Home / Romansa / I'm the Director / Kedatangan Karyawan Baru

Share

Kedatangan Karyawan Baru

Author: Momoy
last update Huling Na-update: 2021-03-12 01:22:44

"Ada perempuan yang mau bertemu dengan Bapak. Katanya, dia mau melamar pekerjaan sebagai sekretaris baru. Saya sudah bilang kalau perusahaan ini tidak butuh karyawan baru, tapi orangnya tetap mau bertemu Bapak."

"Tidak becus kamu, Lina. Seharusnya kamu bisa meyakinkan dia kalau kita memang tidak butuh karyawan baru! Apa-apaan ini?!"

"Tapi, Pak. Orangnya—"

"Ya, sudah. Saya akan temui dia. Di mana perempuan itu sekarang?"

"Di ... depan ruangan Bapak."

Aku menatap Lina, seorang receptionist di perusahaan yang aku kelola. Sambil menatap tajam, aku mendengkus kesal. Bagaimana bisa dia bekerja sangat tidak becus? Seharusnya dia dan satpam yang sudah digaji bisa bekerjasama dengan baik. Jika ada orang seperti perempuan yang dimaksud, dia dan sekuriti berkewajiban untuk mengusirnya.

Aku pun melangkah ke ruang kerja yang berada di lantai tiga gedung raksasa ini. Perusahaanku memang terdiri dari tiga lantai. Di atas lantai 3 terdapat beberapa perusahaan juga. Ada sekitar 400 karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinanku. Ada banyak investor yang menghabiskan uang demi membantu perusahaan ini maju dan berkembang.

Sampai di lorong menuju ruang kerja, aku melihat seorang perempuan. Rambutnya lurus diikat rapi sepunggung. Ia mengenakan rok selutut berwarna hitam serta atasan berwarna putih. Ia melihatku yang sedang melangkah ke arahnya. Dengan sungkan ia melemparkan senyuman. Di tangan kanannya, ia membawa sebuah amplop berwarna cokelat. Sepertinya identitas diri dan sekumpulan sertifikat kerja sebagai bukti pencapaiannya, agar aku berminat menerimanya sebagai karyawan di perusahaan ini. Tapi, ayolah. Di perusahaan ini, aku punya HRD yang bertugas untuk mengurus perihal sumber daya manusia.

“Maaf, Pak. Nama saya ... Laras,” ucapnya sambil sedikit membungkuk memberi hormat atas kedatanganku.

“Ada perlu apa kamu menemui saya?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.

“Saya ... mau melamar peker—“

“Tidak bisa! Kami sedang tidak butuh karyawan di perusahaan ini. Kami sudah penuh. Lagi pula, saya tidak akan menerimamu bekerja di sini. Dari tampilanmu saja, kamu terlihat tidak kompeten.”

Aku berjalan, lalu memutar kenop pintu ruangan, tetapi ia menghentikanku dengan sedikit bernada tinggi. “Pak! Maaf, tapi ... Bapak boleh lihat dulu berkas-berkas saya agar lebih meyakinkan.”

“Tidak perlu. Saya memang tidak butuh pekerja. Kalaupun saya membuka lowongan pekerjaan, saya akan meminta HRD untuk mengurusnya. Cari saja kerjaan ke perusahaan lain!”

“Pak!” Laras tiba-tiba saja meraih ujung setelan hitam fit yang aku kenakan. Aku benar-benar kesal, perempuan keras kepala sepertinya ada di dunia ini. Aku menggertakkan gigi, lalu berbalik.

“Saya, tidak, butuh, pekerja!” Aku menegaskan dengan tatapan tajam. Namun, tetap saja Laras tidak gentar. Ia semakin berani menyodorkan berkas-berkas miliknya yang sudah ia bawa. “Kenapa kamu ingin sekali bekerja di sini?”

“Pak, tolong. Saya sedang butuh uang. Saya harus bekerja. Saya punya alasan tersendiri kenapa sangat ingin menjadi sekretaris Bapak.”

Aku bungkam. Ya, aku tahu bahwa semua orang punya masalah masing-masing dalam kehidupan. Kita tidak pernah tahu alasan seseorang untuk bekerja, berharap mendapatkan upah dari pekerjaan yang kita tekuni. Seketika itu, aku teringat dengan diriku enam tahun yang lalu. Enam tahun lalu saat aku dapat makan dan minum hanya dari uang hasil mengantar makanan. Ketika melamar sebuah pekerjaan dengan ijazah lusuh tamatan SMA-ku, tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerimaku. Aku bingung apakah sebuah kertas menjadi ukuran di dunia pekerjaan? Bisakah secarik kertas itu membuktikan kemampuan seseorang? Bagiku sendiri, itu hanya omong kosong!

Aku menatap lamat wajah perempuan di hadapanku. Ia sendu. Matanya memang menyimpan sebuah kesedihan yang dalam.

Aku berbalik, lalu berkata, “Masuklah.”

Aku duduk di kursi empuk, sedangkan perempuan ini masih berjalan pelan. Ia terlihat lega, tetapi mungkin ada juga perasaan gugup di dalam benaknya.

“Duduklah.”

Segera ia duduk, matanya tidak berani menatap ke arahku. Ia menyodorkan amplop cokelat yang berisi berkas-berkas lamaran.

“Saya tidak butuh berkas-berkasmu. Tidak penting!” tandasku sambil menopang dagu dengan tangan.

“Lalu, apa yang harus saya lakukan agar bisa diterima bekerja di sini, Pak? Saya mohon, Pak. Saya harus kerja.”

“Kamu ingin melamar sebagai apa di perusahaan ini?”

