"Mantu kesayangan Mama cantik sekali!" sapa Mama Bagas saat Kara muncul di hadapannya dengan senyuman ceria, menyembunyikan rasa kesalnya pada Bagas dan merubah mood dalam waktu sekejap adalah keahliannya sekarang. "Mama juga cantik banget hari ini, ini keluaran barunya Tristan Thomas ya Ma?" tanya Kara sambil menunjuk dress yang Mama Bagas pakai. Senyum Mama mengembang, "Wah kamu update sekali ya! Emang cocok banget kita!" sahut Mama Bagas sambil menggandeng tangan Kara mengajaknya ke dalam Williams Bridal, bahkan Bagas pun tak dihiraukannya. Di belakang mereka Bagas mengikuti dengan senyum kecil, ia tak menyangka Mamanya bisa se sayang itu dengan Kara, si mantu palsu. "Gak bohong memang nih Mamsye, menantunya memang cucok meong!" tukas seorang asisten designer saat melihat Kara berdiri di depannya, Kara tersenyum malu. Ternyata Mama mertuanya memujinya di belakangnya, itu mengharukan sekali! Ia jadi langsung sayang dengan Mama mertuanya. Beberapa meter darinya, Bagas juga sedan
Bagas dilanda rasa bingung, harus menerima panggilan dari Thalita atau tidak. Ia melirik Kara yang masih berpaling menatap keluar jendela. "Angkat aja Gas, sama aja kamu angkat sekarang atau nanti di belakang saya, gak ada bedanya, saya gak peduli juga," tukas Kara tanpa menoleh. Bagas menelan ludah, merasa galau. Bagas saja bingung kenapa dia harus galau, padahal kan biasanya ia tak peduli dengan perasaan Kara. Aneh. Karena terperangkap di situasi seperti itu, akhirnya Bagas menerima panggilan dari Thalita yang sudah meneleponnya sampai lima kali. "Halo?" sapa Bagas pelan. "Kamu sibuk ya? Kok aku telepon berkali-kali gak diangkat?" suara Thalita terdengar di speaker mobil. Bagas melirik Kara yang masih betah melihat ke arah jendela, padahal sesungguhnya leher Kara sudah terasa sangat pegal. "Lumayan, kenapa Tha?" tanya Bagas datar. "Minggu depan jadi kan ke Bali? Soalnya aku mesti nyocokin schedule," jawab Thalita ringan, ia sama sekali tak tahu jika Bagas sedang bersama Kara,
Kara dan Bagas berjalan bersisian, Bagas mendorong troli sementara Kara sibuk memasukkan belanjaan ke dalamnya. Mereka berdebat antar harus membeli sayuran organik atau sayuran biasa. Bagas ngotot ingin sayuran organik, sementara Kara tidak mau, karena ia sering menjumpai banyak ulat di sayuran organik. Setelah selesai berbelanja, mereka mengantri di kasir. Mereka mengobrol ringan membicarakan masalah ringan mengenai apakah susu almond lebih bagus dari susu sapi segar, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Untuk sejenak, Kara lupa bahwa tadi ia sedang agak kesal dengan Bagas. Dan Bagas bahkan lupa, jika mereka sedang berada dalam pernikahan bohongan, karena semua yang terjadi terasa nyata. Sampai di Penthouse, Kara bergegas membereskan belanjaan dan memasukannya ke dalam kulkas. Bagas yang biasanya langsung masuk ke kamar, memilih untuk membantu Kara. "Wah baru jam enam ternyata," tukas Bagas yang mengira sekarang sudah malam hari. Kara mendengus, namun tak berpaling dari kegi
Dua minggu kemudian, Kara baru saja kembali dari lari pagi saat ia berpapasan dengan Bagas yang sedang keluar kamar dengan sebuah koper ukuran sedang di tangannya. "Mau kemana?" tanya Kara terkejut, karena Bagas tidak memberitahu apa-apa. Bagas berhenti di depan Kara, "Umm saya ada kunjungan ke Bali," jawab Bagas dengan ragu-ragu. "Oh," jawab Kara sambil mengangguk, lalu ia teringat telepon dari Thalita dua minggu yang lalu, yang menanyakan pada Bagas mengenai jadi atau tidaknya Bagas pergi ke Bali. Hatinya mencelos seketika. Ia langsung memalingkan pandangannya dari Bagas. "Kamu gak pa pa kan di Penthouse sendirian?" tanya Bagas canggung. Kara menaikkan alisnya dengan cepat, "Ga masalah," sahut Kara sambil melewati Bagas menuju dapur dan mengambil sebotol San Palegrino dari kulkas lalu meneguknya cepat-cepat seperti orang kehausan, padahal ia hanya sedang merasa sangat tidak nyaman dengan perasaannya.Rasanya Kara ingin mengatakan pada Bagas kalau ia tau Bagas akan bertemu dengan
"Kamu kenapa gak jadi ke Bali?" tanya Kara setelah pulih dari keterkejutannya. Bagas tak menjawab, ia menarik tangan Kara dan mengajak Kara pergi tanpa kata-kata. Kara menahan Bagas sekuat tenaga. Bagas menatap Kara tak mengerti, "Kenapa? Kamu masih betah berduaan sama Gavin?!" bentak Bagas dingin. Kara melotot, "Bukan begitu! Tapi tas dan laptop saya masih di dalam sana!" sahut Kara seraya menunjuk ke arah Coffee Shop. "Ini Kar," tiba-tiba saja Gavin sudah muncul dengan tas tangan dan tas laptop Kara. Bagas langsung merebutnya dengan kasar. "Gak usah sok akrab! Gak cukup nyokap lo ngerebut bokap gue? Sekarang lo mau ngerebut bini gue juga?" sentak Bagas dengan nada dingin. Kara mendelik, ia tahu keributan akan segera terjadi. Dengan gerakan cepat ia menarik tangan Bagas dan mengajak Bagas menjauh dari Gavin yang menatap dengan rahang mengeras. "Lepasin tangan saya!" sentak Bagas seraya melepaskan tangannya dari Kara. Kara yang terkejut langsung diam. "Ini terakhir kali ya saya li
Kara membuka matanya di pagi hari dengan perasaan menyesal. Betapa konyolnya apa yang ia lakukan kemarin. Untuk apa ia bermain jawab cepat dan menyuruh Bagas memilih antara dirinya dan Thalita, sungguh konyol! Dengan gusar Kara memukul kepalanya sendiri, merasa sangat bodoh. Ia rasanya enggan bangkit dari tidur dan tak berniat melangkah keluar kamar, ia tak ingin bertemu Bagas. Ditambah sekarang adalah hari Sabtu, yang artinya Bagas libur dan mungkin akan berada di Penthouse seharian. Kara sudah mandi dan berganti pakaian, tapi ia belum berani beranjak keluar kamar sama sekali. Ia bisa saja bertahan di dalam selama-lamanya, tapi perutnya terasa lapar sekali. Akhirnya pada pukul dua siang Kara menyerah. Dengan sangat perlahan Kara membuka pintu kamarnya, ia mengintip, melihat ke kanan dan ke kiri, tak ada siapapun. Kara melangkah berjinjit menuju dapur, membuka kulkas dengan perlahan, rencananya ia akan mengambil beberapa makanan dari lemari dan kulkas lalu kembali menuju kamar. Na
Kara dan Bagas berjalan dengan tergesa menyusuri lorong rumah sakit yang tampak agak lengang. Sesekali Kara melirik wajah Bagas yang terlihat sangat khawatir. "Ma! Papa Gimana?!" tanya Bagas begitu bertemu dengan Mama nya. Kara berdiri di sebelah Bagas, menunggu jawaban Mama mertuanya. Mama Bagas yang terlihat seperti baru saja menangis, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan nya perlahan. "Papa ada di ruang ICU, sekarang kondisinya masih belum stabil," jawab Mama berusaha terdengar tabah. Setelah mengetahui suaminya pernah berselingkuh hingga memiliki seorang anak seumuran Bagas, yaitu Gavin, membuat Mama Bagas agak menjaga jarak dengan suaminya. Rasanya sulit untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa walaupun perselingkuhan tersebut terjadi berpuluh tahun yang lalu. Fakta yang lebih membuat Mama Bagas merasa sakit hati adalah fakta bahwa suaminya masih berhubungan dengan sangat baik dengan Ibu Gavin. "Kalian tolong jaga disini dulu ya, Mama mau pulang dulu," tukas Mama sam
Kara kembali ke depan ruang ICU dan tak mendapati Bagas, ia mencari-cari Bagas dimana-mana namun masih tak menemukannya. Dengan rasa penasaran Kara mengambil ponselnya dari dalam tas dan mencoba menghubungi Bagas, tak diangkat. Kemana Bagas? Jangan-jangan Bagas melihat Kara waktu Kara sedang mengobrol dengan Gavin di Coffee Shop? Jangan-jangan Bagas marah dengan Kara? Segala pikiran buruk melintas di kepala Kara. Entah mengapa ia merasa sangat takut jika Bagas marah dengannya. Saat ia sedang merasa cemas, Bagas muncul dari kejauhan, membuat Kara langsung berlari menghampirinya. "Kamu dari mana? Kamu gak marah kan?!" tanya Kara dengan agak terengah karena habis berlari. Bagas mengernyitkan dahi, "Marah kenapa? Saya dari toilet," jawab Bagas bingung karena wajah Kara terlihat panik. Kara menarik nafas lega, sepertinya Bagas tidak melihatnya mengobrol dengan Gavin. "Oh iya Itu kopi kamu disitu," tukas Kara sambil menunjuk ke arah kursi ruang tunggu yang berada di jarak beberapa mete