LOGINRaline Kirana tak pernah menyangka hidupnya berubah drastis setelah menerima tawaran pernikahan dari Raffa Al-Mahendra pewaris muda keluarga konglomerat. Awalnya, pernikahan itu hanyalah jalan keluar dari masalah hidupnya dan cara untuk melindungi adiknya. Namun di balik kemewahan keluarga Al-Mahendra, tersimpan rahasia kelam, intrik, dan dendam yang perlahan menyeretnya masuk lebih dalam. Raffa tampak seperti suami ideal, tapi bayangan masa lalu dan tekanan keluarga membuat hubungan mereka penuh jarak. Sementara itu, Herman dan Sri paman dan bibi Raffa diam-diam mencurigai Raline, berusaha membongkar masa lalunya demi menjatuhkan pewaris sah keluarga. Saat Raline mulai mencari kebenaran tentang kematian orang tuanya, ia justru menemukan fakta mengejutkan: semua benang merah mengarah pada keluarga tempat ia kini tinggal… dan mungkin juga pada suaminya sendiri.
View More“Nadine, kita nggak bisa nunda bayar kontrakan lagi bulan ini. Abang kontrakan udah ngasih peringatan terakhir.”
Suara Raline serak, nyaris patah, bergema di ruang kontrakan berukuran 4x5 meter yang pengap. Di tangannya, surat peringatan yang tadi pagi menempel di pintu sudah kusut, lipatannya koyak akibat diremas terlalu keras. Ia menutup mata sejenak, menahan denyut di pelipis. Napasnya berat, sementara jantung berdegup cepat, seakan dipacu oleh bayangan genting yang makin menjerat. Dari dapur, muncul Nadine dengan celemek lusuh masih terikat di pinggang. Rambutnya diikat asal, wajahnya pucat dengan kantong mata hitam karena begadang skripsi. “Terus kita harus gimana, Kak? Mau jual kamera lagi?” Raline mendongak. “Nggak bisa. Itu satu-satunya alat tempur gue. Kalau kamera dijual, bulan depan kita makan apa?” Hening menggantung. Aroma mie instan yang baru matang masih tersisa di udara, tapi tak ada yang bergerak untuk menyentuhnya. Sejak dua bulan terakhir, mereka hanya hidup dari sisa endorse kecil-kecilan dan proyek freelance yang datang sesekali. Nadine menunduk, menatap lantai. “Andai Mama masih ada…” Kata-kata itu menggantung seperti asap hitam. Mama mereka meninggal dua tahun lalu karena kanker paru-paru. Sejak itu, Raline yang memikul segalanya. Ayah mereka? Sudah lama hilang sejak Raline duduk di bangku SD. Getaran ponsel di atas meja memutus hening. Layar menyala, menampilkan sebuah nama. Raline nyaris mengabaikannya, sampai matanya menangkap dua kata kunci yang menghentikan napasnya. Niko Ramadhan Ral, gue ada kerjaan butuh banget bantuan lo. Bayarannya gede. Darurat ini. Ketemu yuk! Bayaran besar. Darurat. Dua kata yang paling berbahaya sekaligus paling menggoda di kondisi sekarat ini. Raline menelan ludah, menatap surat kontrakan yang masih tergenggam. Antara peluang dan jebakan, ia tak tahu bedanya lagi. Jemarinya bergerak mengetik balasan singkat: Oke. Kafe biasa. 30 menit. Ia bangkit, meraih jaket jeans tipisnya. “Din, gue ketemu Niko dulu. Kalau ada apa-apa, telpon.” Nadine hanya mengangguk, matanya redup, seolah ingin menahan tapi tak punya tenaga untuk berkata. Hujan deras mengguyur Bandung ketika motor matic yang biasa dipakai Nadine untuk kuliah berhenti di depan Caffe Senja, kafe kecil di kawasan Braga yang penuh kenangan kuliah. Jas hujan yang ia kenakan meneteskan sisa air ke tanah, sementara aroma kopi bercampur asap rokok segera menyeruak. Di dekat pintu, seorang pria berjas abu-abu yang agak kusut mengangkat tangannya. Wajahnya tegang meski berusaha tampak santai. Itu Niko, sahabat lama sejak kuliah. “Kerjaan apa yang lo tawarin ke gue?” Raline langsung duduk, menyeret kursi di depannya tanpa basa-basi. Matanya berbinar cemas, jemarinya mengetuk pelan di atas meja kayu, tepat di dekat map biru yang tergeletak. Niko menegakkan tubuh. “Tenang dulu, Lin. Ini proyek konten berbayar, durasi enam bulan. Klien cuma butuh citra publik positif. Dan lo cocok banget buat peran ini.” Raline menyandarkan punggung, menoleh ke jendela yang basah oleh embun. Di luar, hujan menari di aspal, tapi di kepalanya hanya ada angka-angka: uang sewa, biaya kuliah Nadine, tagihan listrik, obat alergi. Hidup mereka seperti tali yang makin lama makin menjerat. “Kalau lo setuju, tanda tangani kontrak ini sekarang.” Niko menyodorkan pena dan map biru itu. Alis Raline mengernyit. Ia menatap dokumen tebal dengan bahasa