"Ini apa, Bim?" tampak Andri terkejut ketika sejawatnya yang tengah menjalani pendidikan spesialis anak datang ke ruang praktiknya dengan membawa tabung berisi sampel darah.
Bima menghela napas panjang, menepuk jidatnya sambil mendengus kesal. Ia menatap Andri dengan tatapan gemas, meraih tabung itu dan mengangkatnya ke atas.
"Berapa tahun belajar kedokteran? Jadi dokter berapa tahun, sampai kau tidak tahu ini apa?" tanya Bima gemas.
Kini gantian Andri yang menghela napas panjang, balas menatap gemas sejawatnya itu sambil bersiap-siap menyemprot Bima yang masih menatapnya sambil mengangkat tabung berisi darah.
"Ya aku tau itu darah, Bim. Maksudku itu darah buat apa? Mau kau apakan sampai kau bawa ke sini, Bim?" Andri menjelaskan maksud pertanyaannya barusan. Dia mempertanyakan itu, bukan soal apa benda yang Bima bawa. Kalau itu tentu Andri tahu, darah yang Bima bawa kemari.
Bima meletakkan tabung itu, menundukkan wajahnya sambil m
Mobil itu berhenti tepat di depan rumah besar yang selama ini Melinda tempati. Rumah yang menjadi tempat dia pulang setelah resmi menikahi Bima Dirgantara Soebrata.Melinda memejamkan mata sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu melepaskan seat belt-nya. Melinda menoleh, menatap Radit yang juga tengah menatap matanya itu."Terima kasih banyak sudah mau jadi teman bicaraku, Mas. Terima kasih sudah di traktir kopi." senyum tipis tersungging di wajah Melinda, membuat Radit ikut tersenyum dan mengangguk pelan."Sama-sama, Mel. Aku senang bisa jadi teman bicara untuk segala masalahmu."Melinda mengangguk, ia hendak keluar dari mobil ketika tangan itu mencekal tangan dan membuat Melinda mengurungkan niatnya untuk turun dari mobil."Mel, aku cuma mau bilang sama kamu." tangan itu masih mencengkeram erat tangan Melinda, membuat Melinda membeku seketika. "Seumur hidup itu terlalu lama, Mel. Apapun dan bagaimanapun kondisi kamu, k
Bima benar-benar panik, tidak peduli darah itu membasahi dan mengotori snelli-nya ia terus mempertahankan posisi Anetta dalam pangkuannya. Tampak dokter Gina tengah menganamnesa Anetta yang masih mengeluarkan darah dari hidungnya.Penyakit apa ini? Thalasemia? Von willebrand? Atau apa? Hati Bima seperti di remas melihat bagaimana gadis kecil ini duduk di pangkuannya dengan kondisi hidung yang masih mengucurkan darah."Observasi lebih lanjut apa perlu opname, Dok?"Bima tersentak, perlukah? Tentu perlu kalau sampai detik ini darah belum mau berhenti! Sudah bisa dipastikan kalau ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh Anetta."Perlu, px ada riwayat lahir kurang bulan. Kebetulan dokter Agus cuti, besok baru saya konsulkan beliau, Dok." jelas Bima yang masih betah memangku gadis kecil itu. Padahal Bima tahu, mamanya berdiri tidak jauh dari tempat dia duduk."Baik kalau begitu." dokter Gina menatap sosok yang berdiri tepat di seb
Vina membawa jas dalam dekapannya itu melangkah keluar dari IGD. Dengan langkah tergesa dia menuju lift, hendak menyusul Anetta yang sudah lebih dulu dibawa ke ruang inap ditemani Ani. Dalam hati Vina bersorak gembira, akhirnya ide gila yang mendadak muncul itu sukses! Jas lelaki itu dalam genggaman Vina sekarang.Untuk apa sebenarnya dia sampai merengek meminta jas berlumuran darah itu dari sang pemilik? Tentu hendak Vina hirup dan pastikan bahwa bau parfum yang berpadu dengan keringat itu adalah bau yang menyelimuti tubuhnya pagi itu, kala peristiwa paling berengsek terjadi dalam hidupnya dan meninggalkan Anetta di rahim Vina.Tapi apa mungkin?Ting!Vina melangkah keluar dari IGD, tempat yang dia tuju sebelum pergi ke kamar inap Anetta adalah toilet! Vina masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi, menutup rapat-rapat pintunya dan menatap nanar jas putih di tangannya.Jas itu pasti tampak putih bersih, kecuali noda
"Nggak ada salahnya kamu resign dari pekerjaanmu, Mel. Fokus program hamil. Mau sampai kapan kalian seperti ini?"Melinda yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulut ketika Anita mengeluarkan kembali kalimat yang sering sekali Melinda dengar. Kalimat yang berkali-kali sang mama mertua tujukan kepadanya.Melinda meletakkan sendoknya, menatap sang mama mertua yang tengah asyik menyantap makan malam. Melinda tersenyum getir, mendadak ia ingat obrolannya bersama Radit tadi. Mata Melinda sontak memerah. Perlukah Melinda jujur perihal kondisinya sekarang?"Sedang Melinda bicarakan sama Mas Bima, Ma. Melinda tipe yang nggak bisa diam di rumah, itu yang dari dulu jadi masalah."Anita mengunyah makanan dalam mulutnya, balas menatap Melinda yang nampak menunggu Anita bicara. Soroti itu tampak tenang, namun Melinda tahu dan paham bahwa di balik sorot itu, tersimpan rasa jemu yang teramat sangat.Melinda tahu bahwa kedua mertuanya begitu mengi
Bima bungkam, lidahnya mendadak kelu. Sementara Vina terisak dengan bahu naik-turun di sebelahnya. Koridor rumah sakit itu sepi, hanya ada mereka berdua, meskipun di bangsal rawat inap, ada banyak orang, tetapi ini bukan jam besuk, jadilah koridor ini sepi tanpa seorang pun.Bima seperti di tampar dengan segala penjelasan yang Vina katakan tadi. Jadi benar ... benar kalau Anetta adalah anak kandungnya? Benar bahwa perbuatan terkutuk Bima meninggalkan Anetta dalam rahim Vina? Astaga! Dia benar-benar lelaki terkutuk! Bajingan dan berengsek.Air mata Bima hendak menitik, namun sekuat tenaga Bima tahan agar Vina tidak curiga. Bima belum ingin mengakui dosanya, ia masih belum tahu apa-apa saja yang hendak dia lakukan. Siapkah dia dengan konsekuensi yang akan dia terima setelah dia jujur apa adanya.Namun naluri lelaki Bima begitu kuat. Dengan sisa keberanian dan sisa kekuatan Bima menahan gejolak tubuhnya, ia meraih Vina yang terisak itu dalam
Vina hendak bangkit, namun tangan Bima lebih gesit mencekal tangan Vina dan membuatnya tidak bisa pergi dari sisi Bima."Yang kamu sebut anak saya, itu anak saya juga, Vin." Bima menatap Vina dengan mata berkaca-kaca, sorot mata Vina begitu tajam. Bima paham dan mengerti kenapa Vina bisa sebenci itu terhadapnya.Bukan salah Vina kalau dia benci dengan Bima. Semua ini murni kesalahan Bima yang begitu pengecut dan pengundang! Dia laki-laki banci!"Anak saya? Dokter ngilang pagi itu ninggalin saya yang hancur lebur bahkan sampai nekat mau bunuh diri ketika testpack saya positif, dan sekarang begitu saya sudah berhasil dan bisa melewati semua hal gila yang terjadi dalam hidup saya, dokter tiba-tiba datang dengan entengnya bilang kalau Anetta itu saya Dokter?" Vina nampak begitu emosi, namun Bima sangat bersyukur Vina masih bisa mengendalikan emosi dan dirinya, hingga dia tidak berteriak keras sekarang ini.Air mata Bima menitik, semua yang V
Vina terduduk di balik pintu kamar mandi sambil terus terisak. Untung lantai kamar mandi kering, kalau tidak bisa dipastikan daster Bali yang dia kenakan basah kuyup.Dia masih begitu syok dengan kenyataan apa yang dia temui. Beberapa saat yang lalu, Vina berkali-kali menciumi, menghirup aroma jas putih berlumuran darah itu sambil berusaha tetap positif thinking, menepis semua dugaannya perihal dokter Bima. Tapi apa yang terjadi sekarang? Lelaki itu bahkan secara terang-terangan mengaku bahwa dialah lelaki yang memperkosa Vina malam itu!Vira menumpahkan semua air matanya. Dada Vina terasa begitu sesak efek air mata yang dia tumpahkan. Pandangannya kabur oleh air mata. Entah dia harus bahagia atau bersedih, yang jelas hari ini, dia begitu syok luar biasa."Bagaimana bisa?" suara Vina bahkan hampir hilang tertimbun isak tangis. Dia masih belum percaya seratus persen lelaki yang nampak begitu sopan dan berwibawa itu mampu melakukan hal yang begitu rend
Bima melangkah mendekat ranjang itu. Air mata kembali menitik. Sebuah kesepakatan sudah dia buat bersama Ani. Bahwa semua kunci jawaban dari permintaan Bima adalah Vina. Jangan lupakan permintaan Ani yang membereskan urusan Bima dengan sang isteri jika dia benar-benar ingin menikahi Vina.Ani tidak mau anaknya jadi istri muda, istri kedua atau entah apapun itu namanya. Bima menyanggupi semua. Demi Anetta, Bima sudah bertekad akan melakukan apapun, termasuk hendak melepaskan Melinda.Tangan Bima terulur, mengelus pipi gembul gadis yang terlelap begitu nyenyak di atas ranjang. Pipi itu begitu lembut, halus dan kenyal."Hai Sayang, ini papa." bisik Bima lirih lalu menjatuhkan sebuah kecupan di puncak kepala Anetta.Siapa yang menyangka bahwa Bima ternyata punya gadis kecil secantik ini? Sekian lama menanti, ternyata Bima sudah mendapatkan apa yang dia impikan selama ini. Seorang anak."Apakah dia pernah menanyakan ayahnya