Setelah ditinggalkan begitu saja oleh pria yang telah ditemaninya dari nol, Ema berusaha bangkit dan menata hidupnya lagi. Ia mencoba meninggalkan masa lalunya jauh di belakang sana. Dalam masa pemulihannya, muncul lelaki lain yang hadir dalam hidupnya. Bos-nya sendiri, yang sudah ia kenal 3 tahun lamanya. Tidak pernah terbersit di benak Ema, kalau ia akan jatuh cinta pada pria itu. Sayangnya, ia menghadapi dilema yang sama seperti masa lalunya. Ia mencintai orang yang salah dan Ema tahu, lelaki itu akan meninggalkannya juga pada akhirnya. Apa yang akan dilakukan Ema? Beranikah ia mengambil resiko patah hati lagi, atau justru memilih pergi dan meninggalkan pria itu duluan?
View MoreSuara langkah lalu-lalang dan riuh rendah dari banyak pengunjung di kafe tampak tidak mempengaruhi dua manusia yang sedang duduk saling berhadapan. Pandangan mereka tertunduk ke arah cangkir di atas meja, sampai salah satu di antaranya akhirnya memecah kesunyian itu.
"Bagaimana kabarmu?" Pertanyaan itu dilontarkan ragu-ragu, tapi penuh rasa ingin tahu. Mendongak, wanita yang tadinya tertunduk itu mengerjapkan matanya yang bulat dan tersenyum lembut. Perlahan, ia menyenderkan punggungnya ke kursi di belakangnya. Kedua tangan di pangkuannya. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya. Kamu sendiri, gimana kabarnya?" Pria tampan itu sejenak terdiam, tapi kemudian senyuman mulai muncul di bibirnya. "Aku juga baik-baik saja." Keduanya berpandangan dan saling memberikan senyuman, seperti teman lama. Wanita bernama Ema itu mengambil kopinya dan hampir menyesapnya saat terdengar lagi suara si pria. "Kamu sudah nikah?" Ada jeda sesaat ketika Ema menatap pria di depannya. Ia kemudian meminum kopinya dan meletakkan lagi cangkirnya ke atas meja dengan sangat pelan. Wanita itu masih tersenyum saat menjawab pertanyaan itu, "Belum." Jakun si pria sedikit naik turun ketika mendengarnya. "Kenapa?" Barulah ketika mendengarnya, senyuman di bibir Ema mulai memudar. Tatapannya menajam. "Kenapa kamu tanya? Itu bukan urusanmu." Nada suara Ema yang tajam membuat pria itu terdiam. Matanya bergerak-gerak menatap wanita itu. "An. Aku tahu kamu masih marah karena aku memutuskanmu dulu. Aku cuman khawatir kalau kamu-" Tawa geli yang rendah muncul dari tenggorokan Ema dan ia menutup mulut dengan tangannya saat melihat ekspresi pria di depannya tampak mengeras. "Ehm. Maaf. Aku kelepasan." Tidak mau melanjutkan lagi pembicaraan, Ema meraih tasnya dan mengeluarkan dompetnya. "Mau apa kamu, An? Aku yang akan-" Tidak menggubris perkataan itu, Ema meletakkan beberapa lembar uang berwarna biru ke meja dan berdiri. "Maaf. Tapi aku tidak mau berhutang. Aku pulang duluan." Ia baru saja akan melangkah saat tangannya ditahan pria itu. "Tunggu dulu, An! Aku-" "Lepaskan tanganmu, DIt. Atau aku teriak di sini." Kepala Adit menoleh ke sekelilingnya dan pria itu pun melepaskan cengkeramannya. Tampak ia menghela nafasnya berat dan berdiri mendekat ke arah wanita itu. "Andie, aku belum selesai membicarakan mengenai masalah kita dulu. Aku ingin-" Ema memundurkan tubuhnya dan membuatnya berada cukup jauh dari pria di depannya. "Masalah kita dulu? Masalah kamu selingkuh dan menikah dengan wanita lain? Masalah keluargamu yang sudah menghinaku? Atau masalah kamu belum membayar hutang sepeser pun padaku, padahal aku yang membantumu untuk skripsi dan penelitianmu? Belum lagi hobi mobil bekasmu? Masalah yang mana, Dit?" Perkataan itu disemburkan dengan nada pelan dan sangat lembut. Sama sekali tidak ada kemarahan, yang malah membuatnya terasa lebih menakutkan. "Andie..." Tangan Ema yang menggenggam tasnya terasa mengetat, tapi bibirnya masih tersenyum lembut. "Aku sudah move on, Aditya. Selama 7 tahun ini, aku sudah tidak lagi mengingatmu. Aku sudah sibuk dengan hidupku sendiri, dan tidak punya waktu mengingat masa lalu