hukum yang rumit. “Gue harus mikir dulu, Ko. Lo tahu sendiri gue nggak suka kontrak abu-abu.” Senyum miring muncul di wajah Niko. “Lo idealis, Lin. Tapi idealisme lo nggak bisa bayarin semester akhir Nadine.” Raline menegang. Kata-kata itu seperti tamparan. Niko tahu benar titik lemahnya. “Kliennya siapa?” suaranya serak, nyaris berbisik. “Grup Rajawali.” Raline sontak mendongak. Matanya membelalak tajam. “Perusahaan yang gue kritisi di video minggu lalu?! Yang PHK ribuan karyawan tanpa pesangon itu?!” “Ya, benar.” Niko menghela napas. “Ironis kan? Tapi justru karena itu mereka butuh lo. Tenang, lo nggak kerja langsung buat perusahaan. Lo cuma bantu seseorang dari dalam memperbaiki citranya. Secara profesional.” “Secara profesional?” Nada suaranya menegang. “Maksud lo apa?” Niko mencondongkan tubuh. “Lo akan tampil sebagai istri orang itu. Publik doang. Acara bisnis, media, investor. Semua formal. Kontrak enam bulan, tanpa harus tinggal bareng, tanpa kewajiban apapun, dan pastinya nggak ada sentuhan fisik.” Kursi Raline berderit keras ketika ia menegakkan punggung. Matanya membelalak tak percaya. “Lo pikir gue jual diri buat mainan citra?!” Beberapa pasang mata menoleh. Suara Raline melambung tinggi, membuat suasana kafe menegang. Ia meremas kertas kontrak di tangannya, urat di pelipis menonjol. Niko tetap tenang, hanya menatapnya lurus. “Lin, ini cuma peran. Cuma akting. Dan bayarannya bisa nolong lo sama Nadine keluar dari semua ini.” Raline berdiri, napasnya tersengal. Kontrak di tangannya diremas sampai kusut. Jari-jarinya bergetar, bukan hanya karena marah, tapi juga karena ketakutan: jika ia menolak, mereka mungkin tak punya tempat tinggal bulan depan. Hujan di luar makin deras, mengetuk kaca jendela seperti palu godam. Dan di kepalanya, suara Nadine menggema: Kita nggak bisa nunda bayar kontrakan lagi, Kak… Ia menatap Niko dengan mata merah, penuh benci sekaligus putus asa. “Sialan lo, Niko.” Raline melempar map biru itu ke meja dengan kasar. Kertas-kertas berhamburan, jatuh ke lantai. Tapi di sela dokumen kusut itu, matanya menangkap sesuatu yang membuat darahnya berdesir foto seorang pria dengan senyum dingin yang familiar. Orang yang namanya pernah ia sebut dengan penuh amarah di salah satu video kritik terbesarnya.Hujan masih deras ketika pintu gudang terbuka separuh. Raline menatap pria itu dengan napas tertahan, sedangkan Raffa nyaris tak bisa percaya dengan matanya sendiri.“Pak… Ardan?” suaranya bergetar, antara kaget dan marah.Pria itu mengangguk pelan, matanya tajam menembus gelap. “Kau ingat rupaku. Itu pertanda baik.”Raline menatap keduanya bergantian. “Kamu kenal dia, Raffa?”Raffa mengangguk perlahan. “Dia… mantan penasihat Ayahku. Dulu aku pikir dia sudah meninggal lima tahun lalu dalam kebakaran di kantor pusat.”Ardan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Air menetes dari ujung payungnya, suaranya lembut namun sarat tekanan.“Orang tidak selalu mati hanya karena keluarga Mahendra menginginkannya mati.”Raline menegang. “Maksud Anda?”Ardan menatapnya sejenak, lalu ke arah Raffa. “Aku datang bukan untuk bersembunyi. Aku datang karena waktunya kebenaran dibuka tapi tidak dengan cara yang kau kira.”Raffa berjongkok perlahan, menahan rasa sakit di sisi tubuhnya. “Kalau mem
“Raffa, cepat! Ke sini!”Raline menarik tangan Raffa menembus semak basah, napasnya memburu. Hujan belum berhenti sejak sore. Di belakang mereka, suara mesin mobil dan langkah kaki berat masih terdengar samar di antara deru angin. Raffa menahan nyeri di perutnya, darahnya mulai mengering di bawah perban yang kusam. Tapi matanya tetap menatap ke depan pada satu tujuan yang tersisa: bertahan.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di bangunan tua di pinggir sungai bekas gudang kayu yang sudah lama ditinggalkan. Raline menendang pintunya perlahan, dan mereka masuk dalam gelap. Aroma debu, karat, dan hujan menyelimuti udara.“Duduk.” Suara Raline tegas tapi lembut. Ia menarik Raffa untuk duduk di lantai, lalu buru-buru membuka tas kecilnya. Dari dalam, ia mengeluarkan kain bersih dan sebotol air.Raffa meringis saat Raline membuka perbannya. “Jangan… aku bisa sendiri”“Diam.” Raline menatapnya tajam. “Kalau kamu mati karena sok kuat, aku sumpah aku bakal nyusul cuma buat marahin kamu.”
