Share

I'm the Director
I'm the Director
Penulis: Momoy

PROLOG

"Bagas! Jadi, pekerjaan kamu selama ini tukang makanan?!"

"Intan?! Intan, kamu ngapain di sini?! Aku ... aku ... bukan … nggak …."

Aku berusaha meraih lengan Intan—kekasih yang sudah lama menemani hari-hariku tanpa mengetahui profesi yang membuatku bisa cukup makan 3 kali dalam sehari. Wajahnya menunjukkan sebuah kekecewaan.

Intan tak mau mendekat dan sangat menjaga jarak. Sangat jelas ia tidak menerimaku, dilihat dari kerutan di dahi serta tatapannya yang tampak terkejut. Dia mungkin tidak mau menerima kenyataan bahwa kekasih yang selama ini selalu ada untuknya hanya seorang tukang pengantar makanan yang memiliki hidup serba berkecukupan.

"Jangan deket-deket. Jangan mendekat! Gue nggak mau tangan kotor lo nyentuh gue! Dasar, malu-maluin!"

Setelah menggeleng pelan sambil melihatku dengan penuh kejijikan, Intan melangkah pergi dari seonggok raga yang kini bergeming tak berdaya, memaksanya untuk tinggal.

Aku sangat tahu keadaanku sendiri, tetapi aku juga mencintainya dengan seluruh perasaan yang ada. Dimulai dari SMA hingga saat ini ia berkuliah. Namun, aku tak melanjutkan ke universitas hanya karena kekurangan biaya. Entah, mungkin aku hanya ditakdirkan menjadi orang yang berkecukupan. Tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan. Bahkan, semua keinginan dan angan-angan sudah lama aku tanggalkan.

-II-

Suatu peristiwa terberat yang pernah kuhadapi di masa lalu membuatku trauma dengan hubungan percintaan. Mulai dari saat itu, aku memutuskan bekerja keras melakukan apa saja. Yang penting bisa mendapatkan uang atau sekadar receh. Aku mulai mengerjakan semua hal yang bahkan tidak bisa aku lakukan. Hanya kegigihan dan ketekunan yang mampu membuatku mengalahkan semua ego dan rasa malas di hati. Aku pikir Tuhan tidak akan pernah menjadikanku seseorang dengan kelebihan atau memiliki kekayaan melimpah.

Hingga pada suatu hari, aku mulai sadar untuk mengerjakan bisnis kecil-kecilan. Mulai dari berjualan buku, bekerja di rumah-rumah tetangga, menjadi sopir, menjadi tukang ojek, bahkan bekerja sebagai kuli bangunan di tengah terik yang menyengat. Aku mengurangi pengeluaran, meminimalisir porsi makanku. Sampai pada suatu ketika, aku mulai berinvestasi, mencoba bisnis besar dengan risiko yang juga jauh lebih besar.

Bisnis properti adalah kategori yang aku pilih. Setiap waktu, aku tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Mengikuti segala macam seminar kewirausahaan. Mengikuti pelatihan bisnis yang sekiranya dapat menambah ilmu di bidang yang sedang aku geluti.

Melampaui kemampuan sendiri adalah tujuanku saat ini.

-ooOoo-

"Bagas ... maafin gue, maafin gue ...." Seketika, tangis perempuan berambut lurus hingga punggung ini pecah di kesunyian ruang kantorku yang luas.

Sementara ia menumpahkan air mata yang bagiku tidak ada artinya, aku hanya mengalihkan tatapan sambil menyaksikan pemandangan perkotaan yang sibuk dari balik-balik kaca yang membalut gedung besar ini.

Ia datang ketika aku telah menjadi seseorang, yang mungkin telah pantas baginya untuk menjadi yang diakui. Meski begitu, aku masih ingat betapa dulu ia bahkan tidak ingin tangan kotorku menyentuh dirinya. Sangat disayangkan, perempuan sepertinya kini mengemis maaf padaku sekarang.

"Saya sudah memaafkanmu."

"Jadi, kalau begitu, kita bisa—"

"Tidak. Memberikanmu maaf bukan berarti saya juga harus menerimamu sebagai kekasih seperti dulu," tandasku, masih tak mau menatap dirinya yang hancur, bersimbah air mata di wajah, penyesalan menyelimutinya.

Tangisnya semakin jadi. Ia sudah mendapat maaf, tetapi mengapa ia menuntut lebih? Aku tak mengerti dengan semua ini. Tak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan perempuan sepertinya.

Aku berjalan melewati tubuh rampingnya yang dibalut dengan dress brokat panjang didominasi warna biru muda serta tas di lengan kanannya. Aku akui ia amat indah, tetapi tidak pantas untukku yang sekarang sudah sukses dan bergelimang harta.

"Maaf, saya ada meeting hari ini. Seorang klien akan datang, kamu boleh pergi melewati pintu ini." Aku memutar kenop, membukakan pintu untuknya. Intan memandangku dengan sesal, bergelimang kesal.

Tubuhnya yang begitu indah bergerak pelan, lalu melewati pintu hingga keluar dari ruanganku. Sebelum akhirnya menutup kembali pintu, ia menatap ke arahku dengan hancur dan penuh kekecewaan.

Tak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat di mataku. Aku tidak peduli dengan kata maaf yang begitu diucapkan, lalu dilupakan. Semua paradoks, sewaktu-waktu pasti akan diulangi kembali.

Aku mungkin telah menjadi orang yang bergelimang harta, tetapi masalah tidak akan berhenti datang. Bahkan, masalah yang lebih pelik telah menunggu di depan sana. Ingin melahapku, mencengkeram kesombongan serta keangkuhanku ketika harta ternyata mengalahkan kerendahan hati yang dulu pernah aku miliki.

-II-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status