“Pak Faisal, Pak Gala, lihat itu! Apakah itu sandal milik Bu Nabila?” tunjuk pak Ujang.Gala dan Faisal menoleh ke arah yang ditunjuk pak Ujang barusan. Gala segera mendekati sandal itu.“Iya, ini sandal terakhir kali yang Nabila pakai. Sandalnya putus,” ujar Gala sambil menatap sandal itu.Gala menoleh ke sana kemari. Berharap Nabila masih ada di tempat itu. “Nabila,” gumam Gala.Gala meremas sandal itu, bingung harus mencarinya ke mana lagi. Kepala Gala merasa sedikit pusing karena tidak tidur semalaman ini. Ia kemudian menyandarkan kepalanya ke sebuah pohon.Sinar matahari telah muncul, keadaan pun menjadi terang. Gala kembali bangkit, ia ingin kembali mencari keberadaan Nabila dan juga Sandi.“Kita lanjutin lagi pencariannya,” ajak Gala.Faisal dan pak Ujang mengangguk, mereka kembali berjalan menyusuri hutan.Lama mereka berjalan, pak Ujang mengeluh sambil memegangi perutnya.“Aduh, perut saya lapar, Pak!” ujar pak Ujang.“Sama saya juga merasa lapar. Em … apakah di sini kita bi
Nabila terbangun dengan kondisi sekujur tubuh terasa sakit. Beberapa luka goresan pun terasa perih yang ia rasakan.Tempat yang asing, suasana yang sepi, dan lebih parahnya, kaki dan tangan terikat dengan mulut tertutup lakban.“Mmmmm!”Nabila tidak mengerti, kenapa bisa ia berada di tempat asing itu. Entah bagaimana caranya Nabila bisa masuk ke dalam rumah yang entah milik siapa. Lantas siapa yang melakukan semua ini?Beberapa kali Nabila mencoba berteriak, berharap ada seseorang yang mau membuka tali yang melilit tangannya. Namun, ia tidak bisa karena lakban di mulutnya begitu erat melekat, sehingga suaranya teredam.“Siapa yang melakukannya? Aku ada di mana?” batin Nabila bertanya-tanya.Tiba-tiba ingatan Nabila tertuju pada kejadian semalam. Nabila yang hendak mengambil air minum di dapur di dalam villa, seseorang dengan penutup kepala hingga wajah, tiba-tiba muncul dan membekap mulutnya, dan berhasil menyeretnya keluar. Sempat berhasil lolos melepaskan diri. Namun, ternyata tidak
“Apa kabar kamu, Nabila? Apakah kamu bahagia dengan pernikahan kamu dan suamimu? Em … aku harap tidak, karena yang mampu membahagiakan kamu itu cuma aku, cuma aku dan bukan Gala.”Seorang pria dengan topi dan masker hitam yang menutupi wajahnya, tengah menatap Nabila dengan lekat.“Salah kalau kamu menganggap Gala itu baik. Kamu terlalu mudah percaya sama lelaki itu. Jangan, Nabila, aku mohon jangan … aku tidak rela, sumpah demi Tuhan. Terpaksa aku harus melakukan ini sama kamu. Aku tahu kamu pasti akan sangat marah. Tapi ketahuilah, aku melakukan ini karena aku cinta sama kamu, Sayang. Aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja. Tidak akan pernah,” ucapnya dengan penuh tekad.Nabila merasakan usapan tangan pada kulit wajahnya. Perlahan ia menggerakkan kepalanya lalu membuka matanya, dan mendapati seorang lelaki yang tengah menatapnya.Nabila terperanjat, menatap lelaki itu dengan ketakutan.“Siapa kamu? Lepaskan saya!” Nabila berusaha menjauh dari lelaki itu.Nabila menatap lelaki i
