Share

Sama Saja

"Di rumah saja Bu Ratmi?"

Aku menolehkan kepalaku saat mendengar pertanyaan yang ditujukan padaku. Kulihat Bu Darti sedang berdiri di depan halamanku dengan menenteng kresek belanjaan. Aku tersenyum tipis ke arahnya.

"Iya, Bu," jawabku singkat.

"Loh, sudah nggak kerja lagi, Bu?" tanya Bu Darti lagi.

Aku menghela napas pelan, Bu Darti adalah tetanggaku yang suka kepo dengan urusan orang lain. Dia selalu mencari gosip untuk dibicarakannya dengan ibu -ibu tetangga lain.

"Nggak, Bu," jawabku sembari mengisi kembali ember dengan air. Aku sedang menyirami tanaman di halaman rumahku ketika Bu Darti sedang lewat.

"Lha kenapa sudah nggak kerja lagi, Bu?" tanyanya lagi.

"Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma ingin istirahat saja." Benarkan, dia pasti akan kepo denganku yang sudah tidak bekerja ini.

"Assalamu'alaikum, Buk." Dina baru saja datang dengan menaiki sepeda motor.

Aku lega karena dia datang. Aku sedikit malas berbincang dengan Bu Darti. Dia pasti sedang mencari bahan untuk gosip-gosipnya.

"Wa'alaikumussalam, Din," sahutku.

"Eh, Nak Dina. Dari mana nih?" tanya Bu Darti pada Dina.

Dina turun dari motornya, lalu melangkah ke arahku dan meraih tanganku, kemudian mengecup punggung tanganku.

"Dari rumah, Bu," jawabnya pada Bu Darti. "Buk, masuk yuk. Ada yang ingin Dina katakan," ucapnya beralih menatapku.

Aku menganggukkan kepala, lalu meletakkan ember yang aku bawa.

"Bu Darti, kami permisi masuk dulu," tuturku sopan.

"Eh, iya, Bu," sahutnya, lalu berlalu pergi.

Sementara aku dan Dina masuk ke dalam rumah. Lalu meneruskan langkah ke dapur untuk membuatkan minum sulungku yang baru saja datang.

"Bu Darti kenapa tadi, Buk?" tanya Dina saat kami masih dalam perjalanan ke dapur.

"Cuma sekedar menyapa ibu saja, Din," sahutku.

"Hati-hati loh, Buk. Bu Darti orangnya kan kayak gitu, suka kepo cari bahan gosip," pungkas Dina mengingatkanku.

"Iya, Din. Kamu mau minum apa? Teh atau kopi?"

"Teh aja deh, Buk," jawabnya.

"Ya sudah, kamu tunggu dulu sebentar di depan. Ibu buatkan dulu tehnya."

"Nggak, Dina ikut Ibu ke dapur aja."

"Baiklah, terserah kamu aja," sahutku.

Kami pun telah tiba di dapur. Aku langsung mengisi air di panci, kemudian menaruhnya di atas kompor. Tak lupa aku juga menyalakan kompor tersebut. Lalu aku mengambil gelas, mengisinya dengan gula dan teh.

"Kata Damar, Ibu berhenti bekerja. Bener, Buk?" tanya Dina, dia telah duduk di kursi meja makan sembari bermain ponsel.

"Iya, Din. Ibu sudah terlalu tua untuk terus bekerja. Ibu sering sekali masuk angin," jawabku sembari sibuk menuangkan air panas yang telah mendidih ke dalam gelas. Setelah gelas terisi, aku mengaduknya perlahan.

Dina berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekat ke arahku. "Lalu apa rencana Ibu selanjutnya?"

Aku mengernyitkan keningku ketika mendengar pertanyaan Dina. "Rencana apa maksudnya, Din?"

"Ya ... rencana Ibu setelah berhenti bekerja. Ingin membuka usaha atau bagaimana gitu lho, Buk. Masak Ibu tidak paham," tukas Dina.

"Rencananya ibu mau berangkat ke Tanah Suci dulu, Din. Ibu sangat ingin ke sana."

"Ngapain sih, Buk? Ibu buang-buang uang saja," celetuk Dina.

Aku seketika menghentikan gerakanku mengaduk teh. Lalu aku menoleh ke arah putriku yang sedang berdiri di sampingku itu dengan sorot terluka. Apa salahnya jika memang aku menghabiskan uangku sendiri sesuai dengan keinginanku? Padahal aku tidak meminta uang pada mereka untuk memenuhi keinginanku itu. Tapi mengapa seolah aku meminta uang pada mereka untuk pergi ke Tanah Suci.

"Ibu, harusnya Ibu memakai uang yang Ibu miliki untuk membuka usaha atau tanam modal. Ibu kan sudah tidak bisa bekerja lagi, jadi Ibu juga harus memikirkan masa tua Ibu. Bagaimana nanti kalau Ibu sudah tua dan tidak bisa apa-apa, sakit? Pasti perlu uang untuk berobat kan, Buk?" papar Dina. Seolah tidak memikirkan perasaanku sama sekali.

Hatiku mencelos mendengar ucapan sulungku itu. Bagaimana kata-kata yang menyakitkan hatiku itu keluar dari bibirnya. Bukankah ketika aku tua nanti anak-anakku lah yang berkewajiban mengurusku? Sama ketika aku mengurus mereka di waktu kecil hingga sekarang. Tapi kenapa rasanya seolah mereka tidak membiarkan aku berisritahat di masa tua dengan tenang.

"Buk ... Ibu berikan saja uang yang Ibu miliki pada Damar untuk membuka usaha. Nanti jika usaha Damar berkembang dengan pesat, dia pasti akan memberangkatkan Ibu ke Tanah Suci. Kasihan dia, Buk. Ingin membangun usaha tapi belum memiliki modal," cetus Dina tiba-tiba.

Jadi ini alasan Dina mendatangiku, dia ingin membujukku untuk memberikan uangku pada adiknya. Ternyata kakak beradik itu sama saja. Mereka tidak pernah mengerti aku. Ibunya sendiri.

Ternyata memberikan kasih sayang pada anak-anakku dengan memanjakannya, memberikan apa yang mereka inginkan adalah salah. Aku telah salah dalam mengasuh mereka.

"Jadi kalian tidak mau mengurusku saat aku sudah tua? Begitu maksudmu, Din?" tanyaku dengan suara parau.

"Loh, bukan seperti itu, Buk. Ibu jangan salah paham." Dina terlihat gelagapan mendengar pertanyaanku. "Kami pasti akan bergantian mengurus Ibu. Tapi kami juga butuh biaya untuk melakukannya, Buk. Maka dari itu, Ibu harus mempunyai tabungan. Jangan Ibu habiskan uang yang Ibu miliki untuk hal-hal yang tidak perlu."

"Tidak perlu katamu? Kamu tahu, pergi ke Tanah Suci adalah impian ibu sejak dulu. Tapi teganya kamu mengatakan kalau itu hal yang tidak perlu." Aku menatap Dina dengan raut sendu.

Hatiku sungguh terluka oleh sulungku itu. Susah payah aku membesarkannya, tapi ini balasannya kepadaku. Sungguh tega sekali.

Kenapa yang ada di pikiran mereka hanya ada uang dan uang. Apa kebahagiaan ibunya ini tidak penting sama sekali?

"Ibu tahu bukan itu maksudku, Buk. A-ku hanya ingin Ibu tidak menyalahgunakan uang yang Ibu miliki," ucap Dina terbata.

Aku bergeming mendengar alasan Dina. Hatiku sudah terasa bagai disayat-sayat mengetahui anak-anakku tidak mengerti apa keinginanku.

Aku menghela napas kasar. "Minumlah, Din. Aku ingin istirahat. Jika kamu masih ingin di sini. Silahkan berbincang dengan adikmu," ucapku meraih teh yang baru saja selesai aku buat, lalu menyodorkannya pada sulungku itu.

Setelah cangkir teh berpindah tangan ke tangan Dina. Aku beranjak pergi, meninggalkan Dina yang tampak mematung. Karena tidak biasanya aku mengabaikan kedatangannya. Aku selalu menemaninya ketika dia datang kemari.

Dina selalu datang setiap minggu kemari, saat aku libur bekerja. Katanya dia ingin menghabiskan waktu denganku saat aku libur bekerja.

Aku melangkahkan kaki ke kamar. Saat keluar dari dapur, aku melihat Damar dan juga Feni. Mereka sedang duduk di depan ruang televisi. Nampaknya mereka sedang menunggu hasil pembicaraan Dina denganku.

Aku meneruskan langkah menuju ke kamar. Tidak menghiraukan mereka sama sekali. Hatiku sedang sakit saat ini. Aku tidak mau menambahkannya lagi dengan berbincang dengan mereka.

Setelah tiba di kamar, aku menguncinya dari dalam. Aku tidak mau mereka menggangguku saat ini. Aku sedang ingin sendiri merenungi semua yang terjadi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar anak pada durhaka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status