“Saya punya pengalaman sebagai sekretaris, Pak.”

“Dulu pernah bekerja di mana?”

“Saya pernah bekerja di perusahaan advertising, Pak.”

“Kenapa berhenti bekerja di perusahaan itu?”

“Saya—“

“Oke, tidak perlu kamu ceritakan.”

“Di perusahaan ini, semua karyawan harus mengikuti perintah saya. Saya direktur di sini. Tidak boleh ada yang terlambat masuk. Juga, ada aturan-aturan lain yang mengatur tentang kedisiplinan karyawan di sini. Yang lebih penting, karyawan yang bekerja di perusahaan ini dilarang keras untuk saling jatuh cinta, berpacaran, dan sesuatu yang berbau percintaan! Ngerti kamu?!” tegasku sambil memutar kursi. Aku bangkit, lalu berjalan ke samping tempat Laras duduk.

Laras terlihat sangat gugup ketika aku mendekatinya. Ia menelan saliva.

“Apa pun perintah yang saya berikan kepada karyawan, tidak boleh dibantah. Harus dilaksanakan dengan baik. Pendapat saya tidak boleh dilawan, harus diterima, tanpa terkecuali! Ini peraturan dasar yang harus kamu pahami!”

Laras mengangkat tangannya ragu-ragu.

“Ada apa?”

“Saya mau bertanya, Pak. Kenapa karyawan di sini tidak boleh saling ....”

“Saling jatuh cinta maksud kamu?”

“I-iya, Pak.”

“Karena itu adalah peraturan yang saya buat di sini. Tidak ada yang boleh melanggar. Tidak ada yang boleh membantah. Perintah saya mutlak harus dilaksanakan. Kalau tidak, saya akan memecatmu!”

“Kalau kamu bersedia dengan aturan-aturan yang saya sebutkan ataupun belum saya sebutkan secara lisan, kamu saya terima bekerja di sini, sebagai sekretaris saya. Karena kebetulan sekretaris yang dulu tidak kompeten. Saya akan memecatnya nanti.”

Aku mengambil sekumpulan kertas di laci meja, lalu melemparkannya ke depan Laras.

“Itu kontrak. Baca, kalau kamu siap, kamu resmi bekerja di sini.”

Dengan pelan, Laras mengambil sekumpulan kertas di hadapannya, ia mulai membaca pasal-pasal yang bercetak tebal, lalu pandangannya naik ke wajahku.

“Bagaimana? Kamu siap?” tanyaku menantang, memiringkan senyum dan menajamkan tatapan.

Laras menghela napas dalam, ia meletakkan kertas ke atas meja. Ia cabut pulpen yang ada di meja. Tak menunggu lama, ia pun menandatangani kontrak yang kuberikan. Akhirnya, ia resmi menjadi sekretarisku.

“Oke. Sekarang kamu resmi menjadi sekretaris saya. Dan ... ada beberapa hal lagi yang lupa saya sebutkan. Kamu tidak boleh berbicara sebelum saya memerintahkan kamu bicara, atau sebelum saya bertanya kepada kamu. Akan ada peraturan-peraturan lain yang akan saya sebutkan jika saya sudah ingat.”

Sekali lagi, Laras menelan saliva. Napasnya terdengar berat saat menghela, lalu ia mengangguk perlahan.

“Bagus kalau kamu sudah mengerti. Mulai sekarang, kamu bekerja.”

“Jadi, saya—“

“Berhenti! Saya belum meminta kamu untuk berbicara! Ingat? Itu adalah aturan yang saya buat dan mutlak ditaati.”

Laras mendengkus, sepertinya ia begitu kesal denganku. Ya, aku tahu itu.

“Kamu harus mulai bekerja hari ini. Ruangan kamu ada di sebelah ruangan ini. Saya harap kamu bekerja dengan baik. Sekarang, pergilah ke ruanganmu. Jobdesk sudah tersedia di sana. Kamu bisa mulai berkenalan dengan karyawan-karyawan lain. Tapi, saat saya memanggilmu, kamu harus datang cepat. Tidak pakai lama. Saya benci menunggu.”

“Tapi, Pak. Hari ini saya—“

“Berhenti! Kamu sudah menandatangani kontrak. Artinya, kamu sudah resmi jadi bawahan saya. Kamu tidak boleh membantah. Sekali lagi kamu membantah, saya akan memberikan kamu sanksi. Atau mungkin saya akan memecat kamu langsung hari ini.”

Dengan berat hati—mungkin—Laras bangkit dan berjalan keluar dari ruanganku. Seraya menutup pintu, ia menatapku dengan tajam. Tampak bahwa rahangnya mengeras. Ia gertakkan giginya sebagai tanda tidak terima atas peraturan yang aku terapkan. Setidaknya, seperti itulah aku melihatnya.

Sekeluarnya perempuan ini, aku tersenyum miring.

Pada akhirnya, mereka akan merasakan apa yang pernah aku rasakan.

-II-

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • I'm the Director   Jangan Ikut Campur!

    Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”

  • I'm the Director   Kedatangan Deon Sebagai Pahlawan

    Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”

  • I'm the Director   Ingatan Terakhir Tentang Pertarungan

    Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba

  • I'm the Director   Akulah Pemenangnya

    Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”

  • I'm the Director   Kikan Menjadi Wasit

    Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”

  • I'm the Director   Aliran Elang Pemangsa

    “B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”

  • I'm the Director   Usaha Tak Mengkhianati Hasil

    Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind

  • I'm the Director   Gugurnya Harapan

    Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m

  • I'm the Director   Tangkas Pemberani

    Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status