= Kantor TJ Corp. Di salah satu ruangan meeting. Hari Jumat =
Pertemuan itu sudah berlangsung selama 20 menit, tapi pikiran Ilyas melayang ke mana-mana. Pria itu menatap lelaki di depannya yang sedang mempresentasikan rencana kerjanya 2 tahun ke dapan. Beberapa orang menunjukkan tampang puas dan menganggukkan kepala. Tanya jawab pun berlangsung lancar dan tidak ada kendala, sampai tatapan Adit berserobok dengan matanya sendiri. "Pak Ilyas. Untuk menunjang kelancaran rencana kerja ini, dukungan dari tim Anda sangat kami perlukan. Dengan adanya aplikasi mobile yang lebih representatif, tentunya user akan mendapatkan experience yang berbeda. Mereka bisa langsung melakukan pembelian aset investasi tanpa harus mengunduh aplikasi lain. Dalam satu aplikasi, semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan sempurna." Perkataan itu belum direspon Ilyas. Pria itu malah menatap Adit lebih intens dan tanpa sadar, tangannya mengepal kencang di atas meja sampai buku-buku jarinya memutih. 'Kau suka padanya?' "Pak Ilyas?" 'Mungkin kau harus mulai membuka diri. Andromeda bukan kandidat yang buruk.' "Pak?" 'Peristiwa itu sudah cukup lama. Dan wanita itu-' R*masan kuat di bahunya membuat lamunan Ilyas terputus. Mata pria itu mengedip dan ia menoleh. "Hagen? Kau tidak apa-apa?" Herman berbisik dengan menggunakan bahasa Jerman. Pria itu tampak khawatir. "Ya. Aku baik-baik saja. Tidak masalah." Kepala Ilyas kembali menoleh dan tatapannya terpaku pada Adit yang masih menunggu. "Jadi, kau sudah berhasil menawarkan fasilitas ini ke perusahaan investasi apa saja?" Pria di depan itu menyebutkan beberapa perusahaan. Tampangnya yang tadinya sumringah perlahan mulai memucat, saat Ilyas memotong dengan banyak pertanyaan detail yang belum diantisipasinya. "Tahun berapa mereka berdiri? Berapa user-nya selama ini? Bagaimana f*edback-nya di store? Kau ingin fokus di aset apa saja? Apa mereka sudah ada izin OJK? Ada yang pernah komplain karena merugi? Apa ada yang merugi karena masalah teknis? Apa kau sudah membandingkannya dengan aplikasi lain? Bagaimana f*e-nya untuk para broker? Apa kau sudah mendalami broker mana saja yang terlibat? Apa mereka bisa-" "Ilyas. Mungkin untuk pertanyaan teknis seperti itu, Adit butuh waktu untuk mencari tahu." Pandangan Stanley tampak pernuh arti saat ia melirik ke arah Adit. Paham maksud rekannya, penuh senyuman Ilyas menutup pelan map proposal yang ada di mejanya. Pria itu tampak berdiri dari duduknya dan merapihkan jas-nya. "Maaf, tapi aku tidak punya waktu untuk proposal yang belum siap. Alex. Daniel. Tolong kalian bantu mem-brief Aditya mengenai data-data yang kita perlukan dalam membangun aplikasi baru." Kaku, bawahan Ilyas yang merupakan para manager di bidangnya mengangguk. "Baik pak." Lelaki itu mengangguk pada Stanley dan Herman, masih dengan tersenyum. "Sebaiknya tim kalian saja yang hadir di pertemuan hari ini. Karena Aditya butuh banyak masukan dari kalian selaku pemain bursa. Sepertinya pengetahuan dia mengenai ranah investasi cukup minim. Jangan sampai dia salah bekerja sama dengan memilih perusahaan yang justru dapat membuat kita rugi." Senyuman Ilyas melebar, dan ia mengangguk ke arah Adit yang menunduk dalam. "Aditya." Tidak menunggu balasan sapaan itu, Ilyas langsung keluar dari ruangan. Langkah-langkah kakinya yang panjang membuatnya dengan cepat menelusuri lorong di lantai itu. Ia akan mencapai lift saat berpapasan dengan Ema yang baru keluar dari tempat fotokopi. Senyuman wanita itu yang sopan terpatri di bibirnya. "Pak Ilyas. Selamat siang." Bukannya menjawab, bola mata pria itu tampak bergerak-gerak saat mengamati wajah wanita di depannya. 'Kau suka padanya?' "Pak?" Tidak disadarinya, tatapan Ilyas turun ke arah bibir Ema yang merekah sehat. Ingatan pria itu melayang ke peristiwa beberapa malam yang lalu. "Pak Ilyas?" Aku suka padanya? Salah satu tangan Ilyas terangkat dan mengelus bibir Ema yang merah muda. Kedua alisnya berkerut dalam. "Pa- Pak Ilyas?" Pada orang ini? Aku suka pada orang ini? Mata pria itu naik dan memandang Ema. "Bibirmu sudah sembuh." Pikiran konyol. Canggung, Ema mundur untuk melepaskan diri dari sentuhan hangat pria itu. "Y- Ya. Lukanya tidak terlalu dalam." Lelaki itu berfikir sejenak sebelum bertanya, "Berapa umurmu?" "Pak?" "Umurmu?" Tenggorokkan Ema terasa seret tapi wanita itu menjawab kaku, "Tahun ini 29." Tidak terlalu muda. Tapi masih di bawah 30 tahun. Cukup pas. Tidak memandang wanita di depannya, kepala Ilyas mengangguk. Tangannya di saku celananya. Ekspresinya tampak penuh pertimbangan sebelum ia mengajukan pertanyaan lain. "Apa pendidikan terakhirmu?" Mulai tidak nyaman, Ema berusaha menghindar, "Pak. Saya kira itu sudah ada di CV. Anda tinggal-" "Pendidikan terakhir-mu, Em. Jawab saja." Nada pria itu terdengar tajam. Menghela nafasnya dalam, wanita itu berusaha mengalah. "Magister. Bidang SDM." Dalam hatinya, Ilyas bersiul. Tangkapan bagus. "Kamu sudah punya pasangan?" Merasa tersinggung, wanita itu menatap pria di depannya gusar. "Saya kira itu bukan urusan Anda, pak. Saya-" "Single berarti." Menggigit bibir bawahnya kuat, Ema menegakkan tubuhnya kaku dan tidak mau memandang Ilyas. "Saya permisi dulu. Selamat siang." Wanita itu tidak sempat melewati lelaki di depannya, karena lengannya ditahan. Kali ini, pria itu berbisik rendah di telinga Ema. "Malam ini kamu nonton kan? Ada yang mau aku bicarakan." Hembusan nafas lembut Ilyas di telinganya, benar-benar mengganggu konsentrasi wanita itu. "Lepaskan saya, pak. Tindakan Anda tidak pantas-" "Katakan 'ya' dan aku akan melepasmu. Aku tidak akan memaksa kalau tidak terpaksa." Perkataan itu membuat Ema menoleh dan menatap Ilyas dengan pandangan bertanya. "Pak?" "Katakan 'ya', Em. Please?" Mata pria itu yang kelabu tampak penuh permohonan. Bingung caranya menolak, wanita itu mengangguk. "Baiklah." Lega, Ilyas melepaskan lengan Ema dan sedikit menjauhkan tubuhnya. Tampak ada beberapa karyawan yang melewati mereka dan menyapa pria itu singkat. Setelah yakin tidak ada orang, pria itu kembali menatap Ema dan menyentuh bahunya ringan. "Terima kasih, Em. Kalau begitu nanti kita ketemu di tempat yang sama? Jam yang sama?" "Y- Ya. Tapi saya kira-" Suara denting lift membuat perhatian Ilyas teralih. Dengan ringan, pria itu menepuk pipi Ema. "Sampai jumpa nanti malam, Em. Jangan lupa. Tempat dan jam yang sama. Dah!" Mulut Ema ternganga saat melihat pintu lift menutup. Sikap akrab pria itu mulai melebihi batas kewajaran. Mencoba menjernihkan prasangka buruknya, wanita itu menggeleng pelan dan kembali melangkah. "Mungkin di LN pergaulannya seperti itu ya?" Sementara itu di dalam lift, tampak Ilyas mengamati layar ponselnya. "Halo?" Terdengar suara samar-samar yang menjawab panggilannya. Pria itu mengambil nafas dalam sebelum membalas ceria, "Halo? Opa? Bagaimana kabarmu dan Oma?" Mulutnya terkekeh tapi raut pria itu terlihat tegang ketika mendengarkan orang di seberangnya. "Opa jangan khawatir. Aku akan membujuknya untuk datang saat ulang tahun Oma nanti. Tapi kalian harus janji, setelah ini jangan menjodohkan aku lagi ya?" Pandangan pria itu tertunduk dan ia mengamati sepatu pantofel-nya yang mahal dan berkilat. Suara tawa masih terdengar dari mulutnya. "Aku serius, Opa. Kapan aku pernah bohong?" Kelopak mata Ilyas mengerjap beberapa kali dan ia tersenyum lembut. "Aku yakin, kalian pasti akan suka padanya. Dia berbeda dengan lainnya. Sampaikan salamku pada Oma." Setelah menutup panggilannya, pria itu menyender ke dinding lift. Tepat ketika ia menutup matanya, kilasan ingatan menyebalkan hinggap di kepalanya. Untuk pertama dalam hidupnya, hampir saja ia melakukan kekerasan pada seorang wanita. Hatinya masih terasa panas, saat mengingat dirinya benar-benar seperti pria idiot waktu itu. Membuka matanya, pria itu tersenyum muram. Ia harus segera melakukan rencananya, sebelum semuanya terlambat. Lebih mantap, kaki Ilyas langsung melangkah keluar lift saat pintu itu terbuka lebar.= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."