“Raffa, berhenti dulu! Lukamu”Raline menarik pergelangan tangan Raffa yang terus berjalan terhuyung-huyung. Napasnya berat, darah di sisi perutnya sudah merembes lewat perban. Tapi pria itu seolah tak peduli. Ia terus melangkah melewati jalan tanah yang licin, menembus kabut senja menuju rumah kayu tua di ujung hutan.“Aku harus tahu, Raline,” katanya di antara deru napas.“Harus tahu semuanya… sebelum mereka menghancurkan bukti terakhir.”Raline mengejarnya, wajahnya tegang tapi matanya dipenuhi kecemasan.“Kamu bahkan hampir nggak bisa berdiri, Raff! Setidaknya biar aku yang”“Terlambat kalau kita berhenti sekarang!” potong Raffa keras, tapi suaranya serak, nyaris putus. Ia menatap ke depan, ke rumah yang sudah lama ditinggalkan tempat Bu Sri dulu sering pergi diam-diam.Raline tahu, tidak ada gunanya membantah. Ia menahan air mata, menggandeng lengan Raffa agar tak jatuh. Mereka berdua melangkah pelan menaiki anak tangga kayu yang rapuh, pintu depan terbuka sedikit, menimbulkan bu
Raline hampir tidak ingat bagaimana ia bisa menyeret tubuh Raffa sejauh itu.Tangan kirinya berlumur darah, kemejanya sobek, tapi matanya tak lepas dari wajah pria yang terkulai di pelukannya.Suara tembakan masih bergema di kejauhan, bercampur dengan deru hujan yang turun tanpa ampun.Langit malam bagai menutup diri, menenggelamkan mereka dalam kegelapan dan napas yang memburu.“Raffa, tahan sebentar lagi, tolong…” bisiknya dengan suara bergetar.Tubuh Raffa dingin, napasnya berat dan terputus-putus.Peluru hanya menembus bahu, tapi darahnya terus keluar.Setiap kali Raline menekan luka itu dengan kain basah, ia merasakan perih di dada sendiri bukan karena luka, tapi karena rasa takut kehilangan.Setelah beberapa menit menembus hutan dan rawa kecil, mereka akhirnya sampai di sebuah pondok tua di pinggir danau.Bangunan kayu itu sudah lapuk, tapi masih cukup kokoh untuk menahan angin dan hujan.Raline membuka pintu dengan bahunya, menyeret Raffa masuk, lalu menutupnya rapat-rapat.Di
“Raffa!”Raline menjerit di bawah derasnya hujan, suaranya tertelan angin malam. Tapi tak ada jawaban. Hanya bau mesiu dan tanah basah.Ia berlari lagi, melewati genangan air, tubuhnya menggigil. Ponsel di genggamannya masih menampilkan pesan dari “S.M.” inisial yang cukup untuk membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.Bu Sri.Ia tahu wanita itu punya pengaruh besar dalam keluarga Mahendra. Tapi mengapa sampai mengirim orang untuk menculiknya?Saat pikirannya berputar, cahaya redup lampu motor muncul dari arah tikungan. Raline spontan bersembunyi di balik tumpukan kayu, menahan napas. Dua pria berjaket hitam berhenti di dekat tubuh yang tergeletak.“Cepat, angkat dia!”“Masih hidup, kan?”“Masih. Tapi banyak darah. Bu Sri bilang jangan sampai dia mati sebelum bicara.”Raline menahan teriakannya. Raffa... mereka bawa Raffa!Ia menunggu sampai motor itu menjauh, lalu berlari ke arah yang berlawanan, menuju hutan kecil di belakang vila. Nafasnya tersengal, tapi tekadnya bulat ia haru
“Ada yang tidak beres.”Nada suara Raffa datar, tapi matanya penuh waspada. Ia berdiri di dekat jendela, mengintip ke luar vila. Jalanan gelap. Angin berhembus pelan, tapi ada sesuatu di udara yang terasa… salah.Raline menghampiri pelan. “Raff?”“Mobil di luar itu…” Raffa menunjuk sedikit, “tidak bergerak sejak sepuluh menit lalu.”Raline menegang. “Mungkin warga?”“Tidak. Lampunya padam tapi mesinnya menyala.”Raline menelan ludah. “Jadi mereka… sudah tahu kita di sini?”Raffa menarik napas panjang, lalu berbalik menghadapnya. “Dengar, aku butuh kamu tenang. Jangan panik, jangan keluar dari rumah ini.”“Dan kamu mau ke luar?” suara Raline meninggi. “Raff, mereka bersenjata.”“Aku tidak bisa diam menunggu.”“Kamu juga bukan Superman!” Raline setengah berbisik, setengah memohon. “Kita harus cari cara lain.”Raffa menatapnya dalam. “Kamu percaya aku?”“Percaya. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu.”Ucapan itu spontan, tapi jujur. Raffa sempat tertegun lalu perlahan tersenyum. “Kam






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments