Share

Jujur

Ternyata benar Pak Yuda adalah temennya Omku. Apakah aku harus jujur dan bilang kalau aku menyukai temannya?

"Ya Om ... dia guruku," kataku sambil menoleh ke arahnya, lalu berpaling lagi dan menunduk.

"Kok kamu sedih gitu, mata kamu kenapa bengkak ... habis nangis, ya?"

Aku bingung harus jawab apa. "Nggak apa-apa Om."

"Oh ya, Linda kenapa nggak ikut pulang bareng kamu?"

"Dia pulang sama temen, Om," kataku.

Mobil pun melaju cepat. Omku fokus mengemudi dan aku memikirkan kejadian yang menimpaku tadi, penolakan dari Pak Yuda.

Tak terasa kami pun sampai di pelataran rumah. Aku turun dari mobil dan cepat-cepat masuk ke rumahku, lalu berlari menaiki anak tangga.

Menahan sesak yang sedari tadi mengungkungku. Aku masuk ke kamar dan menguncinya, lalu bersandar di balik pintu dengan mengcengkram dada yang terasa bagai dihujam belati.

Tertusuk tapi tidak berdarah. Isak tangis yang sedari tadi mati-matian dicegah agar tidak pecah ahirnya, meledak juga. Pedih. Tak bisa lagi di bendung.

Begini rasanya hati dipatahkan. Mataku pun semakin buram oleh luapan air mata yang terus saja keluar dari balik kelopak. Hingga ahirnya, aku tidak sanggup lagi menahan sakit di dada yang seolah meremasnya tiada berbentuk.

Aku pun berlari menghempaskan tubuh ini ke tempat tidur dan membenamkan kepala di sana. Meledakan kembali tangis di atas bantal agar teredam suara tangis kerasnya.

Cinta tak berbalas itu memang menyakitkan. Kata orang cinta tak pernah salah, tapi apakah semurni itu yang namanya cinta? Sehingga membuat siapa pun dengan bebas menyatakan perasaan kepada siapa saja. Bahkan, mengabaikan risiko yang mungkin terjadi. Ya, aku sudah melakukannya dan sekarang hatiku yang terluka.

Aku harus kuat dan sabar menghadapi semua ini. Terdengar suara ketukan di balik pintu.

"Kia, buka pintunya, Nak!" Mamaku teriak, mungkin keheranan karena tak biasanya aku mengurung diri di kamar. "Ini pintunya kenapa dikunci? Ayo keluar, makan dulu, sayang?"

"Kak, hari ini ada yang aneh sama Kia. Diperjalanan pulang tadi dia murung terus, matanya bengkak." Terdengar suara Om Aldi yang berusaha menjelaskan tentang keadaanku pada Mama. Dia mengkhawatirkan kondisiku karena melihat keadaanku tadi.

Dengan langkah berat kubuka pintu, lalu mereka berdua masuk dan terlihat kaget setelah melihat keadaanku. Rambut acak-acakan, mata merah juga bengkak dan masih memakai seragam sekolah lengkap dengan sepatu

"Kia, kamu kenapa, sayang? Apa yang terjadi padamu, Nak? Kenapa kamu begini?"

Beberapa pertanyaan keluar dari mulut Mama. Dia memeluk dan menciumku serta merapikan rambutku. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya, berusaha menenangkan diri.

"Kia, nggak apa-apa, Ma ... Kia janji nanti akan bicara pada kalian berdua, Kia mau mandi dulu," kataku sambil berlalu ke kamar mandi dan meninggalkan mereka.

***

Malam pun tiba. Mama menghampiriku.

"Kamu udah baikan sayang? Turun ke bawah yuk. Kamu belum makan dari pulang sekolah tadi."

"Kia nggak lapar, Ma," kataku, lalu masuk Omku ke kamarku dan duduk di kursi meja rias. Aku melihat kekhawatiran dan rasa penasarannya. Dia diam tak bicara satu patah kata pun.

"Ya udah Mama ke bawah dulu ambil makan buat kamu."

Omku berpindah duduknya ke atas tempat tidur dan kini kami saling berhadapan. Aku harus jujur padanya sekarang juga.

"Coba ceritakan apa yang terjadi padamu?" kata Omku.

Tatapan mata penasaran terpancar di sana. Jantungku sudah mulai tenang, tapi bibir ini seakan kelu untuk bicara. Aku takut Om marah padaku. Kuhembuskan napas perlahan.

"A-a-ku mencintai Pak Yuda Irawan ... temen Om, t-ta-pi." Terbata-bata aku menjawabnya dan perkataanku terhenti.

"Apa!"

Aku melanjutkan kembali perkataanku yang sempat terhenti tadi.

"Tapi ...dia sudah punya kekasih dan sebentar lagi akan segera menikah."

"Kok bisa? Om nggak ngerti dengan jalan pikiran kamu," katanya sambil mengeryitkan dahi. "Sejak kapan?" tanyanya lagi.

