Share

03. Wajah baru

Satu minggu kemudian.

Vincent tampak memandangi kalender yang berada di ruang rawatnya. Matanya menyorot tajam dan terlihat tidak senang dengan tanggal hari ini. Tentu saja dia kesal karena jelas sekali di dalam ingatannya jika tanggal ini adalah tepat pada saat dia ditembak dan didorong ke jurang oleh Axel setahun yang lalu.

Begitu sadar dari koma tubuhnya terasa kaku dan lemas karena selama empat bulan terbaring tak berdaya. Butuh waktu kurang lebih tiga bulan untuk melatih otot-ototnya yang tak pernah difungsikan. Selama itu pula dia bungkam mengenai identitasnya sampai saat ini.

Vincent merupakan sosok ketua kelompok mafia yang baru saja menjabat sekitar empat tahun setelah ayahnya meninggal. Dia juga menjadi target operasi selama ini karena merupakan pengedar narkoba terbesar di wilayah benua Amerika. Namun, belum ada bukti yang bisa membuatnya dibekuk. Dia juga terkenal licin sehingga sulit ditangkap.

"Mengapa aku jadi kesal ya melihat tanggal hari ini?" gumam Vincent.

Fokusnya kini beralih pada benda pipih pintar yang memang disediakan untuknya. Dia berjalan mendekati meja dan mengambil smartphone-nya. Jari-jemarinya dengan cepat membuka mesin pencarian online dan tak sengaja menemukan sebuah artikel yang makin membuatnya kesal.

"Wah ... jadi, hari ini resmi menjadi tanggal kematianku, ya? Ha-ha-ha! Para bedebah itu bertindak sangat cepat."

"Dia adalah sosok mafia muda yang tampan, tapi sayang harus mati tanpa diketemukan mayatnya. Mungkin saja itu adalah karma baginya. Saat ini polisi masih menyelidiki pergerakan dari kelompok mafia Foxbite pasca ditinggal pemimpinnya," gumam Vincent sambil membaca artikel tentang dirinya.

"Orang bodoh macam apa yang menulis dan menggunggah artikel ini? Apa kau Axel? Ternyata IQ-mu masih saja jongkok walaupun aku pernah tertipu olehmu."

Ternyata gerak-gerik Vincent sedari tadi diamati oleh Lyra dari celah pintu masuk. Dia bahkan mendengar samar-samar suara Vincent. Sepertinya Vincent terlalu asyik dengan kegiatannya sehingga tidak menyadari jika sedang diintai olehnya.

"Dia benar-benar Vincent Cadmael," gumam Lyra dengan mata membulat sempurna. Tadinya dia masih ragu dengan ucapan ayahnya. Namun, setelah melihat dan mendengar sendiri, dia pun percaya.

"Ehem ... Nona Lyra. Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Memangnya boleh mengintip seperti itu?"

Suara dokter pria paruh baya tentu membuat Lyra terkejut. Gadis itu pun langsung berdiri tegak sambil menatap sang dokter yang datang bersama tiga orang asistennya.

"Ah, kenapa Anda malah bertanya? Tentu saja aku ingin melihat hasilnya. Hari ini perbannya akan dibuka 'kan?" tegas Lyra.

Dokter itu pun tersenyum. "Anda tak perlu terkejut, saya hanya bercanda. Tentu saja Anda boleh melihat proses pembukaan perban wajah tuan Gavin. Namun, kenapa Anda tak langsung masuk dan malah mengintipnya?"

"Aku harus memastikan keadaan," kilah Lyra.

"Baiklah, kalau begitu kita akan masuk sekarang," ujar sang dokter.

Lyra tak ingin identitas Vincent diketahui oleh orang-orang yang bekerja di laboratorium. Dia pun membuat kegaduhan sehingga Vincent menyadari dan langsung menaruh smartphone-nya lalu kembali berbaring di atas ranjang.

"Nona Lyra tak apa-apa? Apa kaki Anda terkilir? Saya akan segera menghubungi dokter ortopedi!" ujar sang dokter.

"Tidak perlu! Ini tidak sakit sama sekali!" tolak Lyra tegas. Ternyata dia pura-pura terpleset sehingga menimbulkan suara gaduh. "Ayo kita masuk sekarang!" imbuhnya kemudian.

Lyra bersama dokter dan tiga asisten dokter yang semuanya pria itu pun masuk ke ruangan yang ditempati oleh Vincent. Sang dokter pun menyapa Vincent yang pura-pura tidur.

"Tuan Gavin, apa Anda sangat lelah sehingga masih tidur di pagi hari?"

Vincent menggeliat meregangkan otot-ototnya untuk meyakinkan jika dia benar-benar sedang tertidur pulas. Aktingnya sangat sempurna sehingga membuat Lyra hampir saja tertawa. Ternyata Vincent menyadari tingkah Lyra dan membuatnya menatap tajam gadis itu.

"Ada apa pagi-pagi sekali Anda datang kemari?" tanya Vincent dengan polos.

"Saya akan membuka perban wajah Anda sekarang," jawab sang dokter.

"Benarkah?" tanya Vincent antusias. Dia memang tidak diberitahu perihal ini karena permintaan Lyra pada sang dokter dengan alasan kejutan.

"Benar, Tuan!" jawab sang dokter.

Vincent memang tidak sabar menunggu momen ini. Pasalnya sudah kurang lebih lima bulan dia harus mengalami serangkaian operasi yang menyiksa. Dia ingin tahu bagaimana rupanya yang baru. Selama ini dia hanya mendengar ucapan samar jika wajahnya akan sangat tampan. Semua itu karena Lyra dan para staf tidak ada yang mau memberitahu sketsa wajah barunya.

Para asisten dokter mulai membuka perban yang membebat wajah Vincent. Bukan hanya Vincent yang penasaran, Lyra pun terlihat sangat gugup serta penasaran dengan hasilnya.

'Ya Tuhan ... aku mohon agar berhasil dan sesuai dengan ekspektasiku,' harap Lyra dalam hati.

Wajah Vincent mulai terlihat dari bagian dagu. Lyra membuka matanya lebar-lebar agar tidak ketinggalan satu momen pun. Mulutnya menganga lebar saat wajah baru Vincent sudah terekspos jelas di depan matanya.

"Bagaimana, Nona Lyra? Apa sudah sesuai dengan ekspektasi Anda?" tanya sang dokter.

Lyra seolah tak dapat berkata-kata, bibirnya terasa sangat kaku. Mungkin jika diumpamakan bibirnya bagai es tipis yang andai saja ada pergerakan sedikit saja akan segera retak.

"Nona Lyra?" tanya sang dokter lagi.

Tak ada jawaban dari gadis berparas cantik bak boneka itu. Tiba-tiba saja air mata mengalir membasahi pipi mulusnya sehingga membuat semuanya bertanya-tanya dan panik.

"Kenapa Nona Lyra menangis? Apa ada yang salah dengan wajah baru tuan Gavin?" tanya sang dokter cemas.

"Hey! Apakah wajahku seaneh itu sehingga membuatmu menangis?" tanya Vincent penasaran. "Cepat bawakan cermin untukku!" perintahnya kemudian pada para asisten dokter yang berdiri kaku di hadapannya.

Para asisten dokter kebingungan. Pasalnya mereka lupa menyediakan cermin karena sangat gugup. Rupanya mereka juga menunggu momen untuk melihat wajah baru Vincent.

"Akan segera saya ambilkan!" sahut salah satu asisten dokter yang langsung berlari keluar.

Sementara itu, Lyra masih bungkam dan matanya masih mengeluarkan kristal bening. Tentu saja hal itu membuat semuanya terus merasa penasaran dan khawatir.

"Hey! Kenapa kau diam saja?" tanya Vincent yang terlihat frustrasi dengan reaksi Lyra. Pandangannya kini beralih pada sang dokter untuk memastikan lagi. "Apa wajahku benar-benar terlihat aneh sampai-sampai dia menangis?"

"Hum ... saya rasa Anda tampan, Tuan," jawab sang dokter.

Vincent menghela napas kasar saat mendengar pernyataan sang dokter. Dia memang sedikit mendengar sifat Lyra yang perfeksionis sehingga menyimpulkan bahwa wajahnya tak sesuai dengan ekspektasi gadis itu.

"Maaf agak lama. Ini cerminnya, Tuan," ucap asisten dokter dengan napas terengah sambil memberikan cermin kepada Vincent.

Dengan tangan sedikit gemetar Vincent pun mulai mengarahkan cermin ke wajahnya. Begitu wajah barunya terpantul dalam cermin seketika pupil matanya bergetar hingga tak bisa berkata-kata.

'Apa-apaan ini?' batin Vincent.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status