Baro melangkahkan kakinya dengan penuh semangat untuk memasuki pesawat. Sepanjang perjalanannya tampak sepi tidak seperti biasanya yang ada beberapa petugas berjaga, namun ia tak begitu menghiraukannya. Ia terus tersenyum karena sudah tak sabar akan bertemu dengan kekasih hatinya yang sudah beberapa waktu ia tinggalkan.
Saat asik hendak melangkahkan kakinya lebih dekat dengan pesawat. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya dengan kuat membuat dirinya segera memutar kepalanya."Tuan Kayota?" ia membulatkan kedua bola matanya dengan sempurna saat melihat Tuan Kayota menggenggam tangannya dengan sangat kuat."Menjauh lah dari pesawat itu!" Tuan Kayota menekankan suaranya, berharap agar Baro mau mendengarkannya."Apa yang kau lakukan?" Baro berusaha keras melepaskan genggaman tangan Tuan Kayota.Duarrr!Belum sempat keduanya menjauh, pesawat itu sudah terlebih dahulu meledak dengan sangat dahsyat membuat keduanya terpental"Permisi Nona, apa nama bayinya sudah siap? kami akan melakukan pencatatan untuk surat kelahirannya." seorang perawat datang ke ruangan Shiya saat kedua pria itu masih sibuk dengan bayinya."Sudah, namanya Lusiana Arabelle." ucapan Shiya berhasil membuat kedua pria itu terdiam sejenak. Mereka saling pandang kemudian membulatkan kedua matanya dan menatap tajam kearah Shiya bersamaan."Baik, terima kasih." perawat itu pun berlalu pergi dari ruangan itu setelah mencatat nama yang Shiya ucapkan. Kedua pria itu pun segera menghujam pertanyaan padanya."Kenapa namanya Lucy?" Ben dan Andrew seakan tak terima."Aku dan Frans sudah berjanji untuk memberinya nama Lucy, kami sudah sepakat. Bagaimanapun juga bayi ini adalah anaknya. Aku berharap dia bisa mencintai anak ini seperti dia mencintai Lucy. Karena hanya Lucy yang Frans cintai di dunia ini." air mata Shiya pun keluar dari kedua pelupuk matanya membuat kedua pria itu mendekatinya."
Beberapa hari kemudian, Shiya sudah mulai pulih. Kondisinya sudah membaik dari sebelumnya. Bi Asih terus setia mendampinginya, sedangkan Ben, John dan juga Andrew selalu datang setiap hari."Hari ini anda sudah boleh pulang Nona." seorang perawat datang menghampirinya."Baiklah. Terima kasih." Shiya menjawabnya dengan anggukan kepala, Bi Asih pun segera membantunya untuk bersiap setelah sang perawat pergi dari ruangan itu.Tak lama kemudian, ketiga pria itu kembali datang untuk menjemputnya. John sudah membawa kursi roda ditangannya saat memasuki ruangannya. Kursi itu akan ia gunakan untuk membawa Shiya keluar."Apa kalian sudah siap?" Andrew melemparkan pertanyaan pada kedua wanita yang ada di ruangan itu."Sudah Tuan." Bi Asih menjawab pertanyaannya, sedangkan Shiya hanya menganggukkan kepalanya."Ben, kau bawa Nona Shiya keluar! aku akan menyelesaikan biaya administrasi." John memberikan kursi roda itu pada Ben yan
Hari beranjak gelap, pertanda malam hendak mengambil alih terangnya cahaya pada siang hari. Tapi Shiya masih melangkahkan kakinya menyusuri terowongan gelap yang berada didekat makam kedua orang tuanya.Ada sisi yang tidak pernah ingin Shiya tunjukkan kepada orang lain, entah sedekat apa dirinya dengan mereka. Terkadang, keluarga pun bisa menjadi orang yang paling tidak dekat dengannya.Ketika Shiya memutuskan untuk mewujudkan keinginan orang tuanya untuk menikahi Frans, ia kira hidupnya akan seperti berjalan melalui terowongan gelap yang sedang ia lalui ini. Tapi tak ia sangka akan segelap saat ini. Tak ia sangka akan menjadi sehampa ini.***Di kediaman keluarga Shalim.Bi Asih sedang sibuk menggendong bayi kecil saat ketiga pria itu datang kerumah. Shiya menitipkannya sebentar karena hendak pergi ke makam orang tuanya."Halo Bi Asih? dimana Nona Shiya?" pintu rumah yang terbuka begitu saja membuat ketiga pria itu langsun
"Aku ingin hidupku kembali! haaaaaaaa." Frans terus menangis dan berteriak didepan makam kedua orang tuanya. Saat itu area pemakaman yang luas itu tampak sepi, hanya ada dirinya seorang."Kenapa aku tak bisa kembali? kenapa tidak bisa?" ia bersimpuh disana dengan air mata yang terus keluar dari kedua pelupuk matanya."Haaaaaaaa... kumohon." bagaimanapun ia memohon, tetap saja tak akan bisa merubah apapun.***Di kediaman keluarga Shalim.Shiya dan Bi Asih sedang duduk berdua memperhatikan bayi kecil yang sedang tertidur lelap ditempat tidurnya."Lihatlah Nona! wajahnya mirip sekali denganmu saat masih kecil." Bi Asih terus tersenyum menatap bayi itu, mengingat masa kecil Shiya.Shiya pun ikut tersenyum, ia menarik nafas dalam dengan tatapan mata yang terus menatap bayinya. "Sekarang aku merasa bahwa diriku adalah pecundang Bi. Aku tak pandai melakukan apapun. Dulu, aku adalah orang yang kompeten dan ceria. Tapi s
Suasana rumah jelas terasa berbeda tatkala penghuni didalam rumah itu pun sudah tak lagi sama. Hati Frans selalu terluka setiap kali mengingat kedua orang tuanya yang dulu selalu ia lihat didalam rumah yang besar itu. Rumah dimana dulu dirinya tumbuh.Namun, saat ini yang selalu ia lihat hanyalah Lucy. Wanita yang kini telah menjadi istrinya, yang dulu selalu ia inginkan."Dulu aku sangat menginginkannya, tapi mengapa sekarang aku sama sekali tak merasa bahagia saat bersamanya." Frans bergumam seorang diri di balcon kamarnya. Tanpa ia sadari, Lucy tengah berdiri diambang pintu dan mendengar semua ucapannya. Wanita itu kemudian melangkahkan kakinya dan berdiri disampingnya sambil melipat kedua tangannya didepan dada."Perasaanku padamu pasti sudah tak sama lagi." Frans yang sedang menikmati terpaan angin malam itu, seketika memutar kepalanya saat melihat kedatangan Lucy disampingnya."Kita sudah bersama hampir 10 tahun. Perasaanku padamu ti
Shiya duduk disebuah kursi taman, ada Baro yang duduk disampingnya dan memegang erat tangannya. Keduanya saling pandang seakan ada kerinduan yang mendalam. Rerumputan hijau membentang luas disana, membuat pemandangan didepan matanya terlihat sangat sedap dipandang mata."Kalau aku mati sebelum kau, kau harus cari pria yang baik. Tapi jangan cari pria yang lebih tampan, lebih lucu, atau lebih pintar dari aku. Cukup cari pria yang baik-baik dan menua lah menjadi nenek yang baik, oke?" Baro menunjukkan ketulusan pada setiap ucapannya."Akan aku pertimbangkan." Shiya menganggukkan kepalanya seraya mengeluarkan suaranya yang lirih."Dan juga kalau aku mati duluan, nanti aku akan minta supaya kau kembali normal." Baro terus menatap Shiya dengan lekat."Minta pada siapa?" Shiya terus memandang wajah Baro tanpa mau mengalihkan pandangannya."Pada siapa saja bisa." Baro terlihat sangat percaya diri dengan ucapannya."Kalau beg
"Kau tau rasanya ditinggalkan? aku serasa ditinggalkan di gurun pasir yang tidak berujung. Jadi, tidak bisakah kau tetap di sisiku?" Shiya berdiri di gurun pasir yang sangat luas dan tak terlihat ujungnya. Ia melihat Baro yang tengah berdiri dihadapannya dan terus menatapnya. Shiya terus memohon padanya, menggenggam erat tangannya. Namun, lama kelamaan Baro kembali menghilang dari pandangannya begitu saja seperti mimpi-mimpi yang sebelumnya.Kesedihan adalah hal yang wajar terjadi dalam diri manusia. Namun, kesedihan terlalu larut yang dialami Shiya bisa berdampak buruk pada kesehatan, terutama kesehatan mental.Saran dari Dokter Lea adalah, untuk menghindari berbagai efek tersebut, Shiya harus membiarkan diri mengekspresikan rasa sedih tersebut. Dokter Lea juga memberikan berbagai metode psikoterapi, seperti terapi CBT dan CGT.Karena Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Complicated Grief Treatment (CGT) dapat membantu mereka yang mengalamip
Pagi ini, Shiya bangun dari tidurnya dengan perasaan yang lebih semangat daripada hari biasanya. Ia bergegas membersihkan dirinya bahkan hari ini ia juga berdandan. Rencananya ia akan pergi menemui Dokter Lea yang kini sudah menjadi sahabatnya itu."Bi! aku harus merepotkan mu lagi hari ini." Shiya sudah terlihat cantik dan rapi saat keluar dari kamarnya. Ia juga membawa Lucy kecil dalam gendongannya."Apa yang anda bicarakan Nona? serahkan saja Nona Muda pada Bibi." Bi Asih meraih Lucy kecil dari gendongan Shiya.Shiya menciumi pipi bayi mungil itu beberapa kali sebelum akhirnya pergi meninggalkan rumahnya. Tanpa ia sadari, John sudah menunggunya dihalaman rumahnya."John?" ia membulatkan kedua matanya saat melihat John sudah berdiri di samping mobilnya dan bersiap untuk membukakan pintu untuknya."Silahkan Nona!" ia mempersilahkan Shiya masuk kedalam mobil itu."Ke-kenapa kau?" mulutnya masih menganga karena melihat