"Belum selesai?" Bima duduk di sisi Vina yang masih sibuk dengan buku-buku dan laptopnya. Anetta sendiri sudah dia tidurkan di ranjang setelah sang nenek berkali-kali protes.
Kini gadis cantik kesayangan Bima itu berganti tidur dalam pelukan sang nenek. Tampak begitu damai dan bahagia.
"Belum, Mas udah capek gendongnya?" Tanya Vina sarkas, ia sama sekali tidak menoleh ke arah Bima, membuat lelaki itu sontak tertawa lirih.
"Belum, kamu mau digendong juga?" Tanya Bima setengah menggoda.
Vina menoleh, menatap Bima yang nyengir lebar menatapnya itu. Sebuah cubitan Vina lemparkan pada perut lelaki yang entah mengapa kini mampu menghapuskan hampir sebagian kebencian yang pernah Vina miliki untuknya.
Bima tergelak, hampir saja ia berteriak kalau saja Ani tidak memberi kode. Tangan Vina masih mencubit perutnya membuat Bima menatap ke dalam mata itu.
"Lepas dong! Sakit!" Mohon Bima sambil meringis.
"Nggak! Harusny
"Mas kenapa?"Bima tidak langsung menjawab, ia malah menundukkan kepala, melangkah mendekati sofa lalu menjatuhkan diri dan memeluk Vina dengan begitu erat. Tangisnya pecah, ia terisak lirih dengan bahu naik turun.Vina tertegun, apa yang sebenarnya terjadi? Padahal beberapa saat yang lalu, Bima begitu jahil menggodanya. Kenapa sekarang dia macam anak kecil kehilangan mainan?"Mas? Kenapa sih?" Tentu Vina sangat penasaran, apa yang membuat lelaki itu menangis sesegukan seperti ini?Bima mengangkat wajahnya, menatap Vina dengan mata berurai air mata. Bima menghirup oksigen banyak-banyak, membuat Vina melongo tidak mengerti. Apa yang terjadi? Kenapa Bima jadi seperti ini?"Aku gagal, Vin. Aku gagal!" Desisnya disela-sela isak tangis, sebuah pengakuan yang kembali membuat kening Vina berkerut.Gagal?Gagal yang bagaimana?"Maksudnya?" Tentu Vina penasaran, baru beberapa saat dia tertidur dan Bim
"Ma, Bima izin pulang dulu." Izin Bima pada Ani yang tengah memakaikan baju pada Anetta yang baru saja selesai mandi.Ani menoleh dan tersenyum, mengangguk pelan sebagai tanda persetujuan sambil berhati-hati memasukkan lengan baju Anetta ke botol infus."Semoga lancar ya, Bim. Mama doakan semoga semua masalahmu selesai dengan baik tanpa menimbulkan masalah baru." Tentu itu yang Ani doakan, Bima hendak ke rumah mertuanya, membahas perihal gugatan yang hendak dimasukkan ke pengadilan agama dan tentu saja mengantarkan Melinda kembali pada kedua orang tuanya."Amin, Ma. Bima juga berharap demikian." Bima tersenyum, mengelus lembut kepala Neta yang nampak segar dan begitu wangi selepas mandi."Papa mau kemana?" Tanya Neta dengan mata membulat."Pulang ke rumah oma Nita dulu, oke?" Bima tersenyum, cantik sekali anak gadisnya ini!"Ikut!"Sebuah permohonan dengan puppy eyes yang sontak membuat Bima membeku
"Kamu sudah yakin, Mel?" Madi menatap anak bungsunya, nampak dia sejak tadi menunduk, menghindari tatapan semua orang yang ada di sini.Semua saling pandang, hanya Bima yang serius menatap Melinda yang nampak masih membisu setelah mama dan papanya menjelaskan semua masalah yang terjadi di antara mereka. Semuanya sudah dibuka dan dibahas bersama. Tidak ada lagi rahasia malam ini."Tidak mencoba tetap menerima suamimu dengan kesalahan apa yang sudah dia perbuat? Setidaknya kalian tidak perlu bercerai."Bima yang sejak tadi mengarahkan pandangan ke arah Melinda sontak menoleh dan menatap Madi dengan tatapan terkejut.'Tidak perlu bercerai?'Kenapa Madi sepertinya tidak rela Melinda bercerai dari Bima? Dia lebih rela anaknya dimadu? Begitu? Bima hendak buka suara, menolak keras permintaan itu jika memang Madi lebih ingin anaknya dimadu daripada dicerai."Tentu Melin serius, Pa. Melin sudah pikirkan ini sejak lama. Ini kep
"Belum tidur?" Bima terkejut ketika mendapati Vina masih terjaga susu di depan laptopnya.Wajah itu mendongak, menatap Bima lantas menyunggingkan senyum tipis, "Aku pikir kamu tidak kesini."Bima tertawa kecil, "Kebiasaan ya? Tiap ditanya bukannya jawab malah balik tanya!" Bima menjatuhkan diri di sofa, menatap mata Vina yang membulat menatapnya itu."Aku kan--."Bima tidak menanti Vina menyelesaikan kalimatnya, ia meraih tubuh itu dan mendekapnya erat-erat. Aroma rambut itu benar-benar dahsyat! Hanya dalam beberapa detik saja aroma rambut itu mampu membakar Bima seketika."Semuanya sudah selesai. Besok berkasnya masuk, Vin." Bima mempererat pelukannya, menghirup aroma rambut itu dalam-dalam. Kenapa dia begitu lemah seperti ini?"Iya kah? Orang tuanya tidak protes dengan apa yang sudah terjadi?" Vina sendiri tidak berniat melepaskan diri, entah mengapa dada itu begitu nyaman untuk Vina membenamkan wajah. Bau par
