Pemandangan kota Brigston, kota besar di sebuah negara bagian di Amerika, tak secerah biasanya. Langit mendung sejak senja mulai menapaki langit.
Alan berdiri di depan balkon kamarnya. Rambut keriting sebahu berwarna pirang terlihat acak-acakan. Wanita lugu dengan kacamata berbingkai tebal berbentuk kotak itu mendekap erat tubuhnya. Hingga suara langkah kaki membuatnya berpaling dari pemandangan kelam di hadapannya.
"Kau sudah selesai," ucap Alan yang melihat sosok suaminya berdiri tak jauh darinya. Alan melihat dari atas sampai bawah. Penampilan Gavin sangatlah memukau malam ini. Lihat saja tubuhnya yang kekar memakai kaos berwarna putih dengan kerah berwarna hitam, dan celana selutut berwarna mocca. Alan sempat terpesona dengan laki-laki bermata biru tersebut. Namun, kini hatinya tercubit nyeri, dia ingat jika Gavin bukan lagi miliknya seorang. Lagipula, laki-laki ini tak mengenakan pakaian yang dia pilihkan untuknya.
Mata coklatnya melirik ke arah ranjang. Satu set pakaian yang dia siapkan untuk suaminya, masih tertata rapi di posisi yang sama. Tak tersentuh sama sekali.
"Aku akan tidur dengan Luna, malam ini."
Bibir pucatnya dia gigit kuat-kuat. Berusaha meredam rasa sakit yang bergejolak di hatinya. Memang sudah satu minggu ini Luna menjadi istri sah kedua suaminya.
"Kau tidak punya hak melarangku." Ucapan Gavin menyentak tubuhnya. Dia lantas menunduk, membenarkan letak kacamatanya yang hampir melorot, juga lensanya yang buram terpapar air matanya.
"Tidak bisakah, kau tidur denganku malam ini, Gav," ucapnya. Namun buru-buru dia tepis, "Maaf, maksudku hanya malam ini saja, karena sudah satu minggu kau tidur dengan Luna."
"Aku harus menuruti keinginannya, Luna sedang hamil, dan kau tidak." Terkesan tanpa intonasi kasar, namun mampu mencabik hati Alanair Welington.
Wajah lugu Alan, mendongak seketika. Buliran bening itu mengalir tanpa dirinya suruh. Selama ini, Alan dengan sekuat tenaga berusaha menyembunyikan lara di hatinya. Berusaha untuk tidak menjadi cengeng agar pantas bersanding dengan laki-laki sempurna di hadapannya ini.
"Iya, kau benar. Luna sedang hamil, dan aku tidak."
"Itu kau tahu, kan. Jangan jadi wanita cengeng, aku benci itu. Aku tidak suka jika ada orang menangis di depanku, itu memuakkan."
Alan buru-buru mengusap kasar wajahnya, dengan kedua tangannya. Tidak peduli wajahnya akan berantakan. Memangnya siapa yang peduli, toh sejak awal tidak ada yang mau peduli seperti apapun penampilannya.
"Maafkan aku." Alan kembali menunduk.
"Untuk apa, aku tidak peduli kau mau menangis seharian, asal jangan di depanku. Aku muak. Kau tahu kenapa aku lebih menyukai Luna daripada kau, kau itu membosankan, wanita lemah yang hanya bisa menangis," ujar Gavin, dan memilih mengacuhkan wanita itu.
Tangan Alan semakin meremat satu sama lain. Bahunya yang sempit bergetar hebat. Mencoba menepis rasa sesak yang bersarang. Dia memberanikan diri untuk menatap wajah tampan Gavin yang berhias kumis tipis.
"Kenapa, kenapa kau dulu mau menikah denganku," ucapnya, walau terselip nada was-was di dalamnya.
Laki-laki dengan hidung mancung dan bibir yang tipis itu menatap datar ke arah Alan. Mata birunya menyipit, namun hanya sesaat, dan dia memilih berjalan ke arah pintu kamarnya. Tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus mencengkeram handle pintu. "Kau cukup tahu, Papa memaksaku, aku tidak ingin didepak dari keluarga Wildberg. Dan lagi, aku ingin seorang penerus dari keluarga terhormat."
Gavin membuka pintu dengan cukup kasar, lalu menutupnya kembali hingga bunyi brakk cukup membuat hati Alan terusik.
