33"Apa kamu siap menghadapi kemarahan Tuan Alex?" Hasna bertanya balik saat melihat Aira seolah menantang. "Mendingan kamu turutin saja, toh hanya mengantar minuman. Alister juga baru tidur, kan? Ada Nina juga yang jaga." Hasna mengalihkan pandangan ke arah pintu, saat Nina masuk membawa baju-baju Alister yang sudah digosok rapi. Aira berpikir beberapa lama. Terlihat dari alis matanya yang beradu. Kemudian wanita itu menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, Bu. Aku akan antar, sekalian mau nanyain kenapa harus aku. Tapi aku tidak tahu di mana ruang olahraga," ucap Aira akhirnya. "Ayo, aku tunjukkan," jawab Hasna datar seraya berjalan lebih dulu. Akhirnya, walau dengan hati dongkol, Aira mengantar minuman yang entah terbuat dari apa. Yang Aira tahu wangi lemon menguar dari gelas besar yang ia bawa, disertai biji-biji selasih mengambang di permukaan airnya. Ditemani Hasna, Aira menyusuri lorong di lantai bawah di mana dulu ia tersesat saat ingin kabur dari sana
34"Mi-minumannya, Tuan," ucap Aira gugup. Pandangannya ia lempar jauh ke hamparan air kolam renang di luar sana yang ternyata juga terlihat dari sini. Ruang olahraga pribadi Alexander sisi depannya terbuat dari dinding kaca semua. Bahkan ada pintu akses yang menghubungkan langsung ke halaman belakang. Udara segar dari luar langsung masuk saat pintunya dibuka seperti ini. Cocok untuk berolahraga. "Kau menumpahkan minumannya, Aira!" balas Alexander dengan suara yang sangat dekat. Dengan napas yang tiba-tiba tersengal, Aira melirik gelas minuman yang bergetar. Isinya hanya sisa setengah. Sebagian sudah tumpah dan menggenang di atas nampan yang sama bergetar. "Ma-af, Tuan. Biar saya ba-wakan lagi," ucapnya seraya ingin berbalik dan menghindar agar mereka tidak terlalu dekat. Sungguh, jantung Aira mendadak bermasalah. Bagaimana tidak? Alexander berdiri sangat dekat dengan tanpa memakai baju. Hanya celana pendek yang membalut tubuh bagian bawahnya. Tubuhnya bermandi keringat karena ia
35Aira mengikuti langkah Alexander yang ternyata menuju sebuah lift. Sesuatu yang baru ia ketahui kalau rumah itu memiliki lift, hanya saja menuju bagian belakang rumah. Akan memakai waktu lagi bila dari bagian depan rumah menuju lift yang letaknya di belakang. Ternyata masih banyak hal yang belum Aira ketahui di rumah itu. Ia memang terlalu polos dan tidak ingin tahu. Lift terbuka, mereka tiba di lantai bawah yang hanya beberapa langkah saja menuju pintu keluar. Beraneka ragam bunga indah berwarna-warni di taman belakang langsung menyambut begitu mereka tiba di sana. Mata Aira terasa ikut berwarna-warni melihatnya. Senyum mengembang dari bibirnya. Berbulan-bulan tinggal dan bekerja di sana, Aira baru tahu kalau ada tempat seindah ini di sini. "Lihat, Alister sepertinya senang di sini," ucap Alexander seraya duduk di sebuah bangku menghadap deretan bunga yang sedang bermekaran. Lalu memetik beberapa buah untuk mainan Alister. "Duduklah! Ada yang ingin kubicarakan!" perintahnya lag
36Alexander menyerahkan Alister ke pangkuan Aira. "Bawa Alister ke atas. Jangan jauhi dia. Jangan ke mana-mana. Tetap di kamar!" perintahnya dengan serius. Aira menerima tubuh mungil itu seraya mengangguk. Ia tidak banyak bertanya. Sepertinya tamu yang datang bukan tamu biasa. Mungkin orang yang bermasalah di masa lalu dengan Alexander. Hingga lelaki itu terlihat cemas. Namun, walau penasaran, Aira tidak mau kepo. Alexander mengantar mereka sampai lift, lalu menekan sebuah tombol agar benda itu terbuka. Mendorong lembut pundak Aira agar masuk. Lalu kembali memberi perintah. "Tetap di kamar temani Alister. Jangan ke mana-mana. Bila butuh sesuatu, suruh saja babysitter. Jangan keluar kalau ada yang mengetuk pintu selain orang rumah!" ucapnya lagi dengan wajah sedikit cemas. Tangannya menepuk pelan pundak Aira. Seperti seorang suami yang sedang memberi petuah kepada istrinya. "Hasna, temani Aira dulu sampai atas, nanti langsung ke ruang tamu!" Kentara sangat berbeda nada suara anta
37"Adik? Bukankah ayahku dan anakmu sudah melakukan tes DNA dan tidak ada kecocokan DNA di antara mereka?" Alexander tersenyum sinis. Sungguh tak habis pikir dengan orang-orang tidak malu ini. "Walaupun bukan anak biologis Papimu, tapi Ivan sudah seperti anaknya sendiri, Lex. Sejak lahir Ivan ikut papimu, bahkan papimu sangat menyayanginya.""Ya ya ya, sangat menyayanginya, hingga menelantarkan anaknya sendiri, yang harus hidup terlunta-lunta. Ah, sudahlah, Tante! Sebaiknya kalian tinggalkan rumahku! Tidak ada tempat untuk kalian di sini!" Alexander benar-benar jengah. Setelah mengatakan itu, ia berlalu dengan tanpa melirik lagi dua orang yang baginya tidak penting. Namun, siapa sangka wanita yang sejak tadi memohon itu, mengejarnya dan langsung bersimpuh di kakinya dengan air mata berurai. "Alex, Tante mohon, jangan begini, Nak. Kami sudah tidak punya apa-apa. Rumah pemberian dari Papimu sudah tergadai untuk biaya hidup kami sehari-hari. Kami tidak punya apa-apa dan siapa pun di s
38Terlena. Itulah yang dirasakan Aira saat ini. Ia membiarkan Alexander menciumnya. Ia menikmatinya. Ia bahkan membalas ciuman lelaki itu. Entah sampai berapa lama. Hingga saat kesadarannya terkumpul, wanita itu membuka matanya dengan paksa. Ini salah! Ini tidak boleh! Tangan yang semula berpegangan kuat dengan meremas kemeja Alexander di dada, kini mendorong dada itu dengan kuat, hingga tautan bibir mereka terlepas.Dengan napas tersengal dan dada turun naik cepat, Aira menatap tajam lelaki yang baru saja merampas hak bernapasnya itu, sebelum melayangkan sebuah tamparan, dan mendarat di pipi Alexander lumayan keras. Setelahnya, wanita itu berlari masuk ke dalam kamar Alister, dan mengunci diri di kamar mandi. Mencuci bibirnya berkali-kali untuk menghilangkan jejak ciuman lelaki itu. Aira terus merutuki dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa terbuai oleh lelaki itu? Bagaimana bisa membiarkan lelaki itu melakukan padanya? Bodoh! Ia seperti wanita murahan yang dengan mudah memberikan
39"Boss, Nyonya Ranti dan anaknya memaksa masuk!" lapor Jo dengan wajah lempeng seperti biasa. "Kau tahu apa yang harus dilakukan, bukan?" tanya Alexander tanpa menoleh ke arah sang Tangan kanan. "Tapi Nyonya Ranti memaksa, Boss. Ia bahkan melempar salah satu orang kita yang menghalangi, dengan batu." Wajah Alexander memerah. Walaupun tahu akan ada kejadian seperti ini, tetapi tak urung kesal mendera. "Biarkan mereka masuk. Aku mau tahu apa mau mereka!" putusnya akhirnya. Lelaki kaku bernama Jo yang selalu terlihat memakai jas, berlalu ke sebuah pintu. Tak lama muncul Ranti dan anaknya dari sana. "Alex, kamu benar-benar tega sama kami? Kamu perlakukan kami seperti anjing yang harus mengais makan dari tempat sampah?" Baru masuk, Ranti langsung menghardik Alexander yang tetap tenang tak terganggu. Lelaki itu tetap menyuap makanannya. "Kalau tidak suka. Tante boleh pergi. Tidak ada yang memaksa untuk tetap tinggal di sini, bukan?" balasnya ringan. "Dasar kamu tidak punya perasaa
40Alexander berlari menaiki tangga. Perasaannya tidak dapat digambarkan seperti apa. Orang rumah melaporkan Ranti menyelinap masuk ke dalam rumah, lalu memaksa ingin menggendong Alister. Namun, Aira mempertahankannya. Hingga kedua wanita itu terlibat rebutan bayi Alister. Ranti yang nekat akhirnya mendorong tubuh Aira, hingga wanita itu terjatuh dengan Baby Al dalam gendongannya. Aira terjatuh dan tertimpa lemari kecil di ruang bermain, karena kejadiannya di ruang bermain. Nahasnya, lemari tempat penyimpanan berbagai mainan itu oleng terkena tubuh Aira, hingga akhirnya ambruk menimpa tubuh wanita yang terus melindungi Alister itu. Alexander tidak habis pikir, bagaimana bisa Ranti masuk ke dalam rumahnya? Bukankah dia sudah memerintahkan semua orang untuk waspada? Inilah yang ia takutkan sejak awal kedatangan kedua orang itu. Lelaki itu terus berlari menuju kamar Alister tanpa jeda. Selama hidup, baru kali ini merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Setelah mendorong pintu yang ter