Nay tak kuasa melihat sahabat merangkap kakak iparnya itu tersiksa dengan tindakan bodoh Gavin yang mencampakan wanita sebaik Alan dan memilih wanita penuh topeng di wajahnya yang menyebalkan.
Prok
Prok
Prok
Suara nyaring tepuk tangan membuat dua wanita itu mengalihkan atensi ke arah sosok Luna yang kini berdiri angkuh di depan pintu dapur yang menghadap langsung ke arah taman belakang. Kakinya yang jenjang melangkah mendekat ke arah mereka berdua dengan bibir terulas senyum remeh.
"Drama yang cukup menarik, mengharukan sekali," ucapnya remeh.
"Kau!" Nay emosi melihat wajah munafik wanita itu.
"Apa? Aku tidak peduli apa yang ingin kau lakukan, Nay. Gavin sudah menjadi milikku, dan kau tahu sendiri, kan. Mama begitu menyayangiku, semua orang di pihakku, dan akan mudah sekali untuk mendepakmu dari sini Kakakku tersayang."
"Tutup mulut sialanmu itu, sampai mati pun istri Kakakku hanya Alan!" teriak Nay.
"Cih, dia hanya akan membuat malu di keluarga Wildberg. Wanita gelandangan yang mengemis hidup pada keluargaku, ironis sekali," ucapnya dengan kaki yang kemudian berbalik meninggalkan mereka berdua
"Luna Welington!"
Alan menggelengkan kepalanya dengan satu tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Nay yang ingin menyusul Luna.
"Kenapa Al, aku ingin menyumpal mulut sialannya itu."
"Tidak perlu, yang dia katakan itu benar, aku memang hanya anak pungut mereka yang diambil dari jalanan." Wajah Akan semakin terlihat menyedihkan sekarang.
Nay hanya bisa menahan emosinya yang telah sampai di ubun-ubun.
***
Suasana pagi di ruang makan mansion Wildberg terlihat sunyi. Walau beberapa orang sudah duduk nyaman di kursi masing-masing. Ada sosok Nyonya dan Tuan besar Wildberg, Nay, dan juga Alan. Mereka duduk dalam keheningan tanpa ada yang mau memulai untuk mencairkan suasana tegang yang menyelimuti ruang makan tersebut. Namun, hanya butuh waktu beberapa detik untuk membuat wajah cantik Grifida Wildberg berbinar cerah saat netranya menangkap putra sulungnya dan menantu kesayangannya tengah berjalan memasuki ruang makan dengan begitu mesra, lihat saja kini tangan kurus Luna seperti lem yang terus bergelayut di lengan kekar suaminya, membuat kepala Alan semakin menunduk.
"Selamat pagi Papa, Mama." Suara Gavin mulai memecah keheningan. Pria tampan dengan rambut coklat lurusnya itu mengambil tempat duduk tepat di depan istri pertamanya yang masih enggan untuk mengangkat kepalanya. Dia tidak sanggup melihat romansa pengantin baru di depannya. Sudah cukup,
hatinya tercabik-cabik mendengar suara desahan dari kamar milik Alan yang ditempati bersama Luna, bagai alunan musik dari neraka.
"Ayo kita makan, Luna sayang makanlah yang banyak agar cucu Mama tumbuh sehat. Mama sudah tidak sabar menantikannya lahir, pasti dia akan lucu sekali. Akhirnya keluarga Wildberg memiliki penerus baru, andai dari awal Gavin menikahimu bukannya wanita aneh yang tidak jelas ini." Mata biru Grifida melirik sinis ke arah di mana menantu pertamanya duduk.
Sakit yang Alan rasakan. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, air matanya tak terasa jatuh menetes. Bodoh, kenapa dia harus secengeng itu.
"Hentikan, Grifida!" Joseph berbicara dengan nada tinggi, membuat wanita angkuh itu semakin benci dengan sosok Alan. Kenapa juga suaminya terus membela wanita norak itu.
"Yang aku katakan itu benar, kau tidak malu memiliki menantu gelandangan, atau jangan-jangan dia anak seorang jalang."
"Cukup Grifida! Aku tidak ingin berdebat di meja makan, bagaimanapun Alan tetaplah istri Gavin. Dia menantu di rumah ini, dan kau Gav, bersikaplah adil dengan kedua istrimu," titah Joshep.
Gavin menatap datar ke arah Alan. Wajah aristokratnya terpancar tanpa ekspresi. Laki-laki itu memang jarang berbicara. Dia tipe pendiam dan dingin. Namun, banyak wanita yang tergila-gila padanya. Tubuh yang bagus, wajah yang tampan dengan rahang tegas, kumis tipisnya yang menggoda, juga mata birunya yang menawan tak lupa kekayaan yang melimpah, dan seorang pewaris tahta.
"Akan kucoba, tapi aku tidak bisa berjanji," ucapnya dingin seperti biasanya.
Alan meremat dressnya kuat-kuat. Mencoba menahan rasa sesak di hatinya. Dia tahu, dia tak pernah terlihat di mata Gavin. Laki-laki itu tak memiliki secuil perasaan untuknya. Dia yang bodoh. Dia yang naif dengan perasaannya.
"Laki-laki sejati harus bisa bertanggung jawab, Alan adalah istri pertamamu. Jadi, kau harus bisa bersikap adil, apa kau tak merasa iba. Setiap hari kau hanya bersama Luna." Joseph mulai naik pitam.
"Alan tidak hamil, aku hanya ingin menjaga calon anakku," jawabnya.
Joseph kehilangan nafsu makan. Dia mencekal lengan Alan yang duduk tepat di samping kirinya. Lalu dia berdiri dengan menggenggam tangan kurus menantu pertamanya.
"Gavin, lihatlah. Alan adalah istrimu, tidak pantas kau berbicara seperti itu. Kau bisa menyakiti hatinya."
Grifida ingin menyela, namun buru-buru ditepis oleh suaminya. Amarah pria tua itu berkobar bagai api. Matanya berkilat marah.
"Apa yang Papa inginkan, aku sudah menurutimu menikah dengan Alan, lalu apa lagi."
"Jangan sakiti perasaan Alan."
"Aku bahkan tidak pernah memukulnya, lalu apalagi. Aku bukan robot yang terus mengikuti perintahmu, kau tahu. Aku tidak pernah mencintai wanita ini, sedikitpun tidak ada perasaan untuknya!" Dia berteriak. Napasnya memburu. Gavin yang terkenal tidak suka banyak bicara kini meledakkan amarahnya.
"Lalu apakah kau mencintai, Luna!"
"Aku merasa nyaman dengannya, itu sudah cukup," tutur Gavin.
"Lalu, bagaimana dengan Alan, kau ingin terus menyakitinya."
"Maka aku akan menceraikannya," ucapnya final.
Deg
Napasnya terasa sesak. Kata laknat itu lagi. Dia tidak pernah menginginkan perceraian. Baginya, menikah hanya satu kali. Tetapi, apa daya orang yang begitu besar ia cintai adalah orang yang begitu membencinya. Orang yang membuat hatinya bagai tersayat belati tajam.
"Tidak kuijinkan kau menceraikan, Alan!" teriak Joshep.
"Aku tidak peduli, aku akan tetap menceraikannya, aku tidak ingin harga diriku jatuh karena memiliki pasangan seperti dia."
Brak
"Cukup, Gavin!"
Semua orang terperanjat mendengar suara gebrakan dan teriakan keras dari Nay yang sejak tadi memilih diam membisu. Hatinya sakit mendengar cercaan yang kakaknya lontarkan pada sahabatnya itu.
"Jangan pernah menghinanya, Gav. Kau tidak tahu kebusukan wanita yang kau nikahi itu."
Plak
Alan segera mendongakan wajahnya mendengar tamparan keras yang Gavin layangkan pada adiknya. Pipi pucat Nay terlihat kemerahan.
"Jangan pernah menghina istriku, Nay. Sekalipun kau adikku."
Gavin bergegas menggandeng tangan Luna ke luar dari ruang makan tersebut meninggalkan sosok Nyonya Wildberg yang kini menatap tajam ke arah wanita lugu itu, "Kau itu kesialan untuk keluarga Wildberg, dan kau Nay, Mama kecewa padamu." Setelah itu Grifida ikut pergi meninggalkan ruangan itu dengan emosi yang tersulut.
"Tolong maafkan istriku, Alan, dan kau Nay, cepat obati lukamu."
"Tidak perlu Papa, lukaku tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit yang Alan rasakan."
"Maafkan aku, Nay."
"Bukan salahmu, Al. Kita pergi ke luar saja, ok."
Alan mengangguk, dia mengikuti langkah kaki Nay setelah berpamitan dengan Joseph.
Gavin kembali ke rumah dengan hati hancur. Nyatanya ia tak bisa lagi memiliki kesempatan untuk bersama kembali dengan Alan.Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, matanya menerawang ke atas langit-langit apartemen kecil, yang ia sewa setelah rumah mewahnya ia jual untuk menutup hutang puluhan juta dollar di bank, akibat perusahaan milik sang ayah pailit."Apa yang kau lakukan di sini, huh!" seru Grifida. Wanita itu datang dengan pakaian berkabung, membuat Gavin langsung bangkit."Mama, kau dari mana? Kenapa memakai pakaian berkabung? Siapa yang meninggal?" tanyanya. Grifida tak menunjukkan raut sedih sama sekali. Justru binar bahagia terpancar di wajahnya yang mulai keriput,0 akibat tak pernah melakukan perawatan wajah."Kau tahu, beban hidupku kini telah menghilang. Akhirnya wanita ular itu mati bersama anaknya yang cacat."Mata biru Gavin langsung mendelik mendengar perkataan sang Ibu. "Apa maksud, Mama?""Kau tahu maksudku, Gavin. Wanita ular itu, alias mantan istrimu, Aluna Welingt
Gavin menarik lidah Alan untuk bergulat hanya sebentar. Sementara tangannya bergerak lihai memelintir pucuk dua bongkahan kembar milik Alan yang mencuat karena terangsang. Memaksa Alan untuk mendesah nikmat di bawah kungkungan sang mantan.Terdengar kecupan penuh nafsu, dan gairah malam yang mereka gumamkan. Sedotan akan bibir tipis yang mendominasi, membuat Alan tak berdaya. Tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, setiap lelaki di atasnya memberikan sentuhan yang tak pernah ia dapatkan selama ini."Eung...," lenguh Alan mendongak. Merasakan perutnya tergelitik, saat lidah Gavin bermain di area tubuh atasnya. Mengulum secara lambat, yang membuat Alan meremas surai hitam sang mantan suami.Gavin yang sejak tadi menyentuh tubuhnya, merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Sebuah perasaan sakit akan apa yang telah ia lakukan sekarang."Kita pindah kamar, ya?" ucap Gavin sembari menarik diri, saat ia kembali mengecup bibir Alan yang terbuka, dan menatap kedua maniknya meminta pers
"Alan apa yang kau lakukan?"Bukannya berhenti Alan justru melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya. Hingga tubuh putih itu polos tanpa sehelai benang pun. "Kenapa kau diam saja, bukanlah kau menginginkan tubuhku, berengsek!" Alan berteriak. "Tidak."Alan tertawa nyaring, mengabaikan rasa malunya di depan Gavin. Ia melangkah maju mendekati sang mantan suami yang duduk dia tas sofa. "Apa kau sekarang telah berubah menjadi pria baik-baik, oh astaga. Ini mencengangkan sekali. Tapi mana mungkin kau bisa menolakku."Gavin susah payah menelan ludahnya gugup. Segala pikiran kotor ingin ia singkirkan, namun ia kalah dengan tubuh Alan yang menggoda. "Shit!" umpatnya, kala miliknya di bawah sana mengaum ingin dibebaskan. "Lakukan dengan cepat, dan aku tak ingin membuang waktu berhargaku, sialan!" umpat Alan tak kalah sarkas."Kenapa kau melakukan ini, Alan?""Kau tidak perlu bertanya."Bukannya langsung memenuhi keinginan Alan, Gavin justru menarik tubuh polos sang istri dalam pelu
Lelaki itu turun dari dalam mobil tepat di depan hotel yang Alan tunjuk untuk pertemuan mereka malam ini. Dia mengamati hotel berbintang lima yang begitu mewah di pusat kota Edlen. Gavin lalu buru-buru kembali masuk ke dalam mobil, dan mengendari kendaraan roda empat tersebut menuju basemen."Apa benar ini tempatnya, ya?" gumam Gavin seorang diri. Ia berjalan masuk ke dalam lobi hotel setelahnya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis. "Nyonya Alanair Smitt, saya ingin bertemu dengannya."Resepsionis bernama Alexa itu tersenyum, ia meminta Gavin untuk menunggu, mencari data Alan di layar monitor."Nyonya Smitt menginap di kamar tiga ratus tujuh."Gavin mengangguk, lalu bergegas menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai 3 tempat Alan menginap.Hatinya berdebar tak karuan, padahal hanya 10 menit ketika ia turun di lantai 3, namun rasanya sudah berabad-abad. Ia berharap malam ini Alan memberinya maaf, ia tak berharap banyak untuk kembali pada wa
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu, Gav." Greg menepuk pundaknya dengan pelan, dan lelaki bermarga Wildberg itu hanya mengangguk lesu."Aku tahu itu berat bagimu, Gav. Tetapi cobalah relakan Ayahmu. Dengan begini, Tuan Wildberg tak lagi merasakan sakit. Dia sudah bahagia di atas sana."Gavin menghembuskan napas pelan, sebelum mengalihkan atensinya pada sosok Greg Martin yang berdiri di belakang tubuhnya. Ia memutar kursi, hingga kini ia tepat menghadap lelaki bermata biru tersebut. "Ini bukan soal Ayahku, Greg.""Lalu.""Ibuku tahu jika Alanair Smitt adalah mantan istriku, kau tahu apa yang Ibuku katakan?"Greg menaikan satu alisnya. Tetapi ia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika ia tak perlu bertanya pada sahabatnya itu. "Ibumu menyuruh kau kembali pada Nona Smitt, right."Gavin mengangguk pelan. "Bahkan, tanpa aku menjawabnya kau sudah tahu apa jawabannya.""Maaf, tapi karena itu mudah sekali tertebak ketika kau sering menceritakan sikap Ibumu. Sekarang terserah kau s
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara