Dahulu, sebelum aku memutuskan untuk membuka jati diriku, aku pernah rasakan sepinya dunia dan lelahnya menelan segala kerapuhan sendiri. Padahal ku-tahu jika manusia diciptakan menjadi makhluk yang tak sempurna agar terlaksananya kerja-sama dan saling bergandengan. Manusia mana yang bisa hidup sendiri? Hanya pikiranku kala itu yang bisa berdiri sejauh itu.Aku yang selalu memberi tekanan tersendiri untuk berdiri dengan kedua kakiku alih-alih menopang pada yang lain. Aku yang selalu menerapkan sistem, bahwa telinga membuka lebih baik ketimbang mulut bergerak. Aku yang selalu memantapkan diri untuk berlaku sempurna di hadapan banyak orang, tanpa kekurangan yang bisa keluar dari celahku. Aku yang selalu memperingati diri agar tidak berlaku lemah di hadapan yang lain. Hanya aku dan malam yang tahu bagaimana rumitnya menjalani kehidupan dengan bermacam-macam topeng.Baik-baik saja? Oh ya, tentu. Aku selalu mengumumkan pada semua orang bahwa hidupku baik-baik saja. Maka tidak aneh ketika b
Seperti jambret yang tugasnya melanglang barang berharga milik orang lain, Kamala benar-benar membuatku harus mengikuti kemana langkahnya pergi. Aku tidak akan menyebutkan nama kafenya, tapi yang jelas berada di pinggiran jalan. Tidak terlalu jauh dari kampus, cukup 15 menit kami mengendarai mobil tanpa kemacetan sebab ini masih pukul 3 belum turun ke angka 5 petang hari.Dia yang memaksaku untuk mengasingkan diri dari Orick. Dia yang bertekad untuk menenangkanku, pada akhirnya malah aku yang menyenangkannya dengan pesanan makanan bertumpuk di atas meja. Oknumnya sibuk bagai juri master chef yang mengicip ini dan itu. Sementara aku adalah peserta lomba yang memasang wajah lelah."Lo nggak dikasih makan ama bapak lo berapa tahun?""Bismillah dulu lo kalau ngomong!" Dia berdecak dengan mata monolid menyipit padaku. Hal spele begitu yang tadinya ingin kuseriusi, berakhir membuatku tergelak. Ah sial, repotnya memiliki jiwa receh.Sekarang, aku malah memberisiki lingkungan kafe yang sedang
Gadis tomboy yang kelakuannya humoris itu tidak disangka-sangka bisa jatuh hati pada seorang lelaki dingin macam Abi. Jika kuingat bagaimana gemasnya tingkah Kamala, dia banyak bergaul dengan kaum adam alih-alih hawa. Belum lagi sifat magerannya yang membuatku takjub, bagaimana bisa dia menjalin hubungan jarak jauh? Sedangkan dia bukan perempuan yang neko-neko."Nggak anjir, gue cuman nanya doang barusan! Elah, males amat galau-galauan!" justru dengan dia berkilah, aku semakin puas menertawainya."Kak, please deh. Ketimbang gue seneng punya cowok kayak Abi----""Cieeeeee, ulululu bucin banget sih La!" potongku. Dia terlihat menghela napasnya dalam-dalam, bahkan matanya yang jengah seperti ingin memarahiku. Tapi aku bertaruh, dia tidak akan seberani itu."Nyebelin banget sih kak, padahal gue lagi seneng karena keadaan rumah."Aku tertegun sebentar. Tawaku lagi-lagi melempem, dan bola mataku melebar kurang percaya. Aku tidak salah dengar, dia senang karena keadaan rumah?"Keadaan rumah?
Langit berubah mendung sejak kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sekitar saat maghrib selesai, aku dan Kamala langsung sepakat berpisah sebab masih ada urusan yang harus kami urus. Bukan apa-apa, dia yang memiliki tugas, aku jua memiliki penyelesaian akhir alias skripsian yang harus ku-urus buru-buru.Datang ke pekarangan rumah, ketika aku memasukan mobil ke depan garasi, terpantau bapak seperti biasa nangkring di depan teras bagai satpam. Dengan koran yang menutupi wajahnya, secangkir kopi tergolek di sisi meja, lantas lampu teras dan taman sudah berjajar menyala. Pemandangan ini bisa disebut sebuah hal wajib. Makanya jika sekali-kali bapak tak nampak di sana, aku selalu merasa aneh.Suara pintu yang kubanting cukup mengalihkan atensinya hingga empat mata itu menoleh ke arahku. Bila bapak lelah memulai sebagai yang pertama, aku yang akan memberikannya senyum sebagai pembuka. Kadang kala jika kuingat bagaimana pandanganku dahulu terhadap keluarga, selalu membuatku sed
Aku tidak mengambil apapun selain memindah alihkan laptop dan handphone pada kamar Erin. Tapi di sana, tiba-tiba saja meja yang semula berserakan cat sudah bersih tergantikan makanan dan ia-pun berganti tugas."Kakak makan dulu kata Ibu, pasti di luar belum makan nasi." ujarnya. Melihat sepiring nasi yang dia bawa saja membuatku begah."Kakak udah makan mie di luar." jawabku sembari menurunkan laptop dan handphone di atas ranjang, sementara Erin masih duduk anteng di atas kursi belajar."Belum makan nasi itu.""Sama-sama karbohidrat.""Orang Indonesia kalau belum makan nasi belum disebut makan."Aku geleng-geleng kepala dengan tawa kecil. Memang ya, negara ini sedikit unik ketimbang negara lain. Segala apapun yang bersangkutan dengan makan berat harus ada nasi. Padahal kan semacam gandum, jagung, mie, tepung, sama-sama bisa menyokong energi. Tapi sepertinya tingkah Orick yang selalu makan indomie pakai nasi membuktikan bahwa Indonesia tanpa nasi bagai ambulan tanpa uwiw."Makan dulu k
Oke, jadi begini. Aku seringkali ditanya apa hobi yang bisa aku lakukan tiap kali merasa bosan? Dan tanpa ragu kujawab, mencuci serta menyetrika baju. Namun setelah mendengar itu, rekan-rekan yang bertanya padaku wajahnya berubah mupeng. Aku tidak tahu apa yang salah dengan jawabanku kala itu, akan tetapi--memangnya salah, ya?Pagi sedari pukul 4 lebih 30 menit, aku berbalap lomba dengan ayam berkokok. Karena jadwal tidurku semalam cukup teratur, berakhir bangunku juga sesuai jadwal. Dan terlalu pagi untuk memulai hari dengan skripsi, aku merasa penat-penatku ini perlu ditaburi deterjen terlebih dahulu. Disikat, dibilas, dicelupkan. Oreo ✌.Sudah lama sekali semenjak aku mulai sibuk pada dunia perkampusan, aku lupa bagaimana suasana keluarga dengan pagi-pagi yang tentram. Yang biasa kuhadapi adalah gubrahan Sadan untuk mengerjakan susunan laporan, proker-proker bersama, atau bawelnya para adik-adik di bawah tingkatku. Aku lupa bahwa duniaku saja perlu dibenahi sebelum memperbaiki yang
Sudah cukup lama setelah aku mengerjakan ibadah, langit berubah lebih terang lagi dan perlahan bukan lagi seberkas fajar yang muncul, melainkan hidung matahari tampak menyapa seluruh rakyat di bumi. Aku tidak tahu korelasi apa yang tepat, tetapi bagai badai yang disapu angin, seakan-akan mendung tadi malam tak pernah hadir, pagi ini langit biru berkilau tanpa eksistensi awan yang menghalangi intensitas cahaya.Bukan lagi suara ayam yang menguasai wilayah, melainkan kicauan burung di atas kabel listrik sedang berjajar bersama. Tidak lagi suara motor yang begitu ribut saling melesat, hening di kamis pagi menjelaskan bahwa hari kerja masih berjalan. Riuhnya pusat suara hanya dari penggorengan dapur kami.Seperti janji kami untuk memasak bersama, dengan menu kuliner kota lain. Hari ini kami sepakat memasak bebek goreng sinjay Madura dengan Mie aceh.Untuk perihal bumbu ulek, kami menguleknya pribadi. Dan tentunya aku bagian membejek rempah-rempah itu. Mulanya aku sudah mengambil blender,
Emotikon yang Orick beri di akhir pesan tadi yaitu motor vespa. Sedangkan yang kutahu dia hanya punya motor klasik yang jok motornya itu seumprit sekali, aku seperti duduk di ujung besi. Tapi hebatnya, entah bagaimana caranya saat ini aku duduk di atas vespa biru yang begitu cantik, sampai-sampai aku jatuh hati dengan Orick karena motornya.Suaranya memang tidak trenteng-trenteng, namun nikmatnya suasana yang kita lewati sedaritadi seperti dunia milik berdua. Tumben-tumbenan jalanan Jakarta bebas polusi sekaligus tanpa macet. Hebat, aku memang penguasa dunia ini.Entah akan dibawa kemana, namun kubiarkan saja tanpa digubris. Dua tanganku yang memeluk erat perutnya, sesekali kepalaku mendekat ke arah pundaknya hanya untuk menangkap ucapan yang keluar dari mulutnya. Di bawah terik pukul 2 siang--bayangkan sepanas apa anomali dzat yang menyentuh kulitku."Karena ini mendadak, aku bawa kamu ke tempat-tempat yang ada di sini aja ya." ujarnya, langsung diangguki aku."Iya, kemana aja yang p