tidak berguna. Jadi kamu salah kalau kamu pikir aku belum nikah karena kamu. Aku juga tidak butuh rasa kasihanmu. Kamu urus saja keluargamu." Kakinya hampir saja melangkah, saat Ema menoleh kembali pada pria yang masih mematung itu. Kali ini, suara wanita itu terdengar tegas dan tidak terbantah. "Jangan mengajakku ketemuan di luar lagi seperti ini. Urusan kita sebatas pekerjaan. Tidak lebih. Kecuali kalau kamu berniat selingkuh dari isterimu." Bola mata Adit sedikit melebar mendengar kata-kata ketus itu. Ia hanya bisa terpana menatap Ema berjalan menjauh dengan tubuh yang tegak dan sama sekali tidak menoleh lagi. Sampai di mobilnya, Ema mencengkeram kemudinya dan menggeram kasar. Ia menengadahkan kepalanya tinggi dan menutup matanya erat-erat. Salah satu telapak tangannya memukul kemudinya kencang. Betapa ia sangat ingin menjerit dan memukul sesuatu saat ini! Ia butuh beberapa saat untuk menenangkan diri. Setelahnya, ia mengambil ponsel dan menggeser layarnya. Puas dengan yang dicarinya, ia melempar benda itu kembali ke dalam tas dan menyalakan mobil. Memasukkan persneling ke posisinya, Ema bergumam rendah, "Sudahlah, Em. Pria s*alan itu tidak perlu kau ingat-ingat lagi! Dia tidak pantas untuk diingat!" Selang beberapa waktu kemudian, Ema telah berada di salah satu gedung bioskop yang tidak terlalu ramai di kota itu. Tampak ia mengamati poster-poster di sana dan memutuskan menonton salah satunya. Melihat Ema yang sedang berjalan mendekat, petugas di baliknya tersenyum sumringah. "Malam, kak! Lama ga ketemu." Membalas senyuman itu, Ema terkekeh pelan. "Iya. Kebetulan ada film bagus. Rame malam ini?" Senyuman si petugas lebih lebar. "Cukup rame, kak. Kakak mau nonton film ini juga?" "Iya. Masih ada sisa?" Mata Ema menelusuri layar yang ada di depannya antusias. "Masih cukup banyak, kak. Kakak mau duduk di mana?" Melihat sudah ada beberapa bangku yang terisi, Ema akhirnya menunjuk satu bangku yang ada di samping lorong. Tampak deretan di sampingnya masih cukup kosong. "Di sini, mba. Satu." "Film-nya sudah dimulai, kak. Jadi nanti kakak langsung masuk saja ya." "Oke, mba. Makasih." Selesai transaksi, ia membeli sekotak popcorn dan juga sebotol minuman dingin. Suhu yang ternyata cukup rendah dalam studio, membuat Ema menyesal membeli minuman dingin. Ia mungkin akan menggigil nanti, terutama karena lupa membawa jaketnya. Setelah mencari bangkunya dibantu petugas, wanita itu pun duduk di kursinya dan mulai menikmati layar di depannya. Matanya sejenak berkelana menatap sekitarnya dalam suasana gelap. Terdapat cukup banyak pasangan yang menonton di Jumat malam ini. Ia baru saja akan menyuapkan popcorn-nya ke mulut saat seseorang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. "Maaf. Permisi." Suara pelan pria itu terdengar serak dan berat. Aksennya familiar. "Oh ya. Silahkan." Sedikit menggeser kakinya, Ema baru sadar kalau pria itu ternyata cukup tinggi dan besar. Kaki mereka saling bergesakan, sampai lelaki itu duduk di sampingnya. Hawa panas langsung terasa mulai menyebar ketika bahu mereka bersentuhan. Tidak nyaman, Ema menggeser tubuhnya ke samping tapi tetap saja, bahu mereka kembali saling menempel. Ia baru saja akan meminta pria itu sedikit bergeser, saat pasangan lain kembali harus melewati bangku Ema. Deretan itu ternyata cukup terisi penuh dan saat mengamati lajur bangkunya, barulah ia dapat melihat wajah lelaki di sampingnya dengan lebih jelas. Siluetnya mempertegas garis wajah pria itu yang kaku dan tajam. Suara Ema terasa tercekat saat ia refleks mencicit, "Pak Ilyas?" Kepala lelaki itu menoleh. Matanya yang kelabu muda, tampak memantulkan bayang-bayang gambar yang berseliweran di layar besar bioskop itu. Salah satu sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. "Ema?" S*al!= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments