"Jaga suaramu, Fen! Aku mertuamu, tidak seharusnya kamu berani kepadaku? Memangnya kenapa jika aku berhenti bekerja? Kamu sudah cukup menikmati hasil keringatku. Jangan menuntutku lebih lagi!" Hatiku meradang diperlakukan tidak sopan oleh wanita yang baru satu tahun menjadi menantuku itu.
Feni tampak terkejut mendengar nada suaraku yang terdengar sedikit meninggi. Biasanya aku tidak pernah meninggikan suaraku padanya ataupun pada anak-anakku lainnya."Ibu ... ibu berani membentakku?" cicit Feni. Dia memandangku dengan sorot mata tidak suka.Aku memalingkan wajahku dan tidak menjawab Feni. Rupanya aku terlalu memanjakannya, hingga dia tidak menaruh hormat padaku. Padahal aku selalu menganggapnya putriku sendiri. Aku tidak membeda-bedakan dia dengan Damar ataupun Dina. Aku memperlakukan mereka sama. Setiap dia menginginkan apapun aku juga berusaha untuk memenuhinya."Baiklah. Aku akan mengadukan Ibu pada Mas Damar. Biar Ibu rasakan telah berani membentakku!" ancamnya.Feni melangkah pergi, terdengar suara hentakan kakinya yang keras. Sepertinya dia terlihat sangat marah. Tapi aku tidak peduli. Dia memang harus diajari sopan santun.Aku kembali merebahkan tubuh tuaku di atas pembaringan. Netraku menatap langit-langit kamar. Pikiranku mengembara. Memikirkan keinginanku untuk pergi ke Tanah Suci. Keinginan yang terpendam sedari dulu, dan harus kutahan karena aku harus membahagiakan anak-anakku.Aku selalu menahan keinginanku untuk memenuhi apa yang mereka inginkan. Kini aku ingin melaksanakan keinginanku itu. Mumpung aku masih punya rejeki. Aku mendapat uang pesangon dari pabrik. Rejeki dari Allah, untukku bertandang ke Baitullah.Aku sangat berharap bisa mewujudkan keinginanku dalam waktu dekat. Aku tidak tahu sampai berapa lama sisa umurku. Masihkah aku diberi kesempatan untuk menjadi tamu Allah di sana.***"Kok kamu membuat mie instan, Mar? Memangnya Feni tidak masak?" tanyaku begitu sampai di dapur. Kulihat tubuh jangkung putraku sedang berdiri di depan kompor sembari mengaduk mie yang ada di dalam panci.Jam makan malam sudah tiba. Biasanya Feni akan memanggilku jika makanan sudah siap. Tapi kali ini dia tidak memanggilku sama sekali. Jadi aku pergi sendiri ke dapur karena perutku sudah mulai lapar. Aku hanya makan di pagi hari tadi sebelum ke pabrik.Damar menoleh padaku sebentar, lalu melengos, kembali melanjutkan aktifitasnya memasak mie instant. Bibirnya mengerucut, tampak sekali jika dia sedang kesal.Aku pun mendekat ke arahnya, lalu kusentuh pundak anak lelakiku itu dengan lembut. "Kamu nggak jawab pertanyaan ibu, Nak?" tanyaku lembut.Damar mematikan kompor, lalu dia kembali menoleh ke arahku. Tatapan matanya tajam menyorot wajah tuaku. Aku tersentak. Selama ini dia tidak pernah melihatku dengan sorot tajam itu. Dia selalu bermanja padaku."Ini semua karena Ibu! Ibu yang sudah membuat Feni marah hingga tidak mau memasak untuk makan malam."Aku tersentak mendengar kalimat yang keluar dari bibir putraku itu. Tanganku yang menyentuh pundak Damar perlahan terlepas.Damar menuang mie instant yang telah selesai dimasaknya ke dalam mangkok. Kemudian dia membawa mangkok itu ke atas meja makan. Setelahnya dia duduk di kursi, lalu mulai menyantapnya dalam diam.Hatiku terenyuh melihat putraku makan makanan tidak sehat itu. Aku menghela napas pelan, lalu melangkah menghampirinya."Ibu masak untukmu ya, Mar?" tanyaku padanya setelah sampai di sampingnya.Damar berhenti menyuap mendengar pertanyaanku. Lalu dia menoleh ke arahku. "Tidak perlu," jawabnya singkat."Nanti kamu masih lapar jika hanya makan mie itu, Mar." Aku terus membujuknya tidak tega rasanya membuat putraku itu tidak makan dengan benar.Hati ibu mana yang tega jika melihat putranya kelaparan. Tolong jangan bilang jika aku adalah ibu yang lemah. Aku hanya sangat menyayangi anak-anakku. Mereka adalah permata hatiku."Biar saja, Buk."Kembali Damar hanya menjawabku dengan singkat. Kebiasaannya jika hatinya sedang diliputi amarah. Aku menghela napas pelan. Susah sekali membujuk bungsuku itu, dia keras kepala seperti mendiang ayahnya.Damar kembali mengalihkan pandangannya dariku. Dia kembali menyuapkan mie yang tinggal separuh di mangkoknya. Aku pun memutuskan untuk duduk di samping Damar. Menunggunya selesai makan, untuk mengutarakan keinginanku padanya. Tapi, apa waktunya pas untuk berbicara sekarang? Sedang dia dalam keadaan yang diliputi amarah.Damar pun menyelesaikan makannya, di mangkoknya hanya tersisa kuah mie saja. Anakku itu pasti sangat lapar hingga makannya cepat sekali. Lalu aku menyodorkan segelas air putih untuknya.Damar menerima air tersebut, kemudian meneguknya hingga tandas. Setelahnya dia meletakkan gelas bekas minumnya ke atas meja.Damar menoleh ke arahku, senyumku seketika terbit ketika melihat amarah Damar sudah terlihat mereda. Aku pikir bisa mengajaknya berbicara kali ini."Buk. Ada yang ingin Damar tanya," ucapnya."Apa, Nak?" tanyaku mulai berbesar hati karena Damar sudah mau berbicara padaku."Ibu dapat uang pesangon 'kan?" tanyanya langsung.Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan Damar. Perasaanku mulai tidak enak setelah mendengar pertanyaannya itu. Ada rasa khawatir mendengar Damar menanyakan uang pesangonku."Memang ada apa, Mar?""Ah ... Ibu. Jawab saja pertanyaan Damar, Buk. Ibu dapat uang pesangon 'kan?" Damar mulai tampak tidak sabar karena aku tidak langsung menjawab pertanyaannya."I-ya, Mar. Ibu dapat uang pesangon dari pabrik. Tapi—.""Nah ... mana uangnya, Buk? Biar Damar aja yang pakai, lumayan bisa buat Damar modal usaha. Sekalian untuk belikan Feni emas, biar dia nggak ngambek lagi," papar Damar memotong ucapanku. Padahal aku belum menyelesaikan ucapanku. Tapi Damar sudah lebih dulu memotongnya tanpa memperdulikanku.Aku membulatkan mata mendengar penuturan putraku itu. Kenapa bisa dengan entengnya dia menyampaikan keinginannya padaku? Padahal aku juga mempunyai keinginan sendiri untuk menggunakan uang pesangonku."Tidak bisa, Mar. Ibu mau pakai uang itu untuk menunaikan ibadah haji, Mar. Ibu sudah lama sekali ingin pergi ke Tanah Suci. Kali ini ibu akan memakai uang itu untuk mewujudkan keinginan ibu," tegasku, menolak permintaan Damar.Sejak dulu aku selalu mengutamakan kehagiaan anak-anakku, lalu kenapa aku tidak bisa mewujudkan keinginanku satu-satunya? Padahal keinginanku cuma itu, dan itupun aku tidak merepotkan anak-anakku untuk mewujudkannya.Sekali saja. Sekali saja, aku ingin bertandang ke Tanah Suci. Hanya itu impianku di masa tuaku ini.Damar mendengkus kasar mendengar penolakanku, lalu dia langsung berdiri dari kursinya dengan kasar, hingga kursi yang didudukinya terlempar ke belakang. Kemudian dia berlalu pergi dengan langkah panjang. Sementara aku berjenggit kaget ketika mendengar suara keras kursi yang terlempar.Aku memandang sendu kepergian Damar. Rasa laparku seketika menghilang, hanya rasa perih di hatiku yang terasa sekarang ini, karena melihat putraku terlihat marah padaku. Aku tidak menyangka jika Damar akan menentang keinginanku untuk pergi ke Tanah Suci.Pov Dani. [Dan, bagaimana dengan nama 'Afnan Alfiansyah'? Bagus tidak? Ibu sudah berpikir panjang, tapi ibu bingung sendiri memikirkannya. Bagaimana dengan nama itu? Kalau kamu dan Nada kurang suka, kalian bisa mencari nama lain. Oh iya, nanti jangan tunggu ibu. Mulai saja acaranya tanpa ibu, mungkin ibu akan datang terlambat.]"Afnan Alfiansyah? Emm ... nama yang bagus," gumamku setelah membaca pesan dari ibu.Baru pukul tiga dini hari tapi ibu sudah mengirimkan pesan padaku. Tumben sekali. Apa beliau terjaga sepertiku? Entah kenapa putra kecilku rewel sekali malam ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu anteng dan tidak pernah rewel sama sekali. Aku pun heran dibuatnya. "Istirahatlah, Mas. Biar aku yang gantian menjaga anak kita." Suara Nada terdengar, aku pun menoleh ke arahnya. Wajah Nada terlihat pucat, dia pasti kelelahan karena menjaga putra kami sepanjang malam."Kamu saja yang istirahat, Dek. Kasihan kamu kalau tidak bisa beristirahat, tubuhmu pasti belum puli
Pov Author. "Masya Allah ... Tabarakallah, dia ganteng sekali, Dan. Dia benar-benar mirip denganmu," ucap Bu Ratmi memuji bayi mungil yang ada di dalam gendongannya. Netranya memindai wajah si bayi yang masih terlelap, tampak tidak terganggu dengan percakapan orang-orang di sekitarnya."Alhamdulillah, Buk. Dani sudah sangat bersyukur Nada dan bayi kami selamat. Dani sudah tidak tahu lagi bagaimana mengucap syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala," sahut Dani sembari menggenggam erat tangan sang istri yang masih terbaring di ranjangnya.Sementara Nada hanya bisa tersenyum melihat wajah sang suami yang terlihat sembab. Dia tahu sekali jika suaminya itu pasti sudah menangis sejak dia ditangani oleh dokter. Di dalam hati, Nada merasa sangat lega, tugasnya sebagai ibu baru saja dimulai. Putranya terlahir dengan sehat tanpa kekurangan apapun, walaupun sempat terjadi pendarahan padanya akibat terjatuh di kamar mandi. Dia merasa bersalah karena tidak berhati-hati saat ke kamar mandi. Andai t
Pov Author."Kenapa, Buk?" tanya Damar melihat sang ibu sedang memijit keningnya. Dia pun beranjak duduk di samping sang ibu."Eh ... nggak, Mar. Ibu nggak kenapa-napa," sahut Bu Ratmi. Dia hanya merasa pusing saja semenjak bangun dari tidurnya. Padahal selama ini dia jarang sekali sakit, tapi tidak tahu kenapa pagi ini setelah bangun tidur kepalanya terasa berat."Benar, Ibuk nggak apa-apa?" tanya Damar lagi memastikan jika sang ibu memang baik-baik saja.Bu Ratmi menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan, "Iya, Mar. Ibu baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir. Bukankah kamu tahu sendiri jika ibu jarang sekali sakit?""Iya, Buk. Damar hanya khawatir saja, wajah Ibu terlihat pucat, tidak seperti biasanya," sahut Damar sembari memindai wajah sang ibu yang terlihat pucat."Benarkah, Mar? Mungkin ibu masih kelelahan akibat perjalanan jauh kemarin," ucap Bu Ratmi sembari memaksakan senyumnya, berharap agar sang putra tidak perlu khawatir terhadapnya. Dia hanya merasa pusing bi
Pov Author Bu Ratmi melambaikan tangan pada anak-anaknya, dia baru saja pulang dari Tanah Suci. Setelah hampir satu setengah bulan dia menjalankan ibadah haji, kini dia telah kembali.Bu Ratmi berangkat ke Tanah Suci bersama dengan putra sambungnya. Dani menemani ibu sambungnya itu sebagai ganti Bu Risma, sang ibu kandung yang telah tiada dan belum mempunyai kesempatan untuk bertandang ke Tanah Suci. Sementara Nada berada di rumah, tidak bisa ikut dengannya, mengingat usia kandungannya yang sudah mendekati waktu lahiran. Tapi Nada tidak sendirian di rumah, Dina diminta Bu Ratmi untuk menemani menantunya itu. Dia takut jika terjadi sesuatu dengan Nada sementara sang suami tidak ada di rumah.Damar dan Dina menjemput ibu mereka dengan wajah yang semringah. Terlihat dari wajah mereka yang sangat antusias menyambut kedatangan sang ibu. Ada sorot kerinduan yang terpancar dari keduanya setelah hampir satu setengah bulan tidak melihat wajah sang ibu."Ibu ...!" seru Dina sembari berlari ke
"Ada apa, Buk? Dari tadi Ibu tidak menyentuh makanan Ibu sama sekali," tanya Dani membuatku menoleh ke arahnya.Aku menerbitkan senyum ke arahnya. "Tidak apa-apa, Dan. Hanya saja hari ini ibu bahagia sekali. Kita bisa berkumpul semua di sini dengan keadaan yang jauh lebih baik. Melihat kalian semua berkumpul dan akur seperti ini sudah membuat ibu bahagia, rasanya makanan yang tersedia sekarang ini tidak bisa menandingi rasa bahagia di hati ibu."Netraku berkaca-kaca, tidak pernah aku bayangkan hari ini akan tiba, hari di mana kami semua berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Ada Damar yang sudah sembuh dari luka-luka yang dideritanya dan ada juga Feni, Dina pun duduk manis di sampingku. Sementara kehadiran Dani dan Nada melengkapi kebahagiaan keluarga kami. Aku bahagia, bahkan sangat-sangat bahagia.Kami sedang makan malam di rumahku yang dulu, kini aku telah kembali tinggal bersama dengan Damar dan juga Dina. Damar memintaku kembali untuk tinggal bersamanya setelah dia keluar dari rum
"Berikan ibu waktu, Din. Semua yang terjadi saat ini membuat hati ibu sangat terguncang. Ibu sudah memaafkanmu dari lama, tapi untuk menyembuhkan luka di hati ibu, itu butuh waktu, Din." Aku menatap manik hitam legam milik putriku dalam.Dina menundukkan kepalanya mendengar ucapanku, air matanya pun jatuh kembali. Bahu ringkihnya tampak berguncang bersamaan dengan lolosnya isak tangisnya lagi. Dia menangis lagi, suara isak tangisnya terdengar memilukan.Allah ... rasanya aku sudah tidak kuasa lagi melihat putriku menangis seperti itu. Aku ingin memeluknya, mendekapnya agar tangisnya mereda.Tanganku perlahan terulur meraih tubuh ringkih putriku itu ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya, mendekap putri yang pernah menyakiti hatiku itu dengan erat. Setelah memeluknya, kini dia seperti kembali menjadi kecilku lagi, saat dulu dia menangis tersedu karena sang ayah telah meninggalkannya di usia yang masih belia.Hatiku terenyuh, rasanya aku telah menemukan kembali putri kecilku yang telah lam