Tangan yang sejak tadi saling tertaut di atas perutnya, kini terkulai tak berdaya. Berganti meremas dress bunga-bunga yang ia kenakan. Bulir-bulir air matanya pecah kembali. Sesakit inikah jika mencintai sebelah pihak. Bodoh, seharusnya dia bisa membuang perasaan sialan ini.
"Aku bukannya tak bisa untuk tidak menangis, namun setiap saat kau menyakitiku, Gav. My heart really hurts, it hurts so much, that sometimes I forget where it is."
Alan meremat kencang dadanya yang terasa begitu sesak. Sampai kapan dia akan bertahan dengan perasaan cinta yang setiap hari mencabik-cabiknya.
***
Nay menghembuskan napasnya berkali-kali. Hari ini ia rela bolos kuliah untuk menemani sahabat sekaligus kakak iparnya meratapi jalan takdirnya. Mereka berdua tengah duduk di gazebo yang terletak di taman belakang mansion mewah keluarga Wildberg.
Cuaca hari ini cukup cerah di kota Brigston. Seharusnya dia ingin mengajak Alan berjalan-jalan, namun wanita itu memilih menyendiri di taman belakang mansion keluarganya.
Mata Nay yang berwarna biru persis seperti Gavin, melirik ke samping di mana sosok Alan masih senang dengan kebisuan yang menemaninya.
Nay gemas sekali, ingin rasanya dia memukul kepala Alan. Bagaimana bisa kakak iparnya ini menerima dirinya dimadu oleh kakaknya, apalagi wanita picik itu yang menjadi madunya. Sampai mati pun Nay tak rela, apa Alan tak sakit hati dengan semua yang telah wanita lugu itu alami. Jika itu dirinya, dia pasti sudah nekat mencekik wanita itu hingga mati. Terdengar kejam memang, tapi hati wanita yang memiliki rambut coklat bergelombang ini memang tak sekuat Alan, yang hanya diam menerima takdir yang begitu menyakitkan.
Kembali, napasnya ia buang kasar. Ingin bertanya tapi dia masih tak enak hati melihat kakak iparnya terlihat terpuruk satu minggu ini, tepatnya setelah pernikahan Gavin dan Luna yang digelar besar-besaran dan dihadiri relasi bisnis keluarga Wildberg.
Nay tahu sangat tahu, pasti Alan merasa sakit hati. Pernikahannya dengan kakaknya itu hanya digelar di gereja kecil secara tertutup tanpa tamu undangan, bahkan tidak ada yang tahu jika Gavin telah resmi menikah. Ide gila Grifida yang menginginkankan pernikahan putra sulungnya disembunyikan dari publik. Grifida malu memiliki menantu seorang yang tidak tahu asal usulnya, apalagi Alan berstatus anak pungut di keluarga Welington, mungkin saja Alan adalah anak seorang gelandangan atau anak seorang jalang yang dibuang, dan Grifida tak ingin kehilangan harga diri.
"Al," panggil Nay pelan. Muak dengan kesunyian yang membuat suasana menjadi canggung. Biasanya ia selalu berceloteh apa saja dengan wanita di sampingnya ini, menggodanya yang membuat Alan selalu tersenyum malu-malu.
"Aku tidak apa-apa, kenapa kau membolos kuliah." Akhirnya bibir yang terbungkam itu kini terbuka juga.
Nay tersenyum tipis dan segera memeluk tubuh kurus milik Alan. Untuk ukuran wanita seusia Alan, tubuhnya memang terlihat kurang gizi. Mungkin beban pikiran yang membuatnya seperti ini. "Aku senang, akhirnya kau mau bicara, aku mengkhawatirkanmu, Al."
"Tidak dengan bolos kuliah, bukankah kau sudah berada di semester akhir, bagaimana jika kau tak lulus." Seketika raut bahagia gadis manis itu luntur berganti wajah tertekuk dan bibir mengerucut. Ia melepas pelukannya pada tubuh Alan dan melipat kedua lengannya di depan dada.
"Jangan menyumpahiku, Al."
"Maafkan aku, aku hanya bercanda begitu saja marah."
"Aku tidak marah, hanya saja .., aku sedih melihat keadaanmu sekarang, kenapa kau tidak menghentikannya, aku tahu kau begitu terluka saat Gavin mengucap janji suci di depan altar dengan si nenek sihir itu. Kau tahu, saat itu aku ingin menyihir wanita itu jadi burung unta." Bibir berpoles lipstick warna peach itu berkomat-kamit.
Sorot mata Alan kembali semakin redup. Bohong jika dia tidak merasakan sakit. Dia juga manusia biasa tentu saja saat itu dadanya sesak serasa ditikam ribuan jarum, tapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Luna tengah mengandung anak suaminya, bagaimana dirinya tega memisahkan anak dan ayahnya. Bukankah lebih baik ia yang mengalah, itu lebih baik bukan.
"Aku hanya tidak ingin menjadi egois, Nay. Adikku tengah mengandung anak Gavin, bagaimana bisa aku .., hiks.." Tangisnya mulai pecah. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya yang kini sembab. Mengingatnya membuat perasaannya tercabik-cabik.
Nay yang tak tega melihat keadaan kakak iparnya. Dia kembali merengkuh tubuh kurus itu, mendekapnya erat mencoba menyalurkan rasa nyaman. "Jangan menangis, Al. Ada aku di sini."
"Di sini .., di sini rasanya sakit Na .., hiks, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Luna adalah adikku, dan mana mungkin aku tega karena Tuan Wlington sudah baik padaku, menampungku hingga aku tidak perlu lagi hidup di jalanan, merasakan kelaparan dan kedinginan, aku tak bisa jika harus menyakiti perasaan Luna." Dia berbicara dengan tangan meremat dada kirinya.
"Tapi tidak dengan mengorbankan perasaanmu, Alan. Aku tahu sebesar apa kau mencintai Kakakku yang bodoh itu."
"Tapi, Gavin tidak mencintaiku, itu faktanya." Gurat-gurat sedih kembali menghias wajah polosnya diiringi untaian kristal bening yang kini meluncur bebas membasahi pipinya yang pucat.
"Seharusnya, aku tak boleh mencintai Kakakmu 'kan, Nay. Seharusnya aku membuang saja perasaan bodoh ini, tapi kenapa rasanya sulit sekali, aku sudah mencoba untuk menghempaskan rasa itu pada Gavin. Namun, selalu kembali lagi. Rasanya begitu sakit apalagi melihatnya bersama adikku. Aku seharusnya ..., hiks, hiks. Apa yang harus kulakukan, Nay. Apa! Aku .., aku." Kini tangannya beralih memukul dadanya. Air matanya semakin deras mengalir tak sanggup dia bendung. Sesak di dadanya semakin menjadi mengingat kini Gavin bukan lagi miliknya seorang, walaupun dari awal ia tak pernah mampu menjangkau lelaki itu, tapi kini semuanya semakin menyiksanya.
Gavin kembali ke rumah dengan hati hancur. Nyatanya ia tak bisa lagi memiliki kesempatan untuk bersama kembali dengan Alan.Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, matanya menerawang ke atas langit-langit apartemen kecil, yang ia sewa setelah rumah mewahnya ia jual untuk menutup hutang puluhan juta dollar di bank, akibat perusahaan milik sang ayah pailit."Apa yang kau lakukan di sini, huh!" seru Grifida. Wanita itu datang dengan pakaian berkabung, membuat Gavin langsung bangkit."Mama, kau dari mana? Kenapa memakai pakaian berkabung? Siapa yang meninggal?" tanyanya. Grifida tak menunjukkan raut sedih sama sekali. Justru binar bahagia terpancar di wajahnya yang mulai keriput,0 akibat tak pernah melakukan perawatan wajah."Kau tahu, beban hidupku kini telah menghilang. Akhirnya wanita ular itu mati bersama anaknya yang cacat."Mata biru Gavin langsung mendelik mendengar perkataan sang Ibu. "Apa maksud, Mama?""Kau tahu maksudku, Gavin. Wanita ular itu, alias mantan istrimu, Aluna Welingt
Gavin menarik lidah Alan untuk bergulat hanya sebentar. Sementara tangannya bergerak lihai memelintir pucuk dua bongkahan kembar milik Alan yang mencuat karena terangsang. Memaksa Alan untuk mendesah nikmat di bawah kungkungan sang mantan.Terdengar kecupan penuh nafsu, dan gairah malam yang mereka gumamkan. Sedotan akan bibir tipis yang mendominasi, membuat Alan tak berdaya. Tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, setiap lelaki di atasnya memberikan sentuhan yang tak pernah ia dapatkan selama ini."Eung...," lenguh Alan mendongak. Merasakan perutnya tergelitik, saat lidah Gavin bermain di area tubuh atasnya. Mengulum secara lambat, yang membuat Alan meremas surai hitam sang mantan suami.Gavin yang sejak tadi menyentuh tubuhnya, merasakan sesuatu yang tak bisa ia gambarkan. Sebuah perasaan sakit akan apa yang telah ia lakukan sekarang."Kita pindah kamar, ya?" ucap Gavin sembari menarik diri, saat ia kembali mengecup bibir Alan yang terbuka, dan menatap kedua maniknya meminta pers
