hanya akan sakit hati lagi. "P- Pak Ilyas? Tolong lepaskan saya, pak." Telinga wanita itu dapat mendengar deruan nafas dari lelaki di belakangnya. Pria itu seolah sedang menghidu rambutnya. Aliran udara yang panas terasa berhembus dari lubang hidung dan mulut pria itu. Rambut-rambut halus di tengkuk Ema berdiri, saat ia merasakan sentuhan basah di belakang telinganya. "Pak!" Seruan panik wanita itu membuat hawa panas itu menghilang seketika. Jantungnya berdebum kencang di d*danya, dan memompa darahnya untuk mengalir lebih cepat. Suasana hening sejenak, sampai terdengar suara serak Ilyas dari arah punggungnya. "Maaf kalau aku membuatmu takut, Em. Tapi aku butuh bantuanmu."= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."