LOGINDikhianati sahabat dan kekasihnya yang berselingkuh, Joanna mencari pelarian dalam pelukan pria asing di bar. Malam panas itu seharusnya hanya sekali, sampai dia tahu pria itu adalah Damian Jovanca—ayah temannya sendiri. Damian tak ingin berhenti. Ia menginginkan Joanna sepenuhnya. Mampukah Joanna melawan godaan terlarang, atau justru terjebak dalam cinta yang penuh dosa?
View More“Ah, kau semakin lihai saja membuatku bergairah, Sayang.”
Jantung Joana seolah hampir ingin lepas di dadanya saat mendengar desahan dari dalam kamar.
Suara itu semakin jelas. Rintihan bercampur dengan desahan yang asing di telinganya.
Langkahnya berhenti di depan kamar tidur Thomas.
Pintu kamar itu setengah terbuka. Dari celahnya, Joanna melihat pemandangan yang seketika meruntuhkan seluruh dinding kepercayaannya.
Hari itu, Joanna ingin memberi kejutan. Tidak ada pesan, tidak ada telepon karena sengaja.
Wanita berusia dua puluh empat tahun itu ingin melihat ekspresi tulus dari kekasihnya yang sudah menemaninya selama satu tahun terakhir.
Sejak Thomas sering lembur, mereka jarang menghabiskan waktu bersama. Joanna merasa sudah waktunya untuk mengembalikan sedikit kehangatan dalam hubungan mereka.
Dan kini, Thomas—lelaki yang selama ini dia cintai—sedang di atas tubuh seorang perempuan.
Gerakan mereka penuh gairah, terlampau intim untuk disalahartikan. Joanna ingin menjerit, tapi lidahnya kelu dan napasnya tercekat.
Dan lebih parahnya lagi, perempuan itu bukan orang asing.
Joanna mengenal betul rambut panjang bergelombang yang terurai di atas bantal, juga suara tawanya yang samar di antara desahan. Angel. Sahabat dekatnya sejak SMA.
Paper bag di tangan Joanna terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi duk pelan.
Kedua insan di ranjang itu sontak menoleh. Thomas terperanjat, wajahnya pucat, panik.
Angel justru menyunggingkan senyum miring penuh kemenangan, seakan-akan dia memang menunggu saat ini terjadi.
“Joanna—ini bukan seperti yang kau lihat!” Thomas segera bangkit dan meraih selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Bukan seperti yang aku lihat? Kau pikir aku buta, Thomas?” teriaknya penuh dengan amarah yang sudah tak bisa lagi dibendung.
Angel menyandarkan tubuhnya dengan santai bahkan raut wajahnya tak merasa bersalah sedikit pun.
Ia justru terkekeh kecil seraya menatap Joanna dari ujung rambut hingga kaki.
“Sepertinya kau terlalu polos, Jo. Harusnya kau sadar kenapa Thomas melakukan ini di belakangmu,” ucapnya dengan santai.
“Apa maksudmu, sialan? Kau sahabatku! Kita sudah berteman sejak SMA dan kau … kau menusukku dari belakang?” Joanna berucap dengan bibir bergetar.
Masih tak menyangka jika Angel akan tega melakukan ini padanya.
“Karena kau tidak bisa memuaskan Thomas seperti aku. Kau tidak bisa mendesah liar seperti yang aku lakukan padanya.”
Kata-kata itu menancap seperti pisau di dada Joanna.
“Diam, Angel! Jangan bicara begitu!” Thomas tampak panik mendengar Angel yang secara blak-blakan menjelaskan yang diinginkan oleh Thomas.
Namun Angel hanya menatap Thomas dengan tatapan menggoda, seolah sengaja menyalakan api di antara mereka.
“Setahun, Thomas. Setahun aku percaya padamu. Dan ini yang aku dapatkan? Dengan sahabatku sendiri?”
Thomas berusaha mendekat lalu meraih tangan Joanna. “Aku bisa jelaskan. Aku khilaf. Tolong beri aku kesempatan.”
Joanna menepis dengan kasar. “Kesempatan? Kau bahkan menghancurkan aku dalam satu detik. Semua janji, semua kata manis itu ternyata kosong!”
Angel menambahkan dengan nada sinis, “Seharusnya kau sadar sejak awal, Jo. Thomas membutuhkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang tidak bisa kau berikan dan hanya aku yang bisa berikan.”
“Cukup, Angel!” bentak Thomas, tapi terlambat. Luka sudah terpatri.
Joanna menatap hina kedua wajah yang tampak tak merasa bersalah itu. “Mulai detik ini, kau bukan lagi kekasihku, Thomas. Hubungan kita telah berakhir!”
Dengan langkah terburu-buru, dia berlari keluar apartemen, menuruni koridor panjang dengan air mata yang tak terbendung.
Thomas berteriak dari belakang. “Joanna! Tunggu! Tolong dengarkan aku!”
Tapi Joanna tidak berhenti. Dia bahkan nyaris tersandung dan tubuhnya berguncang hebat karena tangis.
“Sudahlah, Thomas. Jangan membuang waktumu dengan gadis sok polos sepertinya. Sekarang sudah ada aku yang siap melayanimu kapan saja,” bisik Angel dengan nada menggoda.
**
Begitu sampai di luar gedung, udara malam yang dingin menerpa wajahnya. Namun dingin itu tidak sebanding dengan beku yang merajam hatinya.
Dalam pikirannya, Joanna teringat momen-momen saat Angel sering berada di dekat Thomas.
Momen yang dulu dianggap wajar—sekadar teman yang datang menonton film bersama, atau ikut nongkrong saat mereka makan malam.
Kini semuanya tampak seperti potongan puzzle yang tersusun rapi. Ia terlalu naif untuk menyadarinya sejak awal.
Sambil berjalan gontai, Joanna menyeka air mata dengan punggung tangannya.
“Bodoh ... aku benar-benar bodoh.”
Ia lalu menyalakan ponselnya, mencari tempat di mana ia bisa melarikan diri. Pandangannya tertuju pada nama sebuah bar yang tidak jauh dari apartemen.
Ia tidak pernah masuk ke sana sebelumnya, tapi malam ini, dia butuh pelarian. Dia butuh melupakan rasa sakit walau hanya sebentar.
Sesampainya di depan bar, Joanna menatap papan neon yang berkelap-kelip. Musik berdentum samar dari dalam.
Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Kalau aku tetap di luar, aku hanya akan menangis sampai mati,” gumamnya.
Ia mendorong pintu tersebut dan membiarkan dentuman musik keras menyapu kesunyian dalam dirinya.
Aroma alkohol dan asap rokok langsung menyergap. Joanna melangkah masuk dengan langkah gontai.
Joanna lalu duduk di kursi bar dan memanggil seorang bartender. “Beri aku sesuatu yang paling kuat.”
“Baik, Nona.” Pelayan itu langsung membuatkan permintaan Joanna.
Gelas berisi cairan berwarna gelap diletakkan di depannya. Joanna menatapnya sebentar, lalu menenggak habis tanpa pikir panjang.
Alkohol membakar tenggorokannya, tapi justru itulah yang dia butuhkan—rasa sakit lain untuk menutupi luka di hatinya.
Satu gelas berubah menjadi dua, lalu tiga. Kepalanya mulai ringan dan matanya sayu. Namun rasa sakit di dalam dadanya tidak hilang.
Joanna menenggak gelas keempat hingga kepalanya terhuyung.
“Thomas brengsek! Angel bajingan,” gumamnya dengan suara serak. “Satu tahun ... satu tahun aku buang hanya untuk mereka ....”
Joanna memutar-mutar gelas kecil itu sembari terus meracau hingga tak sadar seorang pria duduk di sampingnya.
Tampan, gagah, memiliki rahang yang tegas. Kemudian menatap Joanna dengan alis berkerut. Dia mengenal gadis itu!
“Joanna? Apa yang kau lakukan di sini?”
Kafe di pusat kota itu tampak ramai sore itu, dihiasi cahaya hangat dari lampu gantung berwarna keemasan.Di salah satu sudutnya, Angel duduk dengan kaki bersilang anggun, segelas cappuccino di depannya masih mengepul lembut.Ia mengenakan gaun berwarna merah tua yang mencolok—kontras dengan ekspresi dingin di wajahnya.Di hadapannya, Thomas duduk dengan pandangan gelisah, menatap layar ponselnya yang baru saja menerima beberapa foto dari Angel.“Lihatlah itu,” ucap Angel pelan namun tajam, suaranya menembus keramaian kafe.Thomas menatap layar ponselnya lebih dekat.Foto-foto itu menampilkan Joanna tengah duduk bersama seorang pria di kafe lain. Dalam salah satu foto, pria itu tampak condong mendekat, sementara Joanna terlihat tersenyum kecil.Angel melipat tangannya di dada. “Kau tahu siapa pria itu? Aku tidak tahu, tapi yang jelas mereka tampak dekat.”Thomas menarik napas panjang. “Bisa saja itu urusan pekerjaan,” ucapnya menjawab dengan datar.Angel terkekeh pelan, seolah tidak p
Langit sore tampak redup, dibalut warna jingga keemasan yang mulai memudar di balik gedung-gedung tinggi.Di dalam mobil hitam yang berhenti di seberang jalan, Angel duduk diam dengan kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya.Tangannya memegang kamera kecil, sementara tatapannya tajam mengarah ke sebuah kafe modern yang tak begitu ramai.Sudah hampir satu jam ia di sana, menunggu seseorang.Dan akhirnya, sosok itu muncul.Joanna—dengan balutan blus putih dan celana kain krem yang sederhana namun elegan.Rambutnya terurai rapi, dan senyum kecil tampak di wajahnya saat ia melangkah masuk ke kafe. Angel menggenggam kameranya lebih erat.“Jadi ini tempatmu bersantai sore-sore, Joanna,” gumamnya dingin. “Mari kita lihat, siapa yang akan datang menemuimu.”Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas navy datang menghampiri Joanna.Mereka saling berjabat tangan dengan sopan, lalu duduk di sudut ruangan. Angel menurunkan kacamatanya sedikit, menajamkan pandangan.Pria itu tampak muda, mungk