“Bella, ini Bella bukan Sandi. Ja-jadi … apakah kamu-”“Ya, kamu benar, Nabila. Ini aku, bukan Ello!”Lelaki itu kemudian membuka topi serta maskernya. Nabila terbelalak, ternyata lelaki yang ia duga adalah Ello, ternyata adalah Arsya, mantan suaminya.“Mas Arsya, kamu ….”Arsya terkekeh melihat reaksi Nabila. Keterkejutannya membuatnya semakin tertarik kepada mantan istrinya itu.“Ya, apakah kamu bahagia melihatku lagi? Aku harap begitu, Nabila,” sahut Arsya.Nabila tidak habis pikir, kenapa Arsya melakukan hal itu kepadanya. Bahkan tak terlintas sedikit pun di benak Nabila, Arsya melakukan hal senekat itu.“Apa maksud kamu melakukan semua ini padaku, Mas? Apa salahku sama kamu?” tanya Nabila.Arsya kemudian duduk di hadapan Nabila, sambil menggendong Bella.“Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Nabila. Kenapa kamu menikah dengan pak Gala? Kamu tahu? Aku cemburu setelah mendengar kenyataan bahwa kamu telah dinikahi oleh bos aku. Aku tidak rela, Nabila. Sumpah demi Tuhan, aku tidak
“Tidak, jangan lakukan itu, Mas. Lepaskan aku!” tolak Nabila, saat Arsya hendak meraih kancing baju milik Nabila dan hendak membukanya.Nabila terus memberontak ingin menghindari Arsya. Hingga akhirnya, Nabila nekat menendang kaki Arsya dengan kedua kaki yang masih terikat.Arsya tersungkur ke lantai, beruntung sebelumnya Bella telah Arsya baringkan di atas lantai.“Nabila, kamu tega melakukan itu padaku? Padahal aku tidak ada niat untuk menyakiti kamu,” ujar Arsya, ia bangkit lalu mendekati Nabila kembali.Nabila hanya terdiam, semata ia lakukan hanya ingin melindungi diri dari sikap Arsya yang sangat kurang ajar.“Bella tidak meminum asi, sebaiknya kamu berikan susu formula, sesuai yang sering ibu dan neneknya berikan kepadanya,” tolak Nabila.Arsya sedikit merasa kesal terhadap Nabila. Lantas ia membawa Bella keluar dari ruangan itu.Nabila kembali menyandarkan kepalanya ke tembok. Kepalanya merasa pusing akibat ia tidak mau makan seharian ini.Nabila kemudian membaringkan tubuhnya
Nabila melihat banyaknya orang di tempat itu. Entah mereka tengah melakukan apa Nabila pun tidak tahu. Namun, di antara mereka ada beberapa orang berseragam polisi dan berseragam tim SAR.Menjadi sebuah kesempatan, Nabila memanfaatkan situasi itu. Ia berlari ke arah mereka, hendak melaporkan kejahatan Arsya terhadapnya. Nabila berharap mereka bisa membantunya untuk pergi dari tempat itu.“Ada apa, Mbak? Kenapa lari-lari?” tanya seorang pemuda yang tengah berdiri sambil sesekali menatap layar ponsel. Pemuda itu mendekati Nabila.“Mas, tolong saya. Mereka mengejar saya, saya takut!” jawab Nabila, sambil menunjuk ke arah Arsya dan beberapa orang yang mengejarnya.“Ikut saya, Mbak!” seru pemuda itu, kemudian menarik tangan Nabila secara paksa.“Eh-eh, kenapa tarik-tarik tangan saya, Mas. Kenapa saya dibawa kembali ke sana? Jelas-jelas saya habis lari dari sana,” ujar Nabila, ia merasa aneh.Pemuda itu tidak menjawab, membuat Nabila merasa curiga. Nabila berusaha menepis kasar tangan pemud
Nabila membuka matanya perlahan. Ia mengedarkan pandangan ke langit-langit sebuah ruangan.“Di mana aku?” gumam Nabila.“Sayang, kamu sudah bangun? Syukurlah kamu ternyata masih hidup.”Nabila menoleh ke sisi kanannya. Nabila terkejut, Gala tengah duduk menatapnya dengan air mata berlinang. Nabila telah berada di sebuah kamar rumah sakit. Ia telah mendapatkan penanganan dari dokter.“Mas Gala, kamukah itu? Apakah aku sedang bermimpi?” Nabila mengusap wajah yang dirindukannya.Gala mengangguk, ia tersenyum sambil menatap lekat Nabila.“Iya, Sayang. Ini aku, Gala, kamu tidak sedang bermimpi. Bagiamana keadaan kamu, sudah lebih baik?” tanya Gala.“Masih ada sedikit pusing dan badan sakit-sakit. Tapi tidak apa-apa aku senang melihat kamu lagi,” jawab Nabila.Pintu kamar terbuka dari luar. Keluarga Gala masuk ke dalam, mereka hendak menemui Nabila.“Sayang, kamu tidak apa-apa?” tanya oma Nira, ia memeluk Nabila.“Tidak apa-apa, Oma. Aku baik-baik saja. Senang bisa lihat Oma lagi,” jawab Na
