Share

I'm the Director
I'm the Director
Author: Momoy

PROLOG

Author: Momoy
last update Last Updated: 2021-03-12 01:07:12

"Bagas! Jadi, pekerjaan kamu selama ini tukang makanan?!"

"Intan?! Intan, kamu ngapain di sini?! Aku ... aku ... bukan … nggak …."

Aku berusaha meraih lengan Intan—kekasih yang sudah lama menemani hari-hariku tanpa mengetahui profesi yang membuatku bisa cukup makan 3 kali dalam sehari. Wajahnya menunjukkan sebuah kekecewaan.

Intan tak mau mendekat dan sangat menjaga jarak. Sangat jelas ia tidak menerimaku, dilihat dari kerutan di dahi serta tatapannya yang tampak terkejut. Dia mungkin tidak mau menerima kenyataan bahwa kekasih yang selama ini selalu ada untuknya hanya seorang tukang pengantar makanan yang memiliki hidup serba berkecukupan.

"Jangan deket-deket. Jangan mendekat! Gue nggak mau tangan kotor lo nyentuh gue! Dasar, malu-maluin!"

Setelah menggeleng pelan sambil melihatku dengan penuh kejijikan, Intan melangkah pergi dari seonggok raga yang kini bergeming tak berdaya, memaksanya untuk tinggal.

Aku sangat tahu keadaanku sendiri, tetapi aku juga mencintainya dengan seluruh perasaan yang ada. Dimulai dari SMA hingga saat ini ia berkuliah. Namun, aku tak melanjutkan ke universitas hanya karena kekurangan biaya. Entah, mungkin aku hanya ditakdirkan menjadi orang yang berkecukupan. Tidak memiliki apa pun untuk dibanggakan. Bahkan, semua keinginan dan angan-angan sudah lama aku tanggalkan.

-II-

Suatu peristiwa terberat yang pernah kuhadapi di masa lalu membuatku trauma dengan hubungan percintaan. Mulai dari saat itu, aku memutuskan bekerja keras melakukan apa saja. Yang penting bisa mendapatkan uang atau sekadar receh. Aku mulai mengerjakan semua hal yang bahkan tidak bisa aku lakukan. Hanya kegigihan dan ketekunan yang mampu membuatku mengalahkan semua ego dan rasa malas di hati. Aku pikir Tuhan tidak akan pernah menjadikanku seseorang dengan kelebihan atau memiliki kekayaan melimpah.

Hingga pada suatu hari, aku mulai sadar untuk mengerjakan bisnis kecil-kecilan. Mulai dari berjualan buku, bekerja di rumah-rumah tetangga, menjadi sopir, menjadi tukang ojek, bahkan bekerja sebagai kuli bangunan di tengah terik yang menyengat. Aku mengurangi pengeluaran, meminimalisir porsi makanku. Sampai pada suatu ketika, aku mulai berinvestasi, mencoba bisnis besar dengan risiko yang juga jauh lebih besar.

Bisnis properti adalah kategori yang aku pilih. Setiap waktu, aku tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Mengikuti segala macam seminar kewirausahaan. Mengikuti pelatihan bisnis yang sekiranya dapat menambah ilmu di bidang yang sedang aku geluti.

Melampaui kemampuan sendiri adalah tujuanku saat ini.

-ooOoo-

"Bagas ... maafin gue, maafin gue ...." Seketika, tangis perempuan berambut lurus hingga punggung ini pecah di kesunyian ruang kantorku yang luas.

Sementara ia menumpahkan air mata yang bagiku tidak ada artinya, aku hanya mengalihkan tatapan sambil menyaksikan pemandangan perkotaan yang sibuk dari balik-balik kaca yang membalut gedung besar ini.

Ia datang ketika aku telah menjadi seseorang, yang mungkin telah pantas baginya untuk menjadi yang diakui. Meski begitu, aku masih ingat betapa dulu ia bahkan tidak ingin tangan kotorku menyentuh dirinya. Sangat disayangkan, perempuan sepertinya kini mengemis maaf padaku sekarang.

"Saya sudah memaafkanmu."

"Jadi, kalau begitu, kita bisa—"

"Tidak. Memberikanmu maaf bukan berarti saya juga harus menerimamu sebagai kekasih seperti dulu," tandasku, masih tak mau menatap dirinya yang hancur, bersimbah air mata di wajah, penyesalan menyelimutinya.

Tangisnya semakin jadi. Ia sudah mendapat maaf, tetapi mengapa ia menuntut lebih? Aku tak mengerti dengan semua ini. Tak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan perempuan sepertinya.

