Share

02. Ingatan

"Tuan Gavin, apa Anda merasa lebih baik?" Suara pria paruh baya menggema di ruangan cukup luas dengan interior serba putih.

"Aku sudah lebih baik."

"Apa Anda sering mengalami mimpi buruk?"

"Tidak sering hanya pernah."

"Hmm ... baiklah, Anda bisa memanggil saya jika ada sesuatu yang dibutuhkan."

Pria paruh baya yang merupakan seorang dokter itu pun pergi meninggalkan ruangan. Kini hanya ada sosok pria berperawakan tinggi dengan perban yang menutupi seluruh wajah kecuali bagian mata dan bibir, siapa lagi kalau bukan Vincent.

"Aku jadi penasaran seperti apa rupaku yang baru?" Vincent bergumam. Dia terlihat duduk di sebuah kursi sambil menatap ke luar jendela.

Hal-hal yang selalu membuatnya bermimpi buruk adalah kejadian tragis yang menimpanya. Ingatan setahun lalu masih membekas jelas.

"Kira-kira apa yang sedang dilakukan kedua bedebah itu? Pasti mereka sedang bersenang-senang 'kan karena mengira aku mati? Hah ... sialan," dengusnya sambil menempelkan wajahnya di kaca. Tangan kanannya mengepal erat seperti hendak memecahkan benda bening dengan ketebalan 12 milimeter di hadapannya.

Kedua mata hazelnya masih menatap tajam ke arah luar jendela memandangi deretan pohon maple merah yang indah dan danau buatan yang mengelilingi laboratorium. Vincent memang sengaja ditempatkan di sana agar tidak merasa bosan dan cocok untuk pemulihan diri.

Seketika matanya membulat sempurna saat melihat sosok gadis cantik menempelkan wajah tepat di depan wajahnya. Walaupun terhalang oleh kaca, tetap saja Vincent merasa tidak nyaman.

Gadis dengan mata bulat berwarna cokelat tua itu tersenyum manis. Tak ada rasa canggung atau takut sedikit pun pada Vincent yang wajahnya mirip mumi karena tertutup perban. Dia bahkan melambaikan tangannya pada Vincent sebelum pergi.

"Gadis itu selalu saja membuatku jantungan," gerutu Vincent.

Baru saja dia ingin kembali merebahkan tubuhnya di ranjang, tiba-tiba gadis itu datang dan masuk ke ruangannya sambil tersenyum. Gadis yang selalu membuatnya jantungan tentu saja Lyra.

"Bagaimana keadaan Kakak? Oh, iya ... lusa perban di wajah Kakak akan dibuka untuk pertama kalinya. Aku jadi penasaran, apakah wajah Kakak akan sama dengan desain yang aku buat atau tidak" oceh Lyra yang kini sudah duduk di ranjang Vincent.

"Kenapa kau datang sesuka hati dan duduk di sini? Kau 'kan bisa duduk di sana!" bentak Vincent sambil menunjuk kursi yang tak jauh dari ranjang.

"Hey ... hey ... jangan terlalu galak pada dewi penolongmu yang cantik ini. Aku lebih senang duduk di dekatmu, Kak." Lyra kembali tersenyum sambil menatap Vincent lekat. Hal itu kembali membuat pria itu tidak nyaman.

"Jangan sering tersenyum begitu," ucap Vincent sebelum memalingkan wajahnya dari Lyra.

"Kak Gavin bisa jadi pacarku kalau nanti sudah sembuh. Jadi, jangan malu-malu begitu," goda Lyra.

"Jangan harap," sahut Vincent dingin.

Lyra menautkan kedua alisnya. Gadis itu tampak kesal pada Vincent yang sepertinya sangat sulit untuk didekati. Padahal dia membutuhkan banyak informasi setelah ayahnya memberikan identitas asli pria yang berada di dekatnya itu.

"Kakak dulu penjahat, ya?" celetuk Lyra yang sontak membuat Vincent menoleh ke arahnya.

"Kalau aku penjahat, apa kau menyesal telah menolongku?" tanya Vincent.

"Tentu kalau Kakak penjahat, aku malah senang. Aku dari dulu bercita-cita menjadi kekasih seorang penjahat atau mafia," celoteh Lyra.

"Cita-cita konyol macam apa itu?" dengus Vincent.

"Itu bukan hal konyol! Menurutku sangat keren, apalagi kekasihku adalah ketua mafia!" tegas Lyra.

"Kau pasti terlalu banyak menonton drama percintaan yang tak masuk akal," tanggap Vincent.

Lyra merasa usahanya gagal. Reaksi dari Vincent tak sesuai yang diharapkan olehnya. Pria itu tak terlihat terprovokasi dengan ucapannya.

'Aku harus memikirkan cara agar dia mau bercerita padaku tentang identitas aslinya,' batin Lyra bertekad.

"Kakak tidak pernah bercerita tentang masa lalu. Sebenarnya aku sudah sejak lama ingin mendengarkan kisah Kakak. Apa Kakak benar-benar hilang ingatan?" tanya Lyra menyelidik.

"Sudah aku katakan berulang kali, aku tidak ingat," tegas Vincent.

Lyra mengesah kasar. Dia tak begitu saja memercayai perkataan Vincent. Namun, tidaklah mudah membuat pria itu berbicara mengenai masa lalunya.

"Baiklah ... aku akan menunggu sampai Kakak ingat. Aku pergi dulu!"

Lyra meninggalkan Vincent sendiri. Dia memutuskan untuk merancang rencana lebih baik sebelum menanyakan masa lalu pria itu.

Mata Vincent tak lepas dari menatap punggung gadis yang menggunakan setelan celana denim panjang dan blus berwarna peach itu. Sepertinya dia memikirkan banyak hal karena perkataan-perkataan Lyra tadi.

"Apa dia sedang memprovokasiku? Dia masih sangat pemula jika ingin berhadapan denganku," gumam Vincent sambil tersenyum simpul.

***

Markas Foxbite, Vancouver, Kanada.

Terlihat Axel sedang menyesap wine sambil membaca beberapa dokumen yang berhubungan dengan bisnis utama kelompok mafia Foxbite, yaitu produksi dan penjualan narkoba. Dahinya berkerut dalam karena baru-baru ini bisnisnya mengalami kerugian yang signifikan.

"Ah! Sialan! Ternyata mengurus seperti ini tidak mudah. Bagaimana bisa Vincent selalu saja mendapatkan keuntungan? Selama dia yang memimpin tidak pernah mengalami kerugian sedikit pun," gerutu Axel sambil menggebrak meja.

"Perusahaan telekomunikasi warisan dari si bodoh itu mengalami penurunan keuntungan. Kenapa hal seperti ini terjadi kepadaku?! Ternyata pimpinan boneka yang dipekerjakan Vincent itu tak ada gunanya!" umpatnya kesal.

Axel memejamkan mata sambil memijit kedua pelipisnya. Tampaknya dia sangat pusing karena masalah yang menimpanya. Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangannya diketuk oleh seseorang.

Tok-tok-tok!

"Masuklah!" teriak Axel.

"Permisi, Tuan. Saya hanya ingin menyampaikan jika minggu depan adalah peringatan satu tahun kematian tuan Vincent. Apa saja yang perlu dipersiapkan?" tanya seorang pria bertubuh tegap dengan rambut hitam ditata serapi mungkin.

"Akhir-akhir ini aku sangat frustrasi karena bisnis kita dan perusahaan mengalami banyak kerugian. Aku menjadi merasa bersalah pada Vincent karena tidak bisa mengurus peninggalannya dengan baik." Axel memasang tampak sok sedih dan bersalah.

"Apa ada yang perlu saya bantu, Tuan? Selama ini memang tuan Vincent sendiri yang mengelola dan merancangnya bersama Anda. Saya pikir Anda mengerti," tanggap pria tersebut.

'Ck! Sialan! Apa dia sedang mengejekku sekarang? Dia tidak suka kalau aku adalah bos yang baru? Dia harus segera disingkirkan,' umpat Axel dalam hati.

"Aku sedang dalam keadaan depresi berat karena ditinggalkan oleh Vincent meski sudah hampir satu tahun. Harusnya kau paham itu!" bentak Axel.

"Maafkan saya, Tuan."

"Masalah persiapan upacara peringatan kematian Vincent semuanya aku serahkan padamu, Jody," perintah Axel.

"Baik, Tuan. Saya mengerti." Pria yang bernama Jody itu pun pergi meninggalkan Axel sendiri.

Untuk beberapa saat Axel terdiam sambil memperhatikan keadaan. Wajahnya yang sok sedih tadi berubah menjadi seperti orang penuh amarah, terlihat sangat buruk.

"Hah ... setelah kau mati saja, para anak buahmu masih menghormatimu seperti itu. Mereka sepertinya menganggap aku ini sepele. Bikin kesal," gerutu Axel. "Apakah kau benar-benar mati? Mayatmu saja tidak diketemukan."

Pikiran pria tampan berkumis tipis itu menerawang ke kejadian satu tahun yang lalu. Ingatannya tepat pada saat Vincent baru saja terjatuh dari pinggir jurang.

"Apa dia benar-benar sudah mati?" tanya Karina. Tubuh wanita cantik itu bergetar hebat setelah melihat secara langsung terjatuhnya tubuh kekasih yang telah dia khianati.

"Aku rasa dia tidak memiliki kesempatan untuk hidup," jawab Axel. Dia melongok ke bawah jurang dan melihat betapa tingginya ombak lautan di bawah sana. Lautan itu juga langsung mengarah ke samudera sehingga dia sangat yakin jika rivalnya benar-benar sudah mati.

Axel memperhatikan raut wajah Karina yang menampakkan penyesalan.

Setelah mengingat kejadian setahun lalu, Axel merasa sangat kesal. Satu yang paling membuatnya tidak nyaman adalah raut wajah Karina kala itu.

"Aneh sekali, aku malah kepikiran jika Karina sebenarnya tidak benar-benar senang saat aku melenyapkan Vincent. Ah! Pikiran sialan ini muncul terus, padahal sudah satu tahun yang lalu!" geramnya. Napasnya terasa berat karena emosinya sedang memuncak. Matanya pun dipejamkan agar lebih rileks.

"Sayang! Kau sangat sibuk, ya? Sampai telepon dariku tidak diangkat."

Suara wanita yang tidak asing terdengar di telinga Axel. Tentu saja wanita itu adalah Karina yang masuk tanpa permisi dan langsung memeluknya erat.

"Kenapa kau tidak ketuk pintu dulu?" Axel mengerutkan dahi sambil melepaskan pelukan dari Karina.

"Itu karena kau tidak mendengar! Jangan menyalahkan aku!" protes Karina, tetapi dia langsung terdiam saat Axel mengecup bibirnya.

"Kau sangat cerewet," ujar Axel sambil mencolek ujung hidung Karina.

Karina hanya diam dengan pipi bersemu merah. Axel memang selalu membuat jantungnya berdebar kencang.

"Kau mau ikut mempersiapkan acara peringatan satu tahun kematian Vincent?" tanya Axel sambil melingkarkan kedua tangannya ke pinggang ramping Karina.

"Untuk apa aku memedulikan orang yang sudah mati," jawab Karina.

Axel tersenyum senang saat mendengar jawaban Karina yang terkesan cuek.

'Sepertinya hanya perasaanku saja jika Karina menyesali setelah kami membunuh Vincent,' batin Axel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status