Ruangan itu lengang, hanya suara derit lembut pendingin udara yang mengisi keheningan.Angel duduk di sofa dengan satu kaki tersilang, wajahnya tegang.Di depannya, seorang pria berpakaian hitam bernama Jonny berdiri menunduk, tangan terlipat di depan tubuhnya. Dari gesturnya saja sudah jelas—ia sedang ketakutan.“Jadi, kau tidak menemukan siapa pun?” suara Angel terdengar datar, tapi tajam seperti pisau.Jonny menelan ludah sebelum menjawab, “Tidak ada, Nona. Tuan Damian tidak terlihat dekat dengan siapa pun akhir-akhir ini. Bahkan siang tadi, beliau hanya makan bersama asisten pribadinya, Anthony.”Angel mendengkus pelan, matanya berputar ke arah jendela besar yang menampakkan langit senja.“Anthony?” gumamnya pelan, lalu tertawa sinis. “Kalau begitu, kau ingin bilang Papaku tidak punya kehidupan pribadi? Tidak mungkin. Dia terlalu tenang untuk seorang laki-laki yang katanya sedang jatuh cinta.”Jonny hanya diam. Ia tahu tidak ada gunanya membantah.Angel mencondongkan tubuh ke depa
Damian menyerang bibir Joanna dengan ciuman yang membara. Wajah wanita itu semakin memerah dan matanya masih membola.Bagaimana mungkin Damian memintanya untuk bercinta di sana. Meski mereka ada di ruang VIP, namun bukan berarti mereka bisa bermain gila di sana.“Damian!” ucap Joanna sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya berkilat tajam menatap Damian yang tengah mengusap ujung bibirnya sendiri.“Kau benar-benar ingin bercinta di sini? Apa kau gila?” seru Joanna masih tidak percaya bahwa ucapan Damian tadi hampir terlaksana.“Memangnya kenapa? Ruangan ini kedap suara, dan bukan hanya kita saja yang melakukan itu di sini, Joanna.”“Tetap saja aku tidak setuju. Masih banyak tempat yang lebih layak—”“Layak atau tidak, itu bukan hal yang harus kau pikirkan, Sayang.” Damian memotong ucapan kekasihnya itu.Joanna mendengkus pelan seraya menatap Damian yang tampaknya memang tidak bercanda akan bercinta di sana.Tangan Damian kembali membuka blouse Joanna dengan mata menatap
Restoran itu terletak di lantai paling atas gedung tempat kantor Damian berdiri—restoran dengan pencahayaan hangat, aroma lembut kayu dan rempah Italia yang samar-samar memenuhi udara.Di ruang VIP, hanya ada dua orang: Damian dan Joanna.Pelayan baru saja meninggalkan mereka setelah menata dua piring spagheti carbonara di atas meja, segelas jus jeruk untuk Joanna, dan anggur merah untuk Damian.Suara lembut musik klasik mengalun pelan, menjadi satu-satunya yang terdengar selain detak jam dinding yang berjalan lambat.Joanna duduk berhadapan dengan Damian. Jari-jarinya menggenggam garpu dengan ragu, pikirannya tidak sepenuhnya pada makanan.Ia menatap Damian yang tampak santai, membuka jasnya, menggulung lengan kemeja hingga ke siku, dan menikmati aroma anggurnya seolah dunia di luar ruangan itu tidak ada.“Jadi,” kata Joanna akhirnya, memecah kesunyian. “Angel datang ke kantor kemarin, dia menanyakan apa?”Damian menurunkan gelasnya perlahan, lalu menatap Joanna. “Kau ingin tahu?”“T
Pagi di kantor Damian terasa berbeda dari biasanya. Suasana tenang yang biasanya menyelimuti ruangan kerjanya mendadak berubah begitu pintu ruangannya terbuka dengan keras. Angel, dengan wajah penuh emosi dan langkah tergesa, masuk tanpa mengetuk.Ayahnya yang tengah duduk di balik meja kerja, menandatangani beberapa dokumen penting, mengangkat wajahnya perlahan. Alis Damian sedikit terangkat, tapi suaranya tetap tenang seperti biasa.“Ada apa, Angel?” tanyanya datar.Angel melangkah cepat mendekati meja. “Aku ingin tahu sesuatu,” katanya ketus. “Tentang wanita itu.”Damian menyandarkan punggungnya di kursi kulit hitamnya. “Wanita itu?” ulangnya, seolah tak mengerti. “Wanita yang mana, Angel?”“Jangan berpura-pura tidak tahu, Pa!” Angel menatapnya tajam dan kedua tangannya terkepal di depan dada.“Semalam, di gala dinner, kau mengumumkan di depan semua orang kalau kau sudah punya tambatan hati. Siapa dia? Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentangnya?”Damian menghela napas pelan. Ia memut






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments