Pagi hari sebelum putus dengan Mala.
Alif terbangun dari tidurnya dengan kepala yang sangat sakit. Dengan pelan diraihnya selimut berniat melanjutkan tidurnya. Namun gerakannya tertahan, karena tanpa sengaja tangannya malah meraba sesuatu yang sangat halus dan lembut. Dengan menahan denyutan yang semakin kuat dikepalanya, lelaki tampan itu mencoba membuka matanya lebar-lebar dan sesuatu yang sangat membuatnya terkejut terbentang di depan matanya. Disampingnya, seorang perempuan tertidur dengan sangat pulas. Tanpa pakaian selembar benang pun. lalu dengan syok, diapun melihat keadannya yang tidak berbeda dengan perempuan itu. Tak cukup sampai disitu saja, yang lebih mengejutkan lagi adalah, wanita disebelahnya ternyata Rena.
Alif menjambak rambutnya dengan frustasi. Apa yang sudah dilakukannya? Dosa apa yang telah dilakukannya semalam? Kejahatan apa yang telah diperbuatnya terhadap perempuan disampingnya itu?
Samar-samar muncul kejadian semalam dikepalanya.
Menjelang tengah hari, saat hujan sudah reda diputuskannya untuk kembali ke penginapan Setibanya di penginapan, dihempaskan tubuhnya dengan kasar di sofa yang ada dikamar itu. Mengusap wajah yang mulai dibasahi air yang tidak mampu ditahannya untuk tidak keluar dari matanya. Kehilangan,.... Yach,... itulah yang sekarang dirasanya. Cinta yang mati-matian diperjuangkannya, kini harus berakhir dalam waktu singkat. Wanita yang setengah mati disayanginya, kini harus dilepasnya dengan cara tragis."Lif..." Suara Rena menyadarkannya. Buru-buru dihapusnya air mata yang mengalir.Wanita itu keluar dari kamar mandi dengan sedikit tertatih. Ditelusurinya penampilan wanita didepannya itu dengan seksama. Bibirnya tampak sedikit pucat, matanya juga memerah. Mungkinkah gadis itu baru saja menangis melihat bagaimana keadaannya bangun tidur? Matanya juga menangkap jejak-jejak merah yang memenuhi leher putih yang terpampang di depannya.Alif membuang pandangannya berusaha menetra
Pagi ini hujan Kembali turun mengguyur bumi dengan sangat derasnya. Rasanya, jika tidak terpaksa sangat malas rasanya untuk bangkit dari tempat tidur sambil memeluk guling berbungkuskan selimut tebal. Namun, hari ini, karena jadwal kuliah dengan dosen yang sangat galak, maka Mala terpaksa bangun dan meninggalkan kenikmatan di tempat tidurnya.Hatinya masih sangat galau. Tangisannya masih belum sepenuhnya hilang. Namun, dia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan itu. Hari ini, dia akan menjadi Nirmala seperti hari-hari sebelum luka itu terjadi. Mala yang selalu ceria. Mala yang selalu tersenyum dan membawa keceriaan bagi orang-orang sekitarnya. Luka itu, biarlah akan disimpannya di dalam hati. Bohong, jika dikatakan dia tidak terpuruk, namun berlarut-larut dalam masalah itu hanya akan membuat hatinya semakin sedih. Dia berencana akan menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan kampus guna membantunya untuk Kembali menata hati.Ia mulai m
Dan disinilah mereka bertiga berada, duduk menghadap meja yang sama. Tampak sekali kecanggungan diantara ketiganya. Mala, sebenarnya tidak tahu harus mulai dari mana, rencana yang tadi telah disusunnya dengan matang tiba-tiba sirna saat kedatangan Alif. Lelaki itu masih seperti biasa tampil dengan pesona yang luar biasa. Walaupun dia datang dengan penampilan yang sedikit kusut, mata merah dan rambut yang tak serapi biasanya, namun tak bisa mengurangi ketampanannya. Sejenak Mala kembali terbuai, namun cepat-cepat ia sadar, bahwa tak ada gunanya mengagumi ketampanan itu lagi. “Duduklah ! Aku sudah pesan makanan, seperti biasa, makanan kesukaanmu.” Sapa Mala berbasa-basi. “Makasi Mala.” Jawaban yang singkat. Alif mendudukkan dirinya dikursi tepat dihadapan Mala. Ditatapnya Mala yang sengaja menghindari menatapnya dengan sibuk mengutak atik ponselnya. Ingin menyapa wanita itu, namun tak tahu harus memulai dari ma
Sudah sebulan berlalu semenjak pertemuan terakhirnya dengan Alif dan juga Rena tempo hari. Seperti tidak terjadi apa-apa, Mala tetap beraktivitas seperti biasanya. Bahkan Lusi, yang merupakan teman sekamarnya pun tidak diberitahunya tentang kisahnya yang telah berakhir dengan Alif maupun Reza. Bicara soal Reza, setelah pertemuan mereka malam itu, sepakat mengakhiri hubungan singkat mereka dengan baik-baik, mereka juga tidak pernah bertemu dan berkomunikasi lagi. Mala bersyukur dengan tidak perlu repot-repot lagi menampilkan wajah sok tegar di depan semua orang yang telah menorehkan luka dihatinya. Namun tidak dengan Rena. Bagaimana juga, mereka masih satu tempat tinggal. Sangat sulit baginya untuk terus-terusan menghindar, apalagi beberapa hari belakangan ini dilihatnya Rena sedikit agresif untuk mendekatinya. Entah apa tujuannya, sepertinya dia ingin sekali bertemu dengan Mala dan bicara dengan sahabatnya itu. Mala memang sengaja tidak memberi celah Rena untuk
“Mala, apa tidak bisa dipertimbangkan lagi keputusanmu untuk pindah ini?” Malam itu Lusi Kembali berusaha membujuk Mala agar tidak pindah dari tempat yang beberapa tahun ini telah mereka tempati bersama. Rasanya sangat tidak rela melepas sahabat sebaik Mala. “Tidak bisa Lusi. Aku sudah membayar panjar ke pemilik kost yang baru itu. Dan besok, aku akan segera menempatinya.” “Kamu tega banget sih sama aku?” rayu Lusi dengan nada menghiba. “Hehehe…. siapa juga yang tega. Aku sudah ngajak kamu pindah, tapi kamu tidak mau.” Mala menjawil hidung Lusi gemas. “Aku bukannya tak ingin ikut denganmu, Mala. Tapi sayang saja, uang kontrakan sudah kulunasi sampai akhir tahun, jika pindah sekarang, aku rugi banget. Masih tinggal enam bulan lagi.” “Iya juga sih. BUkannya kita sama, sudah membayar kontrakan di awal untuk satu tahun kedepan.” Mala tersenyum. “Aku pindah juga karena terpaksa. Tidak kuat hatiku jika bertahan semakin lama di sini.”
Enam bulan kemudian…. Mala tersenyum puas sekembalinya dari ruangan dosen guna pamit dan bersalaman. Hal itu karena ijazah dan transkrip nilainya sekarang sudah ada di tangan. Sekarang, saatnya dia menggunakan ijazah itu untuk memulai peruntungannya dengan melamar pekerjaan sebagai akuntan yang selama ini sangat diimpi-impikannya. Dia tahu, ini semua baru awal dari perjalanan masa depannya di fase yang baru. Masa-masa menjadi mahasiswa telah berakhir, sekarang saatnya ia akan terjun ke dunia kerja. Mengabdikan ilmunya untuk masyarakat. “Nirmala…,” sebuah suara menghentikan langkahnya saat Mala hendak menuju parkiran. Dibelakangnya, seorang wanita setengah baya yang notabene adalah salah seorang dosennya tengah berdiri disana dan menatapnya hangat. “Ibuk memanggil Saya?” tunjuk Mala pada dirinya sendiri. Dosen itu tersenyum dan menganggukkan kepala. “Bisa bicara sebentar?” tanya dosen itu ra
“Mala, bisa kamu tolong antarkan laporan ini ke ruangan Pak Manajer? Aku benar-benar tidak berani menghadapnya. Kemaren saja, aku dibantai habis karena salah mengetik laporan bulan kemaren?” Retno, teman satu ruangannya mendekati Mala yang sedang asyik mengetik laporannya di komputer. Mala tersenyum, satu tahun bergabung dan bekerja di perusahaan ini, dia sudah sangat mengenal karakter temannya satu persatu. Apalagi Retno, dia sangat lembut sehingga jika ada bentakan dari atasan, akan membuatnya langsung down. Seperti halnya yang terjadi beberapa hari lalu, saat ia memberikan laporan yang diminta oleh Manajer Keuangannya. Sebenarnya, kemarahan atasannya itu masih termasuk wajar. Pemicunya dalah karena rekannya itu kurang teliti dalam menginput data, menyebabkan selisih yang sangat besar di bagian akhir penjualan. Tentu saja sang manajer yang sangat teliti itu langsung marah besar. Tidak teliti saat menginput data dalam menyajikan laporan, tentu saja bisa mer
Siang ini, ruangan Mala tampak tidak ada banyak suara. Wajar saja, hari ini adalah akhir pekan, mereka semua sangat bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaan, sehingga bisa menikmati weekend tanpa harus diganggu dengan masalah pekerjaan. Keheningan itu terus berlangsung sampai beberapa saat kemudian seruan dari seseorang mengagetkan mereka.“Nirmala! staf keuangan!” Salah seorang office boy datang memasuki ruangan mereka, sambil membawa beberapa bungkusan makanan. Lalu menyerukan nama yang tertera dalam paket yang dibawanya itu.”Mala menoleh dan menatap bingung pada office boy itu. Perasaan tidak ada memesan makanan. Gadis itu melempar pandangannya satu persatu pada empat orang rekan kerjanya yang ada dalam ruangan itu. Mereka semua mengangkat bahu pertanda tidak tahu apa-apa.“Paket dari siapa, Pak?” tanya Mala kemudian.“Nggak tahu juga, Dek Mala? Tadi ada yang ngantar mak