Share

11. In My Arms

Chapter 11

In My Arms

Suasana tampak lengang, hanya suara kertas yang di bolak balik sesekali terdengar memecah keheningan.

"Ma, ayolah... bantu aku berpikir." Sophie merengek kepada wanita di depannya yang sedang membolak-balik tabloid.

"Sejak dulu sudah kukatakan jika Beck itu tidak baik untukmu, aku berulang kali mengenalkan anak-anak klienku yang jauh lebih kaya. Tapi, kau dibutakan cinta."

"Kau mengenalkan aku pada pria tua," sungut Sophie.

"Hanya lebih tua beberapa tahun, bukan masalah. Yang penting uang mereka banyak." Nena sama sekali tidak mengalihkan fokusnya dari tabloid di tangannya. "Sekarang, kau pengangguran, kartu kreditmu juga di ambil oleh Beck."

"Lucy yang mengambilnya, bukan Beck," ralat Sophie.

"Siapa pun itu, tidak ada bedanya karena artinya kau sekarang benar-benar tidak berguna," ujar Nena, acuh. "Di kota ini ada banyak pria yang lebih kaya juga lebih tampan dibandingkan dengan kekasihmu itu."

"Tapi, hanya Beck yang memberiku uang banyak. Pria lain hanya ingin tubuhku."

Nena menutup tabloid di tangannya. Wanita itu menghela napasnya, menatap Sophie dengan tatapan dingin. "Memangnya Beck tidak ingin tubuhmu?"

"Dia menginginkan aku setiap waktu di kantor," jawab Sophie bersungut-sungut mengingat bagaimana Beck memang terlalu bergairah hingga terkadang ia kewalahan karena gairah Beck yang tidak mengenal waktu.

Namun, seperti apa buasnya Beck setiap kali mereka menyatukan tubuh. Ia bisa mengimbangi Beck karena ia pun sama bergairahnya dengan Beck, ia puas dengan permainan Beck dan yang paling utama adalah memuaskan Beck karena tanpa Beck, dipastikan ia tidak bisa menikmati hidup nyaman karena uang yang diberikan oleh Nena tidak akan cukup untuk menunjang penampilannya.

"Bayangkan jika kau menggunakan otakmu, sudah berapa uang yang kau hasilkan jika kau menjadi simpanan pejabat dari pada kau tidur dengan Beckmu itu." Nada bicara Nena terdengar sungguh-sungguh.

"Jadi, aku harus bagaimana?"

"Lihat dulu dalam beberapa hari ini, apa Beck memberimu kartu kredit lagi atau tidak," ujar Nena.

"Jika tidak?"

"Apa kau kehilangan otak di dalam rongga kepalamu?" Nena menatap Sophie, sorot matanya tajam. "Tinggalkan dia, untuk apa kau bertahan dengan pria pelit."

Sophie mendengus. Ia adalah anak yang tidak memiliki orang tua yang di adopsi oleh Nena. Wanita itu adalah mantan seorang pelacur yang kini menjadi seorang muncikari di sebuah rumah bordil sekaligus tempat perjudian kelas atas di Barcelona. Menurut Nena, Sophie adalah anak dari teman baiknya yang meninggal karena dibunuh oleh kekasihnya karena cemburu dan siapa ayah biologis Sophie, Nena juga tidak tahu pasti karena teman baiknya itu juga berprofesi sama seperti dirinya dulu.

Nena sengaja memberikan Sophie pendidikan di tempat paling bergengsi di Barcelona dengan harapan gadis itu menemukan pria kaya di tempatnya menimba ilmu, bukan pria sekelas Beck yang menurut Nena hanya orang kaya tanggung, tidak terlalu berpengaruh, dan juga tidak sepadan jika disandingkan dengan kecantikan yang Sophie miliki.

"Jangan khawatir, aku akan mencarikan pria yang lebih kaya untukmu asal kau menurut. Kujamin kau tidak akan kekurangan apa pun," ujar Nena.

Sophie memutar kedua bola matanya. "Selaramu payah."

"Aku akan memilihkan yang seusia Beck agar saat kalian bercinta kau bisa membuka matamu," ujar Nena sambil tertawa geli. Ia paham betul ketakutan Sophie yang enggan tidur dengan pria tua.

"Itu tidak lucu," sungut Sophie.

Nena bangkit, ia mengusap puncak kepala Sophie. "Aku selalu mengharapkan kau mendapatkan pria yang bersedia menikahimu dan juga kaya agar kau tidak perlu hidup seperti aku dan mendiang ibumu," ucapnya lirih.

"Tapi, untuk mendapatkan itu apa tidak ada cara lain selain tidur dengan pria kaya?" tanya Sophie.

"Apa ada pria kaya yang akan mendekatimu jika tidak melalui cara seperti itu sementara kau bukan dari kalangan mereka?"

Sophie tertegun mendengar apa yang Nena ucapkan, tanpa sadar ia mengangguk. Membenarkan ucapan Nena. Gadis itu menghela napasnya yang terasa agak sesak. Nena memang bukan orang tua kandungnya tetapi wanita itu memperlakukannya dengan baik sejak ia kecil hingga sekarang meski terkadang saat Nena lelah dan wanita itu berubah menjadi sedikit galak.

"Aku yakin kekasih tersayangmu itu datang," ucap Nena dengan nada sinis saat mendengar suara bel pintu unit apartemen tempat tinggal mereka berbunyi.

Sophie segera bangkit untuk membukakan pintu untuk Beck, pria yang baru saja memasuki tempat itu tampak lusuh. Ekspresi wajahnya muram dan ada sedikit bara di matanya.

"Beck...," desah Sophie. Gadis itu memasang topengnya, begitu polos, seolah tidak berdaya dengan semua yang telah terjadi hari ini.

"Maafkan ibuku," ucap Beck. Ia merengkuh Sophie ke dalam pelukannya lalu mengecup pelipisnya.

"Aku memang tidak pantas untukmu, aku bukan orang yang berada seperti kalian." Nada suara Sophie begitu lemah seolah-olah di dunia ini ia adalah satu-satunya orang yang menderita.

"Kau tidak perlu merisaukan ini, kita saling mencintai, yang menjalani adalah kita. Orang tuaku tidak akan mempermasalahkan apa pun keadaanmu jika Vanilla tidak mempengaruhi mereka," ujar Beck. Ia memeluk Sophie, penuh kasih sayang.

Sophie mengangguk lemah. "Beck, aku pengangguran sekarang. Aku rasa aku akan kesulitan mencari pekerjaan karena aku dikeluarkan dari perusahaan dengan tidak hormat."

"Kau tidak perlu bekerja, tinggallah di rumah untuk sementara hingga suasana menjadi lebih baik," ujar Beck.

Sophie menunduk. "Membiarkanmu dan calon istrimu sepanjang hari bersama?" tanyanya lirih.

"Kau bisa pegang kata-kataku, Vanilla tidak akan menjadi sekretarisku apa lagi istriku. Selamanya." Beck meyakinkan kekasihnya, ia memang tidak akan pernah membiarkan Vanilla menjadi sekretarisnya, tidak akan pernah.

Sophie mengangguk. "Apa kau akan menginap di sini?" tanyanya dengan nada manja.

Beck mengusap-usap kepala Sophie. "Aku akan tinggal di sini beberapa hari hingga-keadaan lebih tenang, ibuku dan aku perlu waktu," ujarnya.

Beck tahu, tidak ada gunanya memaksakan kehendaknya kepada Lucy, ibunya. Wanita itu di kata Beck telah terpengaruh oleh Vanilla dan sekeras apa pun Beck membujuk ibunya, ia tidak akan bisa menang. Yang ia perlukan adalah menjauhi ibunya untuk menghindari perdebatan yang semakin memanas jika ia kembali ke rumahnya.

"Hai, Beck," sapa Nena, wanita itu membawa tas di lengannya berjalan menuju pintu keluar.

"Hai, Nena," sapa Beck.

"Bersenang-senanglah, aku akan kembali ke rumahku," ujar Nena. "Sayang, perlakukan Beck dengan baik."

"Aku tahu," ujar Sophie, ia menatap Nena penuh arti kemudian beralih menatap Beck dengan ekspresi yang sangat manis.

Sementara Beck tanpa canggung langsung melumat bibir Sophie tanpa menunggu Nena menjauh. Keduanya saling menautkan bibir, saling menggoda, lalu perlahan saling menuntut lebih dari sekedar ciuman itu.

***

"Ya Tuhan

"Ya Tuhan. Nick, kau membuatku kekenyangan." Vanilla menyandarkan punggungnya di sofa, ia baru saja menyelesaikan bermacam-macam hidangan yang di siapkan oleh koki di rumah keluarga Knight.

"Cara mengobati patah hati adalah dengan makan," ujar Nick, nadanya menggoda.

"Aku tidak patah hati," sungut Vanilla.

"Oh, ya? Jadi, siapa yang beberapa jam yang lalu menangis di pelukanku?"

Vanilla mengerucutkan bibirnya, ia menatap Nick dengan tatapan kesal meski sebenarnya ia tidak kesal. Justru ia merasa jika wajahnya terasa sangat panas karena mengingat betapa damainya berada di dalam pelukan pria tampan di depannya.

Nick terkekeh. "Kau akan menjadi seperti seekor babi jika tidak segera bangkit dari dudukmu," ujarnya, pria itu mengulurkan telapak tangannya kepada Vanilla.

Vanilla menaikkan kedua alisnya, menatap telapak tangan Nick yang terulur menengadah di depannya.

Nick tersenyum. "Hanya melihat pemandangan dari balkon."

"Oh," desah gadis itu.

Vanilla menyambut uluran tangan Nick setelah mendengar ke mana Nick akan mengajaknya. Saat telapak tangan mereka bersentuhan, Vanilla merasa seolah tubuhnya tersengat aliran listrik. Meski tidak terlalu besar, tetapi mampu membuat darahnya terasa memanas dan tubuhnya bereaksi aneh. Gadis itu bangkit dari duduknya, mengikuti Nick berjalan menuju pintu yang mengarah ke balkon.

"Indah sekali," gumam Vanilla, tatapan matanya dimanjakan kemewahan keluarga Knight.

Dari atas balkon, Vanilla bisa melihat taman yang terletak di halaman belakang yang sangat luas, juga kolam renang, serta taman yang di desain dengan rapi dan cantik. Ketika ia melayangkan pandangan ke samping, Vanilla mendapati bangunan yang terbuat dari kaca berbentuk kotak, luasnya hampir sama dengan bangunan rumah.

"Tempat apa itu?" tanya Vanilla.

Nick menatap Vanilla dari samping, bibirnya menyunggingkan senyum. "Apa kau suka kucing?"

Vanilla menoleh, mendapati Nick yang sedang menatapnya. Mata biru pria itu menatapnya begitu lembut, tatapan itu seolah mampu menggoyahkan lutut Vanilla. Ia berusaha menghindari tatapan pria itu karena ia yakin, jika tidak melakukannya maka dipastikan ia akan meleleh di dalam pelukan Nick. Pria yang pernah ia idolakan saat ia remaja dulu.

"K-kucing?"

"Ya, kucing."

Vanilla mengerjapkan matanya seolah tidak percaya jika pria tampan di depannya adalah penyayang binatang. "A-aku suka, sepertinya...."

Ia tidak yakin karena sepanjang hidupnya, Vanilla belum pernah memelihara kucing maupun binatang lain di rumahnya.

Nick menyingkirkan sejumput rambut yang tergerai di wajah cantik Vanilla. "Apa kau ingin melihat?"

Vanilla merasakan sentuhan ujung jemari Nick di keningnya saat pria itu menyingkirkan rambutnya, lembut, menyenangkan, dan tubuhnya terasa melayang.

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan rate.

Salam manis dari Cherry yang manis.

🍒

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
luvluvv ......
goodnovel comment avatar
christy tenda
Akhirnya Cinta pun hadir n bersemi ......
goodnovel comment avatar
lulu ar Lulu ajmal
hadir ??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status