"Alan apa yang kau lakukan?"Bukannya berhenti Alan justru melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya. Hingga tubuh putih itu polos tanpa sehelai benang pun. "Kenapa kau diam saja, bukanlah kau menginginkan tubuhku, berengsek!" Alan berteriak. "Tidak."Alan tertawa nyaring, mengabaikan rasa malunya di depan Gavin. Ia melangkah maju mendekati sang mantan suami yang duduk dia tas sofa. "Apa kau sekarang telah berubah menjadi pria baik-baik, oh astaga. Ini mencengangkan sekali. Tapi mana mungkin kau bisa menolakku."Gavin susah payah menelan ludahnya gugup. Segala pikiran kotor ingin ia singkirkan, namun ia kalah dengan tubuh Alan yang menggoda. "Shit!" umpatnya, kala miliknya di bawah sana mengaum ingin dibebaskan. "Lakukan dengan cepat, dan aku tak ingin membuang waktu berhargaku, sialan!" umpat Alan tak kalah sarkas."Kenapa kau melakukan ini, Alan?""Kau tidak perlu bertanya."Bukannya langsung memenuhi keinginan Alan, Gavin justru menarik tubuh polos sang istri dalam pelu
Lelaki itu turun dari dalam mobil tepat di depan hotel yang Alan tunjuk untuk pertemuan mereka malam ini. Dia mengamati hotel berbintang lima yang begitu mewah di pusat kota Edlen. Gavin lalu buru-buru kembali masuk ke dalam mobil, dan mengendari kendaraan roda empat tersebut menuju basemen."Apa benar ini tempatnya, ya?" gumam Gavin seorang diri. Ia berjalan masuk ke dalam lobi hotel setelahnya. "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya sang resepsionis. "Nyonya Alanair Smitt, saya ingin bertemu dengannya."Resepsionis bernama Alexa itu tersenyum, ia meminta Gavin untuk menunggu, mencari data Alan di layar monitor."Nyonya Smitt menginap di kamar tiga ratus tujuh."Gavin mengangguk, lalu bergegas menuju lift yang akan mengantarkan dia ke lantai 3 tempat Alan menginap.Hatinya berdebar tak karuan, padahal hanya 10 menit ketika ia turun di lantai 3, namun rasanya sudah berabad-abad. Ia berharap malam ini Alan memberinya maaf, ia tak berharap banyak untuk kembali pada wa
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ayahmu, Gav." Greg menepuk pundaknya dengan pelan, dan lelaki bermarga Wildberg itu hanya mengangguk lesu."Aku tahu itu berat bagimu, Gav. Tetapi cobalah relakan Ayahmu. Dengan begini, Tuan Wildberg tak lagi merasakan sakit. Dia sudah bahagia di atas sana."Gavin menghembuskan napas pelan, sebelum mengalihkan atensinya pada sosok Greg Martin yang berdiri di belakang tubuhnya. Ia memutar kursi, hingga kini ia tepat menghadap lelaki bermata biru tersebut. "Ini bukan soal Ayahku, Greg.""Lalu.""Ibuku tahu jika Alanair Smitt adalah mantan istriku, kau tahu apa yang Ibuku katakan?"Greg menaikan satu alisnya. Tetapi ia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika ia tak perlu bertanya pada sahabatnya itu. "Ibumu menyuruh kau kembali pada Nona Smitt, right."Gavin mengangguk pelan. "Bahkan, tanpa aku menjawabnya kau sudah tahu apa jawabannya.""Maaf, tapi karena itu mudah sekali tertebak ketika kau sering menceritakan sikap Ibumu. Sekarang terserah kau s
"Dia Alanair Wellington, istriku dan bocah kecil itu adalah putraku, putraku dengan Alan." Gavin mengatakan dengan gamblang. Alan melotot, begitupula dengan Grifida, wanita itu menatapnya tak percaya. Grifia membekap bibirnya dengan telapak tangan. Dia tertawa miris dengan apa yang ia dengar di telinganya saat ini. "Bohong, kau pasti bohong. Mana mungkin dia adalah si jelek Alanair Welington?"Alan mendengus malas. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak dulu, kau tak pernah berubah, ya, Nyonya Wildberg?""Karena aku percaya kau bukan Alanair, mana mungkin." Grifida masih bersikukuh."Karena Anda takut, bukan begitu. Anda takut mengakui saya sebagai Alanair Welington, Anda takut dengan kesalahan dan dosa Anda di masa lalu, Nyonya." Alan tertawa sinis, membuat wajah Grifida pucat pasi.Wanita itu memundurkan langkah. Mungkin Alan benar, dia takut dengan dosa masa lalunya. Dosanya yang telah mencampakkan menantunya yang polos, dan bahkan berhati mulia. Justru dia memelihara
"Laporan apa yang kau buat ini? Apa kau tidak becus membuatnya, huh?" Sebuah kertas dilempar begitu saja oleh Alanair, begitu ia membaca laporan yang Gavin berikan padanya."Apanya yang salah?" tanyanya. "Apa matamu buta? Atau sudah rusak? Lihat saja sendiri, kau sama sekali tak becus membuatnya. Pantas saja WG hancur karena dipimpin oleh orang macam kau." Amarah Alan menggebu-nggebu saat ini.Sakit di hati Gavin semakin menjadi, bukan karena amarah wanita ini. Akan tetapi, status mereka yang seharusnya masihlah suami istri, namun ketika mereka sudah sedekat ini. Kenapa ego memisahkan masing-masing. Ia menyesal dengan perbuatannya, ia tahu ia salah. Namun, Alan tak memberinya sedikitpun kesempatan untuk memperbaiki dirinya sendiri. "Astaga, kamu kalau marah menggemaskan sekali." Gavin mencoba mencairkan suasana denagn menggoda sang istri, ah masihkah boleh Gavin menyebutnya seperti itu, sementara Alan sudah menganggap mereka bercerai. Lagipula, dia sudah tidak mau bersama pria ini.
Setelah Alan merasa jauh dan jauh dari jangkauan mantan suaminya. Wanita cantik itu segera menyembunyikan tubuhnya di balik tiang bangunan. Hanya berdiri di sana tanpa melakukan apapun, memperhatikan sepatu hells merahnya yang menggesek tanah. Matanya berkaca-kaca menahan emosi yang sedari tadi dirinya tahan. Hanya saja Alan kalah, hatinya sakit, dan dadanya terasa sangat sesak sekarang. Saat ini ia hanya bisa menepuk dadanya, berharap mengikis semua rasa sakit yang menumpuk di sana, namun semua sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjadi, membuat tangisnya kini pecah tak mampu ia bendung lagi."Mama, Mama menjemputku?" Suara melengking di depannya membuat Alan mendongakkan wajah."Mama menjemputku?" ulangnya. Dia berlarian kecil saking senangnya, karena sang ibu menjemputnya di sekolah. "Iya, Mama menjemputmu, kau senang?""Tentu saja senang," ujarnya sembari memeluk kaki Alan, karena tinggi anak itu hanya sepinggang ibunya. Bibirnya terkembang senyum lebar seolah ia baru saja memenangk
"Kau yakin ini tempat sekolah dari putra Boss kita?" tanya Greg, ketika pria itu berhasil mengantarkan Gavin di depan salah satu sekolah swasta di kota Brigston. Greg melirik ke arah Gavin yang sudah lebih baik dari kemarin. "Ya, aku mencari info dari sekretaris pribadi Alan."Greg terkekeh. "Kau bahkan lebih leluasa dengan hanya memanggil namanya saja.""Karena dia istriku," ucapnya percaya diri. "Jika kau masih dianggap." ketika Gavin berdecak, Greg justru tertawa lantang."Sialan!" Gavin segera melepaskan sabuk pengamannya, dan keluar dari mobil. Meninggalkan sahabatnya yang memilih duduk di balik kemudi mengawasi pergerakan rekan kerjanya ini.Gavin melangkah ke arah area sekolah. Mengamati beberapa anak yang telah keluar dari dalam kelasnya masing-masing. "Kenan Yoshiro Smitt!"Langkah kaki Gavin terhenti saat itu juga. Ia menggerakan mata ke samping, saat seorang guru perempuan berambut pirang menyebut nama itu. Seperti ada bom atom yang melesak seisinya dan Gavin merasakan