“Mas, uang kita yang dua ratus ribu mana?” “Tadi dipinjam sama ibu.”“Amira panas, Mas. Panasnya sangat tinggi. Kenapa kamu kasih? Mas, tolong minta lagi uang itu sama ibu. Kita harus membawa Amira ke dokter. Aku takut terjadi apa-apa sama anak kita. Kita tidak punya uang lagi selain uang itu.”Arsya yang tengah meminum kopi, segera berdiri dan mendekati Nabila, istrinya yang tengah menggendong Amira, putri mereka yang baru berusia 2 bulan.“Hanya demam biasa, coba kamu kompres saja Amira, nanti juga dia bakalan sembuh,” imbuh Arsya.Nabila menggeleng pelan, jelas Amira membutuhkan penanganan dokter. Suhu tubuh Amira sudah berada di atas normal. Membuat Nabila bersikeras ingin membawanya ke dokter.“Tidak, Mas, Amira butuh pertolongan dokter. Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini. Pokoknya kamu minta lagi uang itu dari ibu. Aku tidak mau tahu, Amira harus dibawa ke dokter,” sahut Nabila.Arsya kemudian pergi ke dapur, kemudian kembali dengan membawa rantang berisi air dan juga ha
Nabila membuka matanya perlahan. Ia mengedarkan pandangan ke langit-langit sebuah ruangan.“Di mana aku?” gumam Nabila.“Sayang, kamu sudah bangun? Syukurlah kamu ternyata masih hidup.”Nabila menoleh ke sisi kanannya. Nabila terkejut, Gala tengah duduk menatapnya dengan air mata berlinang. Nabila telah berada di sebuah kamar rumah sakit. Ia telah mendapatkan penanganan dari dokter.“Mas Gala, kamukah itu? Apakah aku sedang bermimpi?” Nabila mengusap wajah yang dirindukannya.Gala mengangguk, ia tersenyum sambil menatap lekat Nabila.“Iya, Sayang. Ini aku, Gala, kamu tidak sedang bermimpi. Bagiamana keadaan kamu, sudah lebih baik?” tanya Gala.“Masih ada sedikit pusing dan badan sakit-sakit. Tapi tidak apa-apa aku senang melihat kamu lagi,” jawab Nabila.Pintu kamar terbuka dari luar. Keluarga Gala masuk ke dalam, mereka hendak menemui Nabila.“Sayang, kamu tidak apa-apa?” tanya oma Nira, ia memeluk Nabila.“Tidak apa-apa, Oma. Aku baik-baik saja. Senang bisa lihat Oma lagi,” jawab Na
Nabila melihat banyaknya orang di tempat itu. Entah mereka tengah melakukan apa Nabila pun tidak tahu. Namun, di antara mereka ada beberapa orang berseragam polisi dan berseragam tim SAR.Menjadi sebuah kesempatan, Nabila memanfaatkan situasi itu. Ia berlari ke arah mereka, hendak melaporkan kejahatan Arsya terhadapnya. Nabila berharap mereka bisa membantunya untuk pergi dari tempat itu.“Ada apa, Mbak? Kenapa lari-lari?” tanya seorang pemuda yang tengah berdiri sambil sesekali menatap layar ponsel. Pemuda itu mendekati Nabila.“Mas, tolong saya. Mereka mengejar saya, saya takut!” jawab Nabila, sambil menunjuk ke arah Arsya dan beberapa orang yang mengejarnya.“Ikut saya, Mbak!” seru pemuda itu, kemudian menarik tangan Nabila secara paksa.“Eh-eh, kenapa tarik-tarik tangan saya, Mas. Kenapa saya dibawa kembali ke sana? Jelas-jelas saya habis lari dari sana,” ujar Nabila, ia merasa aneh.Pemuda itu tidak menjawab, membuat Nabila merasa curiga. Nabila berusaha menepis kasar tangan pemud
