Share

Ada yang Bahagia

"Linda, Arya! Kalian di sini?"

Aku terbangun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri mereka, kemudian memeluk mesra sahabatku Linda. Kangen sekali karena tiga hari ini nggak ketemu.

"Kamu sakit apa? Nggak kenapa-napa 'kan?" ucap Arya menatap penuh kekhawatiran.

"Nggak apa-apa ...," ucapku sambil melirik ke arah Linda.

Linda tersenyum manis sambil menganggukan kepala pelan. Dia tahu apa yang kurasakan dan dia mengerti apa yang terjadi padaku.

"Kalian ayo duduk sini," kataku sambil berjalan ke sofa yang ada di kamar, mereka berdua pun mengekor di belakang.

"Mama tinggal dulu ya, mau ambil minum dan cemilan ke bawah."

"Jangan ngerepotin, Tante," kata Linda seraya tersenyum.

"Nggak kok," kata Mama sambil berjalan keluar kamar.

Bahagia rasanya hari ini karena temanku Linda datang kemari menjengukku.

"Kalian bolos, ya? Kok jam segini udah pada pulang?" tanyaku penasaran.

"Jam terahir nggak ada guru, jadi kami ke sini," ucap Arya.

"Oh pantesan."

Kemudian Mamaku datang dengan membawa makanan ringan dan minuman, laluh menyimpannya.

"Tante kami jadi ngerepotin nih ... jadi nggak enak. Oh ya, emang Bi Wati ke mana, Tan?"

"Bi Wati lagi pulang kampung, udah lumayan lama si. Katanya ada keluarga yang sakit, tetapi besok juga pulang," kata Mamaku menjelaskan.

Ya, Bi wati adalah pembantu di rumah kami. Dia sudah dianggap keluarga. Jadi mau pulang kapan pun Mama pasti izinin.

"Kia sayang, Mama tinggal dulu ya? Hari ini Mama ada arisan. Om Aldi juga ada di rumah, dia nggak ke kantor."

"Ya, Ma."

Tak terasa kami bertiga ngobrolnya sudah satu jam, lalu terdengar suara omku, mungkin karena suara kami berisik karena pintu kamarku terbuka.

"Kalian lagi pada ngapain?"

"Lagi menghibur Kia ... berisik ya, Om," ucap Arya.

"Nggak. Bagus kalau gitu, sering-sering aja kalian main ke sini."

Kemudian omku pun keluar dari kamarku.

"Kia, aku numpang ke kamar mandi, ya? Perutku sakit," ucap Linda sambil nyengir.

"Ya, tuh di sana."

Tinggalah aku dan Arya di kamar ini. Dia menatapku sambil kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Aku merasa ada yang aneh dengan Arya.

Ada apa dengan jantungku? Kenapa berdebar setelah Arya mendekat duduknya ke sampingku. Aku menatapnya, ahirnya mata kami pun beradu pandang.

"Kia, ada hal penting yang ingin kubicarakan," ucapnya.

Degg.

"Ya, ada apa, Ar."

Ada apa dengan Arya? Kenapa dia begini. Dan kenapa dengan jantungku? Rasa apa ini?

"Sebelum aku selesai bicara, tolong nanti kamu jangan menyelanya."

Aku mengangguk pelan, meski sejujurnya aku agak deg-degan melihat raut serius Arya. Kira-kira apa yang akan dia bicarakan? Kuharap ....

"Kia ... kamu mau jadi pacarku. Aku me--"

"Arya aku nggak bisa," selaku sebelum Arya menyelesaikan kalimatnya.

"Aku belum selesai. Kamu dah janji nggak akan menyelanya kan."

Mau tak mau aku menuruti permintaan Arya. aku pun mengangguk.

"Aku sayang kamu, tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan ketulusan perasasaanku padamu."

Mata Arya memandangku penuh harap. Aku bingung ... di satu sisi aku belum punya perasaan padanya, tapi di sisi lain aku tak tega kali ini untuk menolaknya.

"Ar...," ucapku terhenti.

