Sepanjang perjalanan menuju mall, Maha duduk di pangkuan Sabrina. Anak itu terlihat sangat ceria dan bahkan menyanyikan lagu kesukaannya. Sabrina pun ikut bernyanyi bahkan bertepuk tangan. Sementara Gama hanya tertawa, pria itu tidak mau ikut menyanyi seperti anak dan calon istrinya.Sesampainya di mall, Maha memilih berjalan di tengah. Tangan kirinya menggandeng Sabrina dan tangan kanan menggandeng papanya. Ank itu bahkan dengan jahil sengaja menggantung kaki agar Sabrina dan Gama mau menarik tangannya dan dia bisa melayang. Mereka nampak bahagia, tapi belum juga mendapatkan apa yang mereka inginkan, Maha sudah merengek meminta es krim ke sang papa.“Sebenarnya ke mall mau apa?” tanya Sabrina. Mereka kembali berjalan karena hanya Maha saja yang memakan es krim. Bocah itu menoleh Gama, mengerlingkan mata karena memiliki rencana terselubung dengan sang papa tadi.“Mau mengambil baju ulang tahun Maha, tapi sebelum itu kita harus ke sebuah toko sebentar,” jawab Gama. Ia balik mengerlingk
Bukan tanpa alasan Sabrina mengutarakan niat seperti itu, tepat setelah Gama merapatkan Maha ke arahnya, Naura memang berusaha mendekat. Hal ini membuat pria dengan tinggi badan hampir seratus sembilan puluh senti itu bergegas menggandeng Maha menjauh dari sana.“Papa kita mau ke mana? Mama Sabsab kenapa ditinggal?” Maha yang kebingungan malah menoleh, akibatnya mau tak mau Naura bisa melihat sekilas wajah anak itu.“Ga!”Naura berlari tapi Sabrina menghadang persis seperti apa yang dikatakannya ke Gama. Gadis itu berdiri di depan Naura, menghalangi wanita itu saat akan menyusul.“Heh … mau ke mana?” tanya Sabrina dengan nada membentak.“Minggir! Apa yang kamu lakukan? aku tahu kamu itu bukan siapa-siapanya, kamu belum resmi menjadi istri Gama, jadi kamu tidak bisa melarangku menemui anakku,” amuk Naura.“Astaga, beginilah akibatnya jika waktu sekolah tidak pernah mendengarkan ajaran guru budi pekerti,” cibir Sabrina. Dia menggeleng dengan sorot mata meremehkan Naura. Sabrina bahkan d
“Hah … teman.” Sabrina kebingungan untuk memberikan jawaban, hingga mengingat kode awal yang sudah diberikan oleh Gama kepadanya saat membuka pintu mobil tadi. “Oh … maksudmu tante tadi itu?” tanyanya.“Iya, tante tadi. Apa dia nakal? Kenapa muka Mama kesal melihat dia?” cecar Maha. “Kalau dia nakal biar aku pukul,” imbuhnya dengan mata menyipit dan tangan mengepal.Mendapati dirinya hendak dibela oleh anak bau kencur, Sabrina malah terbahak. Ia gemas sampai memeluk tubuh Maha dan mencium pipi anak itu. Sedangkan Gama yang fokus mengemudi hanya bisa melirik dan tersenyum.“Iya tante yang tadi nakal, tapi tenang saja sudah aku marahi,” kata Sabrina.Mendengar jawaban gadis di sebelahnya, Gama pun penasaran apa yang dilakukan Sabrina ke Naura. Ia pun bertanya meski tidak secara gamblang. “Apa dia takut setelah kamu marahi?”“Tentu, pokoknya teman yang nakal harus dimarahi dan setelah itu dijauhi. Masih banyak teman yang baik yang bisa diajak bermain, iya ‘kan Maha?” Sabrina mencolek pip
“Apa kamu yakin mau menggunakan pengacara itu untuk melawan Naura?”Sabrina bertanya ke Gama setelah memastikan Maha tertidur pulas di pangkuannya. Ia tidak begitu setuju jika Gama mempertahankan Rudi Tabuti sebagai pengacara. Menurutnya pria itu kurang meyakinkan, apa lagi persentase kasus yang dia menangkan saat melawan istrinya terbilang sangat kecil.Gama tak langsung menjawab. Ia sebenarnya juga sedikit resah. Namun, mencari pengacara tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada sisi kedekatan antara dirinya dan Rudi. Bahkan dengan pria itu dia bisa berkata jujur bahwa Maha memang bukan anak kandungnya.“Lalu menurutmu? Apa kamu bisa menjamin bahwa dia tidak akan membocorkan itu ke istrinya?” tanya Sabrina. Nada suaranya ketus membuat Gama sampai menoleh.“Kenapa kamu marah padaku?” tanya pria itu dengan raut muka heran. “Mempercayai orang lain adalah keputusan kita, jika orang lain mengkhianati kita itu pilihan mereka.”“Lalu jika aku memilih mengkhianatimu bagaimana? Semis
“Orang tidak akan pernah mensyukuri apa yang dimiliki sebelum Tuhan mengambilnya kembali,” ucap Gama setelah menyelesaikan ceritanya. Ia menoleh Maha yang masih terlelap di pangkuan Sabrina, lalu meraih tisu dari dashboard untuk diberikan ke gadis itu. Sabrina memalingkan muka, dia sesenggukkan. Gadis itu membayangkan jika sampai saat itu Maha tidak selamat, pasti dia tidak akan bisa bertemu dengan bocah imut dan banyak bicara ini. “Untuk kebersamaan yang sudah aku lewati bersama Maha berdua, aku tidak ingin Naura dengan seenaknya menghancurkan itu. Aku percaya pada Pak Rudi, dan aku yakin jika pun sampai pengadilan kita pasti akan menang, Pak Rudi pasti memiliki ide untuk mengalahkan istrinya,” ucap Gama. “Jangan terlalu percaya diri! bukankah pria tak berkutik kalau diancam tidak diberi jatah hahahihi,” ucap Sabrina sambil berusaha menahan perasaan sedihnya, dia mengusap sisa air mata kemudian cemberut karena Gama malah tertawa terbahak-bahak. “Memang ada? Pria macam apa itu?” so
Kediaman Gama hari itu nampak berbeda, beberapa orang dari event organizer sibuk mendekor halaman samping rumah untuk digunakan sebagai lokasi acara ulang tahun Maha. Semua keluarga juga sudah datang ke sana, mulai dari Tama dan Felisya sampai Olla dan maminya. Wajah mereka terlihat ceria, terutama Maha sang birthday boy. Anak itu sangat antusias, wajahnya nampak semringah lebih dari hari biasa.“Lihat Maha! dia sepertinya sangat menunggu pesta ini,” kata Felisya. Wanita yang masih nampak ayu meski usianya tak lagi muda itu tersenyum, sambil mengalihkan pandangan dari Maha ke putranya. “Sabrina datang jam berapa?” tanya Felisya kemudian. “Hem … paling nanti Ma saat mau mendekati acara,”jawab Gama. Seperti biasa dia memilih tak banyak bicara.Sementara itu, Gadis yang ditanyakan oleh Felisya ternyata sedang sibuk di dapur bersama ibunya. Bukan kado mainan yang ingin Sabrina berikan ke Maha, melainkan sebuah tumpeng yang dia masak sendiri bersama Mirna.“Kamu benar-benar merepotkan Sab
Dengan menggunakan mobil Alpansa yang dia beli dan kredit dari dealer tempat mas Dodot bekerja, Sabrina dan Mirna datang ke rumah Gama sore hari beberapa jam sebelum pesta ulang tahun Maha. Ia agak minder juga melihat banyaknya sedan dan SUV mewah berjajar di luar pagar rumah. Sabrina sudah bisa menebak bahwa keluarga besar Gama pasti berkumpul, hingga dia mendekat dan mengucapkan salam.Felisya yang melihat kedatangan Sabrina pun nampak menyambut dengan antusias, apa lagi Maha yang langsung berlari dan memeluk gadis itu.“Bik Mun, bantu angkat tumpeng dari mobil yuk,” ajak Sabrina.Bik Mun pun mengangguk. Wanita itu sudah mendekat tapi Rain – papinya Olla berdiri lebih dulu menawarkan bantuan. Sabrina mengucapkan terima kasih, tapi dia tetap menyusul Rain karena yakin akan sedikit sudah jika membawanya seorang diri.“Biar aku saja!” Gama mendahului langkah kaki Sabrina, dia bahkan menoleh lalu melempar senyuman maut yang membuat Sabrina hampir pingsan dibuatnya. “Kenapa repot-repot?
Gama masih berhadap-hadapan dengan Naura saat Sabrina datang mendekat, gadis itu menatap sinis Naura lalu memberitahu Gama bahwa acara akan segera di mulai.“Kalau kamu butuh orang untuk menyeretnya, aku akan menyeretnya,” ucap Sabrina, dia bersedekap dan menatap tajam Naura seolah ingin menelan bulat-bulat wanita itu.“Tidak perlu! dia akan pergi sendiri,” jawab Gama. “Ayo kita kembali, kita harus mendampingi Maha meniup lilin dan memotong tumpeng buatan mamanya.”Netra Sabrina membeliak. Pertama, dia kaget karena Gama menyebut nama Maha di depan Naura dengan sangat jelas. Kedua, sambil berbicara dan menatap tajam Naura, Gama menautkan jemari mereka. Pria itu memutar badan meninggalkan Naura dan menggandengnya erat.“Kamu … tadi... I-itu, apa tidak apa-apa?” tanya Sabrina yang masih terkejut.“Pengacaranya adalah istri pak Rudi, jadi sudah jelas dia akan mengetahui banyak informasi tentang Maha. Aku yakin dia juga akan menyelidiki hubungan kita,” ujar Gama sambil berjalan dan semakin