“Tidak, jangan lakukan itu, Mas. Lepaskan aku!” tolak Nabila, saat Arsya hendak meraih kancing baju milik Nabila dan hendak membukanya.Nabila terus memberontak ingin menghindari Arsya. Hingga akhirnya, Nabila nekat menendang kaki Arsya dengan kedua kaki yang masih terikat.Arsya tersungkur ke lantai, beruntung sebelumnya Bella telah Arsya baringkan di atas lantai.“Nabila, kamu tega melakukan itu padaku? Padahal aku tidak ada niat untuk menyakiti kamu,” ujar Arsya, ia bangkit lalu mendekati Nabila kembali.Nabila hanya terdiam, semata ia lakukan hanya ingin melindungi diri dari sikap Arsya yang sangat kurang ajar.“Bella tidak meminum asi, sebaiknya kamu berikan susu formula, sesuai yang sering ibu dan neneknya berikan kepadanya,” tolak Nabila.Arsya sedikit merasa kesal terhadap Nabila. Lantas ia membawa Bella keluar dari ruangan itu.Nabila kembali menyandarkan kepalanya ke tembok. Kepalanya merasa pusing akibat ia tidak mau makan seharian ini.Nabila kemudian membaringkan tubuhnya
“Bella, ini Bella bukan Sandi. Ja-jadi … apakah kamu-”“Ya, kamu benar, Nabila. Ini aku, bukan Ello!”Lelaki itu kemudian membuka topi serta maskernya. Nabila terbelalak, ternyata lelaki yang ia duga adalah Ello, ternyata adalah Arsya, mantan suaminya.“Mas Arsya, kamu ….”Arsya terkekeh melihat reaksi Nabila. Keterkejutannya membuatnya semakin tertarik kepada mantan istrinya itu.“Ya, apakah kamu bahagia melihatku lagi? Aku harap begitu, Nabila,” sahut Arsya.Nabila tidak habis pikir, kenapa Arsya melakukan hal itu kepadanya. Bahkan tak terlintas sedikit pun di benak Nabila, Arsya melakukan hal senekat itu.“Apa maksud kamu melakukan semua ini padaku, Mas? Apa salahku sama kamu?” tanya Nabila.Arsya kemudian duduk di hadapan Nabila, sambil menggendong Bella.“Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Nabila. Kenapa kamu menikah dengan pak Gala? Kamu tahu? Aku cemburu setelah mendengar kenyataan bahwa kamu telah dinikahi oleh bos aku. Aku tidak rela, Nabila. Sumpah demi Tuhan, aku tidak
“Apa kabar kamu, Nabila? Apakah kamu bahagia dengan pernikahan kamu dan suamimu? Em … aku harap tidak, karena yang mampu membahagiakan kamu itu cuma aku, cuma aku dan bukan Gala.”Seorang pria dengan topi dan masker hitam yang menutupi wajahnya, tengah menatap Nabila dengan lekat.“Salah kalau kamu menganggap Gala itu baik. Kamu terlalu mudah percaya sama lelaki itu. Jangan, Nabila, aku mohon jangan … aku tidak rela, sumpah demi Tuhan. Terpaksa aku harus melakukan ini sama kamu. Aku tahu kamu pasti akan sangat marah. Tapi ketahuilah, aku melakukan ini karena aku cinta sama kamu, Sayang. Aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja. Tidak akan pernah,” ucapnya dengan penuh tekad.Nabila merasakan usapan tangan pada kulit wajahnya. Perlahan ia menggerakkan kepalanya lalu membuka matanya, dan mendapati seorang lelaki yang tengah menatapnya.Nabila terperanjat, menatap lelaki itu dengan ketakutan.“Siapa kamu? Lepaskan saya!” Nabila berusaha menjauh dari lelaki itu.Nabila menatap lelaki i
Nabila terbangun dengan kondisi sekujur tubuh terasa sakit. Beberapa luka goresan pun terasa perih yang ia rasakan.Tempat yang asing, suasana yang sepi, dan lebih parahnya, kaki dan tangan terikat dengan mulut tertutup lakban.“Mmmmm!”Nabila tidak mengerti, kenapa bisa ia berada di tempat asing itu. Entah bagaimana caranya Nabila bisa masuk ke dalam rumah yang entah milik siapa. Lantas siapa yang melakukan semua ini?Beberapa kali Nabila mencoba berteriak, berharap ada seseorang yang mau membuka tali yang melilit tangannya. Namun, ia tidak bisa karena lakban di mulutnya begitu erat melekat, sehingga suaranya teredam.“Siapa yang melakukannya? Aku ada di mana?” batin Nabila bertanya-tanya.Tiba-tiba ingatan Nabila tertuju pada kejadian semalam. Nabila yang hendak mengambil air minum di dapur di dalam villa, seseorang dengan penutup kepala hingga wajah, tiba-tiba muncul dan membekap mulutnya, dan berhasil menyeretnya keluar. Sempat berhasil lolos melepaskan diri. Namun, ternyata tidak
“Pak Faisal, Pak Gala, lihat itu! Apakah itu sandal milik Bu Nabila?” tunjuk pak Ujang.Gala dan Faisal menoleh ke arah yang ditunjuk pak Ujang barusan. Gala segera mendekati sandal itu.“Iya, ini sandal terakhir kali yang Nabila pakai. Sandalnya putus,” ujar Gala sambil menatap sandal itu.Gala menoleh ke sana kemari. Berharap Nabila masih ada di tempat itu. “Nabila,” gumam Gala.Gala meremas sandal itu, bingung harus mencarinya ke mana lagi. Kepala Gala merasa sedikit pusing karena tidak tidur semalaman ini. Ia kemudian menyandarkan kepalanya ke sebuah pohon.Sinar matahari telah muncul, keadaan pun menjadi terang. Gala kembali bangkit, ia ingin kembali mencari keberadaan Nabila dan juga Sandi.“Kita lanjutin lagi pencariannya,” ajak Gala.Faisal dan pak Ujang mengangguk, mereka kembali berjalan menyusuri hutan.Lama mereka berjalan, pak Ujang mengeluh sambil memegangi perutnya.“Aduh, perut saya lapar, Pak!” ujar pak Ujang.“Sama saya juga merasa lapar. Em … apakah di sini kita bi
“Ya Tuhan!” pekik Gala.Gala terkejut ketika melihat sepasang kaki berayun di atas pohon, dan ternyata kaki itu milik pak Imran.“Pak Imran sedang apa di atas?” tanya Gala, beberapa kali ia mengusap dadanya karena kaget.Pak Imran menoleh ke sana kemari, lalu turun dan menarik tangan Gala untuk bersembunyi di balik pohon.“Pak Imran kenapa ada di atas pohon? Lalu kenapa narik-narik tangan saya?” tanya Gala.“Ssst … jangan berisik. Nanti bu Nabila dengar,” ujar pak Imran dengan suara bisik-bisik, sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir.Gala menautkan kedua alisnya menatap pak Imran.“Pasti Pak Gala bertanya-tanya kenapa saya berbicara seperti itu. Pak Gala mesti tahu, istri Pak Gala ternyata tidak sebaik yang Pak Gala kira. Baru saja bu Nabila habis mengejar saya sambil membawa pisau. Ibu Nabila mau membunuh saya,” jelas pak Imran dengan wajah ketakutan.Gala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tidak percaya akan ucapan pak Imran barusan.“Tidak mungkin, istri saya tidak mungki
“Ya Tuhan, Bu Isti! Bu Isti kenapa bisa ada di sini dan kenapa bisa terluka seperti ini?” tanya Gala, ia mendekati istri pak Imran.Bu Isti meringis kesakitan, susah payah ia mencoba menegakkan tubuhnya dengan posisi duduk. Gala pun segera membantunya.“Pak Gala, tadi … tadi saya diserang. Tubuh saya sakit,” jawab bu Isti.Gala kemudian membantu bu Isti untuk keluar dari rerumputan tinggi itu. “Sekarang lebih baik kita keluar dulu dari sini. Bu Isti masih kuat jalan?” tanya Gala.Bu Isti mengangguk, lantas ia berdiri dengan dibantu oleh Gala. Beberapa kali bu Isti kembali meringis menahan sakit pada tubuhnya. Di bagian leher, ada luka sayatan yang membuat darah mengalir membasahi baju yang dikenakannya.Selepas mereka keluar dari dalam rimbunnya rerumputan berukuran tinggi, Gala kemudian membantu bu Isti untuk duduk di bawah pohon. Beruntung, malam itu tidak turun hujan. Cahaya bulan adalah satu-satunya penerangan yang mereka manfaatkan.“Bu Isti, pak Imran ke mana?” tanya Gala, ia m