"Kia, tolong beri aku kesempatan," pintanya lagi sambil memegang kedua tanganku.

Aku bingung harus jawab apa. Terima cinta Arya atau menolaknya?

Di tengah kekalutan yang aku rasakan. Ahirnya aku menerimanya dengan anggukan pelan. Toh tidak ada salahnya untuk mencoba menjalin hubungan dengan Arya. 

Semoga saja seiring berjalan waktu perasaanku akan tumbuh pada Arya.u Bukankah kata orang cinta tumbuh karena terbiasa?

Aku juga berharap dengan menerima Arya perasaanku pada Pak Yuda akan segera menghilang tak berbekas.

Ahirnya, senyum bahagia tersungging di bibir Arya. Aku menerimanya karena hatiku terluka oleh lelaki lain. Ada rasa yang aneh di hatiku, terasa sakit tapi tidak berdarah.

"Makasih, Kia," ucap Arya.

Kemudian aku melepaskan genggaman tangannya yang sedari tadi nggak dilepaskannya.

Linda ahirnya keluar juga dari kamar mandi. Dari wajahnya terlihat keheranan. Matanya tak berhenti menatap Arya, lalu kemudian masuklah Om ke kamarku lagi.

"Arya, ayo main catur."

"Boleh, Om."

Arya tersenyum seraya meninggalkan kami berdua. Mereka berdua keluar dari kamarku, kini aku hanya berdua di kamar bersama Linda.

"Kia, ada apa dengan Arya? Aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya tadi."

Linda merasa keheranan dengan sikap Arya. Apakah aku harus jujur padanya tentang Arya? Aku takut dia marah, tapi dia sahabatku. Dia harus tau semuanya.

"A-arya nembak aku, Lin," terbata-bata aku menjawabnya.

"Apa! Menembakmu? Tapi kamu pasti menolaknya, ya 'kan?" kata Linda dengan tatapan tajam.

Aku menggeleng.

"Aku menerimanya," lirihku.

"Hah! Apa nggak salah denger? Pak Yuda mau dikemanain? Bukannya kamu sangat mencintainya," ucap Linda sambil mengeryitkan dahi.

"Dia tetep ada di hatiku, Lin. Tak akan tergantikan," kataku menatapnya.

"Terus kenapa kamu menerima Arya? Dia mau dijadikan pelampiasan kamu, gitu?"

Linda menatap tajam mataku. Aku sampai takut melihat netranya. Dia benar-benar marah kali ini.

"Bukan gitu, aku kasian sama Arya, Lin."

"Jadi kamu menerima dia karena kasian?" ucap Linda sambil kesal, lalu menggelengkan kepala pelan.

Aku hanya diam tertunduk tidak bisa menjawab apa yang Linda tanyakan, karena ini memang benar adanya. Aku menerima Arya di saat hatiku sedang terluka. Aku memang egois.

"Ini salah Kia ... Arya akan terluka hatinya kalau dia sampai tau." Linda menatapku.

"Makanya kamu jangan bilang sama dia, ya Lin?"

Linda mengerti apa yang kupinta, dia menganggukan kepalanya pelan sambil duduk. Dan sekarang aku merasa tenang, kuhela napas berat.

Aku berharap setelah menerima Arya bisa melupakan Pak Yuda sepenuhnya.

Tak lama setelah itu kami berdua keluar menyusul ke balkon, sambil membawa cemilan yang dibikin Mama tadi ke Om Aldi dan Arya yang sedang main catur.

"Seru ya, kalian," ucap Linda menggangu mereka.

"Ngapain kalian pada ke mari?" ucap Om Aldi merasa tak senang.

Siapa yang tak senang, lagi main catur digangguin. Konsentrasinya buyarlah semua.

Aku dan Linda hanya nyengir kuda melihat mereka pada kesal.

"Skak mat."

"Ya, aku kalah ... kalian sih pada kemari," ucap Arya sedikit kesal.

"Idiih kenapa nyalahin kita, kalah mah kalah aja," ucap Linda tertawa jahat.

"Om dilawan," kataku. "Udah Ar, minum dulu nih."

Aku memberikan gelas yang sudah diisi minuman segar ke Arya. Tatapan bahagia terlihat dari matanya dan kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, karena aku perhatian padanya. Aku pun membalas senyumnya.

"Makasih," ucap Arya sambil mengambil gelas di tanganku.

"Cie cie, ada yang perhatian nih," ucap Linda.

Dia menggodaku. Aku kan jadi malu, mungkin pipiku merona saat ini. Tak lama setelah bermain catur, kemudian mereka berdua pamit pulang karena sudah sore.

"Kayanya Arya suka sama kamu," kata Omku setelah mereka berdua pergi.

Apakah aku harus jujur padanya bahwa aku sudah menerima cinta Arya? Aku harus jawab apa?

"Mungkin hanya perasaan Om saja," kataku sambil menunduk memainkan ujung baju.

Aku berbohong pada Om Aldi. Aku bingung harus berkata apa. Mungkin ini yang terbaik untuk saat ini.

"Oh ... tapi menurut Om bagus kalau Arya suka kamu. Biar kalian lebih deket dan kamu nggak kesepian lagi. Dan juga bisa melupakan Yuda," katanya sambil mengusap kepalaku dan berlalu pergi meninggalkan tempat ini.

Aku menganggukan kepala pelan dan tersenyum mendengar perkataan Om Aldi. Apa yang dikatakannya memang benar. Aku harus bisa melupakan pak Yuda. Karena mengikhlaskan adalah salah satu cara untuk bisa bahagia. Semoga rasa ini bisa memudar seiring waktu. Aku menghela napas lega.

Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku menuruni anak tangga ke bawah untuk membuka pintu karena di rumah hanya ada kami berdua. Ketika pintu dibuka ternyata Bi Wati yang baru pulang dari kampung halamannya.

"Assalamualaikum, Non."

"Waalaikumsalam ... Bibi, ahirnya ke sini, ayo masuk, Mama lagi nggak di rumah."

Aku mencium takjim tangannya. Kemudian Bi Wati masuk ke dalam dan pergi ke kamarnya. Aku pun kembali ke atas.

Aku berbaring di tempat tidur dan menerawang langit kamarku. Apa salah yang kulakukan ini?

Menerima Arya walau aku tak mencintainya. Menerima cintanya walau hatiku tak menginginkannya.

Semakin ke sini semakin sakit yang kurasa. Apa aku bisa? Apa aku sanggup untuk berhenti mencintai pak Yuda? Bulir bening pun kembali menetes dikedua pipiku.

Semakin berusaha keras untuk melupakannya. Hatiku semakin sakit. Dengan langkah gontai kuberjalan menuju kamar mandi, setelah itu lalu melaksanakan kewajibanku.

Aku melangkah turun menuruni anak tangga sambil memainkan ponsel di tangan. Ternyata tidak ada chat yang masuk. Lalu kududuk di sofa dan menyalakan Televisi.

"Bi, mama belum pulang?"

"Udah, Non," kata Bi Wati sambil berlalu pergi lagi ke dapur.

Ahirnya Mama pun datang dan menghampiriku.

"Ada apa?"

Aku tersenyum bahagia melihat Mamaku, "Kirain Kia belum pulang, Ma."

Kemudian Mama duduk di sampingku dan menikmati tontonan Televisi kesukaan kami. 

***

Hari ini adalah hari jumat, tiga hari sudah aku nggak sekolah. Aku langsung bergegas turun ke bawah untuk sarapan. Mereka ternyata sudah pada ngumpul di meja makan untuk sarapan.

"Mama nungguin Kia, ya?"

"Ya, sini sayang."

Ahirnya kami bertiga sarapan bersama.

"Kia, Om ada kejutan buat kamu."

Hah! Om mau ngasih kejutan? Apa ya? apa dia memberitahukan Pak Yuda, kalau aku suka padanya?

Jantungku berdegup kencang. Om mau nyomblangin aku mungkin? Tapi aku udah nerima Arya. Gimana ini? Tenang Kia jangan GeEr.

"A-a-pa, Om?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status