Aku berjalan melewati tubuh rampingnya yang dibalut dengan dress brokat panjang didominasi warna biru muda serta tas di lengan kanannya. Aku akui ia amat indah, tetapi tidak pantas untukku yang sekarang sudah sukses dan bergelimang harta.

"Maaf, saya ada meeting hari ini. Seorang klien akan datang, kamu boleh pergi melewati pintu ini." Aku memutar kenop, membukakan pintu untuknya. Intan memandangku dengan sesal, bergelimang kesal.

Tubuhnya yang begitu indah bergerak pelan, lalu melewati pintu hingga keluar dari ruanganku. Sebelum akhirnya menutup kembali pintu, ia menatap ke arahku dengan hancur dan penuh kekecewaan.

Tak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat di mataku. Aku tidak peduli dengan kata maaf yang begitu diucapkan, lalu dilupakan. Semua paradoks, sewaktu-waktu pasti akan diulangi kembali.

Aku mungkin telah menjadi orang yang bergelimang harta, tetapi masalah tidak akan berhenti datang. Bahkan, masalah yang lebih pelik telah menunggu di depan sana. Ingin melahapku, mencengkeram kesombongan serta keangkuhanku ketika harta ternyata mengalahkan kerendahan hati yang dulu pernah aku miliki.

-II-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • I'm the Director   Jangan Ikut Campur!

    Kikan tetap menarik lengan Deon sampai akhirnya keluar dari bar dan tiba di sebuah gang sempit. Dengan sangat keras, Kikan mengempaskan punggung Deon pada dinding. Perempuan ini menumpu kedua tangannya di antara kepala sang lelaki.“Ada apa ini?!” Deon bertanya dengan penuh penekanan.“Jangan ikut campur urusanku!” tegas Kikan dengan tatapan yang begitu tajam. Tak sedikit pun dia mengalihkan pandangan dari mata Deon.“Oh, gitu. Okay, aku sadar kalau itu bukan urusanku. Tapi, seorang laki-laki nggak akan tinggal diam saat melihat perempuan sedang tersiksa di depannya,” pungkas Deon, santai.“Tersiksa?! Apa aku terlihat tersiksa?! Dasar bodoh!”

  • I'm the Director   Kedatangan Deon Sebagai Pahlawan

    Atas kedatangan Deon yang secara tiba-tiba, Kikan cukup terkejut. Keningnya mengerut dan berangsur-angsur menjaga jarak. Sementara itu, lelaki dengan sweater yang telah mendapatkan pukulan keras dari Deon, kini menatap dengan tajam penuh intimidasi.“Sialan. Siapa lo?! Berani-beraninya lo memukul gue!” tegas lelaki dengan sweater.Deon mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, “Siapa aku nggak penting. Yang jelas, kamu udah bertindak kasar sama cewek. Kamu itu cowok, bukan banci, kan?!”Mendengar tanggapan Deon tersebut, sang lelaki dengan sweater lantas tertawa terbahak-bahak.“Sialan. Baru kali ini gue nemuin orang yang berani sama gue. Lo belum tahu siapa gue, hah?!”

  • I'm the Director   Ingatan Terakhir Tentang Pertarungan

    Deon terakhir kali mengingat bahwa dirinya telah menyelesaikan pertarungan dengan Aldrikov, juga Kikan yang memberikan ucapan selamat padanya. Kini, saat lelaki ini terbangun, entah mengapa dia terlihat sangat kebingungan.“Di mana aku?” tanya Deon sambil beranjak duduk. Dia melirik ke sekitar ruangan yang tak cukup luas tempatnya berada saat ini.Selang beberapa saat, matanya berhenti pada perempuan yang terlihat membatu.“Anggraini? Apa aku ada di rumah sakit?” tanya Deon kesekian kalinya.“Deon! Syukurlah lo udah sadar!”Tanpa menjawab pertanyaan sang lelaki, Anggraini lantas memeluk tubuh Deon yang dipenuhi oleh perba

  • I'm the Director   Akulah Pemenangnya

    Semua persiapan telah dilakukan oleh Deon dan Aldrikov. Kini, keduanya saling tatap satu sama lain.“Aku yang menang, Tua Bangka!”Keduanya melesat dengan sangat cepat. Deon menggerakkan tangannya secara vertikal, tetapi Aldrikov melompat begitu tinggi hingga melewati tubuh Deon. Hal ini membuat lelaki bertubuh atletis ini tersentak kaget. Dia kehilangan momentum. Alhasil, ketika berbalik badan, tangan Aldrikov telah siap melukai wajah dan perutnya.Walau begitu, Deon tak tinggal diam. Tak ingin kalah cepat, dia memutar kedua tangannya ke arah kanan dan berhasil menangkis serangan lawan. Sayangnya, entakan yang begitu kuat membuat Deon terempas beberapa meter.“Kamu terlalu percaya diri.”

  • I'm the Director   Kikan Menjadi Wasit

    Deon dan Aldrikov menoleh ke sumber suara. Keduanya tercengang karena melihat bahwa Kikan-lah yang memiliki suara menggelegar barusan. Deon mengerutkan kening, lalu meningkatkan kewaspadaan. Baginya, tidak mungkin perempuan sadis ini tidak ikut campur dalam pertarungannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu mau mengganggu pertarunganku dengan si tua bangka ini?!” tegas Deon dengan tatapan yang begitu tajam.Kikan lantas tertawa bergelak mendengar dugaan Deon.“Nggak juga. Aku datang nggak untuk mengganggu jalannya pertarunganmu dengan Aldrikov.”Sambil mengangkat sebelah alisnya, Deon bertanya, “Lalu? Apa yang kamu inginkan?”

  • I'm the Director   Aliran Elang Pemangsa

    “B-bang … sat!”Tubuh Deon lemas seketika. Anggraini terbelalak kaget karena merasakan cairan kental memenuhi tangannya. Dia lihat, lalu air matanya pun keluar begitu banyak.“DEON!”Di titik ini, napas Deon mulai tak beraturan. Dia seperti orang yang kedinginan, tetapi udara yang masuk ke mulutnya sangat terbatas. Bahkan saat Anggraini menjadi lemas, Deon tidak mampu menopang beban tubuhnya hingga harus tergeletak di tanah.Dengan posisi berbaring, Deon menyaksikan wajah pria paruh baya yang masih mengacungkan pistol ke arahnya. Sang lawan menyeringai, lalu berkata, “Saya sudah mengatakannya padamu. Kamu akan mati di tempat ini.”

  • I'm the Director   Usaha Tak Mengkhianati Hasil

    Ketika pria berambut panjang hendak pergi bersama para anak buahnya yang bertugas membawa Deon, sebuah suara menghentikannya.“Serahkan Deon sama gue!”Pria paruh baya berbalik badan. Yang terlihat ialah seorang perempuan yang sedang membawa dua pistol di tangan dan dua pedang yang terselip di punggung.“Oh, bukankah kamu ….” Pria tersebut tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, dia pun tertawa kemudian.“Ya, ya. Saya pernah mendengar desas-desus kalau salah satu senjata pembunuh Tyrex ikut bergabung ke Bruno. Dan tentu saja, yang mereka maksud adalah kamu. Kamulah pengkhianatnya.”Perempuan yang tak lain ialah Melind

  • I'm the Director   Gugurnya Harapan

    Mendengar pernyataan pria berambut panjang, tatapan Deon semakin serius. Baginya, sekarang basa-basi tidak lagi diperlukan. Entah benar atau tidak bahwa para anggota Bruno tengah bertempur dengan anak buah si pemasok senjata ini.“Kalau gitu, kita buktiin di sini siapa yang lebih hebat.”Ketika Deon hendak menyiapkan kuda-kuda, pria berambut panjang berkata, “Tidak perlu.”Selang beberapa saat pria tersebut memberikan sinyal pada salah satu anak buahnya. Deon semakin waspada. Namun, dia tidak cukup cekat dalam menghindari sebuah peluru yang kemudian dilesatkan oleh anak buah si pemasok senjata. Alhasil, timah panas menancap di bahu sebelah kanan Deon.“Sialan!” jerit Deon sambil m

  • I'm the Director   Tangkas Pemberani

    Tidak mudah bagi Deon untuk melakukan pergerakan saat ini. Bahwa keadaan tubuhnya dipenuhi luka dan juga para anak buah pria berambut panjang terlihat siap dengan berbagai senjata yang mereka bawa. Untuk itu, Deon hanya menatap ke arah sang lawan. Sesekali bergantian menatap Anggraini yang sedang dalam keadaan tertodong senjata.“Akhirnya, kami menemukanmu. Sebelum jadi mayat di sini, ada baiknya kita bicara beberapa patah kata,” ucap pria berambut panjang sambil berjalan mondar-mandir.Deon berusaha bangkit meski tubuhnya masih terasa pegal dan sakit. Tidak dipungkiri ada beberapa tulang yang patah akibat dirinya yang menggelinding di bukit terjal ini.“Oh, aku kira kalian nggak bisa berbasa-basi. Ternyata, sama aja.”

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status