"Pulang aja nggak apa-apa, nanti kau pantau terus kondisi anakmu dan laporkan ke saya, Bim." gumam dokter Agus yang sontak membuat semua yang ada di sana menghela napas panjang.Wajah Bima sontak sumringah, terlebih ketika melihat Anetta ikut tersenyum lebar dengan wajah ceria. Ah ... akhirnya gadis kecilnya itu tidak harus menjadi tahanan pesakitan di sini."Baik, dimengerti, Dok!" Bima mengangguk sebagai tanda mengerti."Siang ini kalau mau pulang sudah boleh, ya. Saya lapor nanti ke depan." dokter Agus tersenyum, mengusap lembut kepala Anetta yang pagi ini nampak begitu manis dengan jumpsuit warna pink dan kaos warna putih."Untuk hasil tes lab-nya bagaimana, Dok?" tentu itu yang Ani tanyakan, ia begitu tidak sabar dengan hasil tes tersebut.Harapannya, bukan penyakit langka itu yang Anetta derita, ia berharap penyakit lain yang tidak berbahaya!"Kami belum terima hasilnya, nanti akan saya sampaikan ke Bima kalau hasil sudah dikirim
Vina tercekat menatap sorot mata itu, tubuhnya seolah membeku seketika. Dua tangannya dikunci tepat di atas kepala oleh lelaki itu. Nampak wajah itu memerah, yang sialnya di mata Vina wajah itu nampak makin mengesankan! Bima seperti tidak membiarkan Vina bersuara mengutarakan penolakan, ia langsung membungkam bibir Vina dengan bibirnya. Hal yang makin membuat Vina tidak karu-karuan dibuatnya.Serangan itu seperti memiliki daya sengat yang luar biasa kuat. Menjalarkan panas hingga ke seluruh saraf tubuh Vina. Membuat bulu kuduk Vina meremang luar biasa.Otaknya yang tadi memerintahkan Vina memberontak dan melawan, kini seolah lumpuh. Terlebih tubuh Vina ... Kenapa dia tidak puas hanya dengan ciuman itu, kenapa rasanya Vina ingin hal yang lain? Sesuatu yang lebih dari ini?Bima melepaskan pagutan bibirnya, jarak wajah mereka begitu dekat. Vina bahkan bisa mendengar jelas dan merasakan hembusan napas Bima yang sudah memburu."Aku mau
"Kalian lama banget sih, kemana dulu tadi?" Protes Anita ketika Bima dan Vina muncul di ruang rawat inap Anetta.Bima sontak nyengir lebar, sementara Vina tergagap dan salah tingkah, membuat Bima langsung bersuara sebelum dua orang nenek itu curiga."Dosen Vina tuh ngeselin! Tadi nelpon katanya Vina suruh ke kampus ada hal penting, eh taunya cuma mau modusin Vina tadi! Untung Bima yang anter, kalo nggak bisa kurang ajar itu dosen." Sebuah kebohongan yang begitu lancar dan lugas keluar dari mulut Bima.Vina sontak membelalak, rasanya dia ingin meremas mulut Bima yang tampak nyengir lebar itu. Kurang ajar! Kenapa dosen Vina yang dia bawa bawa? Dosen Vina sopan semua!"Hah? Kamu mau diapain sama dosen kamu, Vin?" Teriak Ani yang syok luar biasa mendengar apa yang tadi dikatakan oleh Bima."Bu-bukan begitu, Ma. Ta-tadi cu-cuma ....""Aman kok, Ma. Jangan khawatir intinya, Vina aman kalau sama Bima." Jelas Bima
"Kau tahu? Mama sudah tahu semua rahasia kita tadi pagi!" Bisikan Bima ketika membantu Vina memasukkan barang ke bagasi mobil.Vina terperanjat, ia menoleh dan menatap Bima dengan mata melotot. Wajahnya sedikit memerah membuat Bima terkekeh lantas menutup bagasi mobilnya dengan segera."Bagaimana bisa?" Tanya Vina sebelum mereka harus bergabung bersama dua nenek itu yang nampak masih menemani Anetta bermanja-manja dengan kakeknya di loby rumah sakit."Insting seorang ibu katanya, dia takut kejadian dulu terulang lagi." Bisikan Bima kemudian.Vina menepuk jidatnya, membuat Bima mengacak gemas rambut itu dan menarik tangan Vina menjauh dari mobil. Nampak Bima melambaikan tangan, membuat dua orang nenek itu tampak sigap dan satu diantaranya metebut Anetta dari gendongan sang kakek."Pa ... Bima balik duluan!" Teriak Bima yang membuat Vina refleks menutup telinga."Astaga, begitu cara pamitnya?" Protes Vina sa