"Sejak kelas XI, dia adalah guru favoritku. Rasa ini bertambah setelah dia jadi wali kelasku," ucapku.

Omku hanya terdiam.

"Aku nggak tau kenapa bisa mencintainya? Apa ada yang salah dengan hatiku, Om? jawab!" seruku dengan suara bergetar.

Lagi. Omku hanya terdiam. Sesekali dia menggelengkan kepala pelan.

"Semenjak Papa meninggal aku kesepian, karena Om sibuk. Aku mulai mencari sosok pengganti yang lebih dewasa dan aku menyukai Pak Yuda.

Bulir bening pun kembali menetes hingga membuat aliran deras di pipi. Kemudian Omku memegang kedua tanganku.

"Oke tenang, ya. Masalah ini jangan bilang sama Mamamu dulu. Biar jadi rahasia kita berdua, ya?" kata Omku.

Aku hanya menganggukan kepala sambil menghapus air mata ini dengan ini tangan.

"Om minta maaf karena selama ini nggak merhatiin kamu, udah jangan nangis lagi," ujarnya.

Dia kemudian beranjak turun sambil mengusap puncak kepalaku. Aku pun tersenyum.

Beban di hati ini berkurang setelah menceritakan semuanya dan berkata jujur pada Omku. Mama muncul dan membawakan makanan untukku.

"Makan dulu, nih Mama udah bawain buat kamu."

Netraku beralih menatap Om keluar dari kamarku, sambil telunjuknya menempel di kedua bibirnya. Aku pun paham maksudnya apa.

"Biar sama Kia aja, Ma ... nggak usah disuapin," kataku sambil mengambil piring yan sudah diisi nasi yang dipegangnya. Mama pun tersenyum.

"Ada masalah apa? Mama boleh tau?"

"Ma, Kia lagi makan ... nanti aja, ya?" ucapku sambil tersenyum manja.

"Oke kalau gitu ... nanti aja kalau kamu dah siap, cerita ke Mama, ya. Sekarang habiskan, setelah itu tidur."

Kedua sudut bibirku terangkat ke atas sambil menganggukan kepala. Mama menemaniku sampai beres makan. Lalu ia pun keluar dari kamarku. Kemudian ponselku berdering dan ternyata itu Linda.

"Hallo."  

"Ya, Lin."

"Kamu baik-baik saja 'kan? Kok suaramu serak? Nangis lagi, ya?"

"Aku nggak apa-apa."

"Kia, udah ... jangan dipikirin terus."

"Ya, Lin. Besok kayanya aku nggak akan sekolah deh. Tolong izinin, ya?"

"Ya."

"Makasih, Lin. Udah dulu, ya."

Obrolan pun berahir lalu kusimpan ponsel di sampingku. Aku menerawang menatap langit kamar. Apakah aku sanggup melupakan semua ini dan berusaha untuk bisa melupakan Pak Yuda. 

Melupakan semua perasaan ini kepada dia, tetapi semakin aku melawan semakin besar perasaan ini terhadapnya.

Mungkin orang lain berpikir 'Ahh sudahlah, buat apa kau menyimpan perasaan jatuh cinta, sedangkan dia tidak memedulikanmu. Sudah lupakan saja ... cari yang lebih baik. Namun, buatku dia yang terbaik saat ini. Suara ponsel berdering membuyarkan semua lamunanku. Ternyata itu dari Arya.

"Hallo."

"Ya, ada apa?"

"Kia, kamu nggak apa-apa? Aku mengkhawatirkanmu." Terdengar suara sedih di ujung telepon sana.

"Aku nggak apa-apa, Ar."

"Kok suaranya lesu gitu ... aku ingin mendengar tawa ceriamu, Kia."

"Ar, aku lagi nggak mau bercanda."

"Siapa yang ngajak bercanda? Aku ingin menghiburmu."

"Ya makasih."

"Aku bahagia bisa mendengar suaramu malam ini. Sekarang aku akan tidur dengan tenang dan hatiku berbunga-bunga jadinya." Terdengar suara cengengesan Arya di ujung telepon sana.

"Yaa!"

"Aku mikirin kamu. Mengapa setiap kali aku memejamkan mata, satu-satunya yang bisa kulihat hanyalah wajahmu."

"Arya udah. Aku tutup teleponnya, ya."

Obrolan pun berahir. Rayuan gombalnya keluar lagi, itulah Arya. Sahabat terkonyol, gombal, baik juga ganteng, tapi aku menganggapnya hanya sebatas sahabat, nggak lebih.

Kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Dia berhasil membuatku tersenyum.

Kok hatiku happy digombalin sama Arya. Ada apa denganku?

***

Waktu terus berputar. Detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari. Berlalu tanpa terasa. Tiga hari sudah aku tidak sekolah. Tiba-tiba suara pintu terbuka.

"Kia sayang ... coba tebak siapa yang datang hari ini?"

Suara Mama membuyarkan lamunanku. Aku berbalik ke arah suara itu.

"Siapa, Ma?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status