POV BimaAh sial! Kenapa apes sekali nasibku? Bodoh! Bodoh! Laki-laki bodoh! Sudah mendapat berlian, malah disia-siakan. Susah payah mendapatkan perempuan baik seperti Divya, sekarang malah kacau, gara-gara terlalu serakah! Huft, lelah rasanya merutuki diri. Gara-gara salah sendiri. Apakah Ibu sudah tau, kalau aku sekarang dipenjara? Pasti hatinya sangat hancur kalau tau semuanya. Susah payah aku dulu bisa diterima bekerja di kebun Pak Chandra, Bapak mertuaku. Dia mencari orang yang bisa benar-benar dipercaya karena dia jarang ada di kebun. Dan aku datang di saat yang tepat, kebetulan aku seorang sarjana akuntansi. Maka Pak Chandra mempercayakan aku untuk mengurus keuangan kebun. Artinya, pemasukan dan pengeluaran aku yang catat semua. Ya meski pada awalnya, aku juga harus bekerja layaknya pekerja kebun lain. Aku sejak dulu, memang suka gonta ganti pasangan. Kata teman-temanku aku ini playboy. Sampai saat aku berkunjung kerumah Pak Chandra untuk pertama kalinya, aku bertemu Divya d
#Mengantar surat ceraiAku segera mendorong tubuh Mas Bima. Dia tiba-tiba memelukku dengan sangat erat. Aku dan dia bukan suami istri lagi. Lagipula aku terlanjur jijik dengan dia. Kalau bukan karena ingin mengantar langsung surat cerai ini ke tangannya, aku tak akan mau bertemu dengan laki-laki maniak yang culas ini. Aku sengaja mengantar surat ini langsung padanya. Biar dia tak lagi datang menggangguku. Bisa saja kan, dia mengaku tak pernah menerima surat cerai. Laki-laki seperti dia, bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.Dia terhuyung ke belakang, tangan kanannya berusaha menggapai pinggiran meja. Namun terlambat, dia akhirnya jatuh terjengkang. Dia masih sulit menjaga keseimbangan, karena betisnya yang sebelah kiri masih sakit akibat tembakan dari polisi, karena dia hendak melarikan diri malam itu. Hatiku sudah mati rasa terhadapnya. Tak ada rasa kasihan melihatnya seperti itu. Dia yang sudah membunuh rasa itu. Jadi jangan menyalahkan aku, kalau aku ta
Membawa Bunda ke kampungMasih lagi aku mau buka mulut, hapeku berdering. Segera kulihat dulu, siapa tau penting. Ternyata dari Bulek Ratmi. Barangkali mereka sudah kelamaan menunggu. Hingga Bulek merasa jenuh."Halo, assalamualaikum Bulek," salamku."Waalaikum salam. Kenapa lama sekali?" tanya Bulek."Sebentar Bulek. Divya otw ya," jawabku. Segera kuputuskan panggilan. Agar tak makan waktu lebih lama lagi."Om, Divya harus segera ke rumah sakit sekarang," kataku pada Om Anton seraya memasukkan hapeku ke dalam tas. "Tunggu dulu. Apa yang kamu maksud, Rafika?" tanya Om Anton. Ternyata Om Anton juga mengenal Bunda."Iya Om. Om kenal sama Bunda?" tanyaku."Kenal. Kenal sekali malah. Dia dulu bekerja di warung sebelah, waktu masih gadis. Dia bisa kenal dengan Hendra, karena Om mengajak Hendra makan di warung itu," ungkap Om Anton. Aku jadi tertarik mendengarnya. Barangkali dari sini, aku bisa cari keluarga Bunda. Yang tentunya keluargaku juga. "Om tau, kalau Divya anak kandung Bapak Hen
#Bunda enggan diobati oleh Ustad MahmudNamun aku diam saja. Terkesan tidak sopan kalau aku mengungkapkan di depan Ustad Mahmud, kalau aku tak setuju dia turut mengobati Bunda. Ustad Mahmud yang tadinya duduk di sofa, bangkit mendekati Umi. Dia duduk tepat di hadapan Bunda, memandang dengan seksama wajah Bunda yang layu. "Ibu. Ikhlas," kata Ustad Mahmud lembut pada Bunda. Entah apa maksudnya? Bunda menangis. Air mata tampak jelas merembes dari sudut matanya yang sayu. Aku agak terkesiap. Kenapa hanya mendengar satu kata saja membuat Bunda jadi seperti itu? Tangisannya bikin iba siapa yang melihat meski dia tak meraung. Bunda terlihat seperti menyimpan beban luka yang sangat perih. "Saya tau, nggak mudah. Tapi hanya akan menyiksa batin Ibu sendiri. Ikhlaskan semua. Ini sudah ketentuan Allah," nasehat Ustad Mahmud. Bahu Bunda justru semakin kuat berguncang. Entah kenapa? Lagi. Aku ikut mengeluarkan air mata. Aku seolah bisa merasakan keperihan hati Bunda. Bunda menggeleng lemah. A
#Arsen demamAku sangat lega setelah mendapat pencerahan dari Ustad Mahmud. "Terima kasih penjelasannya Ustad. Semoga Bunda mau diobati dengan terapi ruqyah Ustad." "Sama-sama. Terus motivasi Ibu Rafika. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Termasuk yang dialami Bu Rafika. Jadi jangan putus asa. Saya juga hanya bisa membantu semampu saya. Bagaimana hasilnya nanti, biar Allah yang menentukan," kata Ustad Mahmud. Begitu merendahnya beliau."Ya Ustad. Saya mengerti," sahutku. "Kapan saja kalau perlu bantuan saya, hubungi saja. Nomor istri saya ada sama Bu Rajasa. Jam berapapun, walau tengah malam sekalipun. Insha Allah, saya datang. Kalau bisa, bila Bu Rafika sudah mau diterapi. Sebaiknya beliau dirawat di rumah saya. Biar bisa terus saya pantau," saran Ustad Mahmud.Sarannya ada benarnya juga. Sakit Bunda sudah semakin parah, bisa saja sewaktu-waktu dia drop. Siapa tau, melalui Ustad Mahmud, Allah menyembuhkan Bunda. Kalaupun Allah berkehendak lain. Aku ikhlas. Hanya saja … hatiku tetap
POV RafikahMaafkan Bunda Divya. Sesungguhnya, Bunda sangat ingin memeluk erat Divya. Mencium Divya, seperti saat Divya kecil. Bunda sengaja bersikap jutek, agar saat Bunda pergi lagi nanti, Divya tak akan merasa kehilangan. Divya tak tau kan, selama ini Bunda selalu memantau Divya, lewat Ratmi? Bunda tau semua cerita tentang Divya dari Ratmi. Setiap kerinduan Bunda pada Divya, Bunda tuliskan lewat sebuah tulisan. Kalau dulu, Bunda hanya menuliskan semua di sebuah buku saja. Tapi sekarang, Bunda menuliskannya menjadi sebuah karya. Ada yang Bunda jadikan novel untuk menyambung hidup, ada juga yang Bunda jadikan koleksi pribadi Bunda saja. Dulu, saat akhirnya Bunda terpaksa meninggalkan Divya atas permintaan si Tuan Tanah kejam! Hati Bunda hancur, Nak. Bukan hanya tentang kehilangan Divya, tapi juga suami Bunda. Meninggalnya Bapak kandung Divya, berhasil membuat dunia Bunda terasa jungkir balik. Hingga akhirnya Bapak Chandra berhasil membangkitkan semangat Bunda lagi. Dia menawarkan
POV RafikahIngin sekali rasanya Bunda menceritakan semua ini langsung pada Divya. Tapi Bunda tak ingin Divya menjadi seorang pembenci seperti Bunda, Nak. Kebencian ini sudah mengakar kuat di hati Bunda. Mungkin karena Bunda juga sudah mengundang setan untuk menolong Bunda. Bunda sangat sakit hati sekali dengan perbuatan Tuan Rajasa yang terhornat itu! Bunda menemui Mang Pur, dan memintanya untuk melakukan sesuatu agar keluarga Rajasa tak bisa memiliki keturunan yang lain selain kamu. Bunda serahkan semua urusan padanya. Mang Pur mengenal seorang yang dianggap sakti di kampung. Yang lebih dikenal, sebagai Dukun. Bunda hanya membekali dia ongkos untuk pulang kampung dan syarat yang dia minta. Dia hanya minta biodata lengkap Bapak Chandra. Awalnya Bunda tak mengerti. Bunda ingin dia melakukan sesuatu untuk kakekmu, bukan dengan Bapak Chandra. Tapi dia meyakinkan Bunda untuk bermain halus, agar tak ada yang curiga. Dan tujuan Bunda juga tercapai. Caranya, dengan membuat kejantanan ba
#Bunda bersedia diobatiYa Allah. Arsen semakin panas dan rewel. Tadi kata bidan, gapapa. Arsen hanya demam. "Cup cup Sayang." Aku mencoba membuat Arsen tenang. Ini sudah larut malam. Takut mengganggu istirahat yang lain, terutama Bunda. "Divya!" Bulek memanggilku dari luar kamar. "Nopo Are, Ndok?" Nenek juga terbangun. Suara tangisnya Arsen sangat menggelegar, jelas saja terdengar kemana-mana. Kubuka pintu kamarku. Nenek dan Bulek segera masuk, disusul Bik Sum."Nopo Arsen?" tanya Nenek sambil memegang pipi Arsen."Oalah, anget banget! Sum, gawe minyak bawang. Kasih air jeruk nulis." Nenek terkejut mendapati suhu tubuh Arsen yang panas dan meminta Bik Sum membuatkan minyak bawang. Bik Sum.bergegas keluar, sementara aku masih sibuk menenangkan Arsen yang terus rewel. Tubuhnya tak bisa diam di gendonganku, seolah dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Bik Sum datang kembali membawa sebuah piring kecil berisi minyak bawang."Sini, Arsen sama Uyut yo Ngger." Nenek mengulurkan tan