Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat.
Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi.
“Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya.
Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya.
“Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras.
Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan.
“Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan tablet yang berisi daftar lagu kepada Zoe, dan Zoe bersyukur karenanya. Ia bisa memilih lagu yang sangat dikuasinya.
“Oh… Aku suka pilihanmu… Selera musikmu lumayan.” Wolf menepuk pahanya dengan puas.
Zoe memilih lagi dengan beat RnB pelan, lirik nakal dan sensual. Sangat cocok dengan suasana. Lagu itu kurang terkenal, tapi Zoe menyukainya. Ia bisa bergerak lebih bebas saat diiringi lagu itu.
Zoe sejenak memejamkan mata, selain menangkan diri. Mencoba untuk melupakan dunia di sekitarnya. Satu-satunya cara agar ia bisa membuka pakaian tanpa malu nantinya.
Telinga Zoe menunggu ketukan lagu, lalu menaiki meja itu. Sambil berpegangan pada tiang, Zoe mulai meliuk seirama lagu, menekuk kedua lutut, membuka kakinya dan mengelus tubuhnya dengan menggoda. Membungkuk dan menggeliat.
Matanya tidak melepaskan tatapan dari Wolf, mengedip perlahan dengan sayu. Pria itu perlahan melupakan cerutunya, sampai abu menumpuk di ujung.
Napasnya tertahan saat melihat Zoe melepaskan jubahnya dengan gerakan pelan. Wolf tersenyum, menyukai apa yang dilihatnya. Dan senyumnya semakin lebar saat Zoe turun perlahan lalu mengulurkan kakinya, menumpu pada kursi---tepat di antara kedua pangkal paha pria itu.
“You’re a sly fox…” Wolf menggeram dengan suara yang semakin dalam. Sementara tangannya bergerak menurunkan boot yang dipakai Zoe, keduanya.
Tapi saat Wolf ingin menyentuh, Zoe menghindar dan kembali melompat ke atas meja, menggelayut dan berputar pada tonggak.
Dengan kaki yang masih mengait tiang, Zoe mencondongkan tubuhnya, memutar menunjukkan punggung. Tempat dimana tali bikininya berada. Wolf juga mengerti apa tugasnya. Ia menarik tali itu sampai terurai.
Tapi Zoe tidak membiarkan potongan bikini itu jatuh, ia memegang bagian depan, sengaja membuatnya tetap tertutup. Dan tentu membuat Wolf mendesah kecewa.
Zoe tersenyum. Rayuannya berhasil. Pria itu bereaksi sesuai keinginannya. Ini saatnya memberi lebih.
Zoe memutar tubuhnya beberapa kali di tiang, lalu turun dari meja itu, berdiri di hadapan Wolf, lalu menurunkan potongan kain itu.
Zoe bahkan bisa mendengar helaan napas Wolf, saat matanya menikmati apa yang dinantikannya sejak tadi. Tapi saat tangannya terulur, Zoe meraih tangannya sambil menggeleng.
Wolf terlihat ingin marah, tapi kerutan dikeningnya berubah menjadi desahan, saat Zoe mulai mengecup telapak tangannya. Menggigit ringan, dan menjilat telunjuknya.
Zoe mengangkat kedua tangan itu, tidak melepaskan, sementara berbalik lalu perlahan membawa tubuhnya duduk di pangkuan Wolf. Memunggungi.
Namun, Zoe terpaksa melepaskan tangan itu, dan tersentak saat merasakan sentuhan di punggungnya. Wolf memakai hidung untuk mengelus punggungnya. Godaan itu seharusnya membuat Wolf sensitif, tapi Zoe terbawa suasana.
Kedua tangan Wolf yang kini bebas, meremas pinggang Zoe yang juga sudah ikut merayu. Bergerak mengelus, sampai Wolf menarik tali celana bikini itu. Gerakannya begitu cepat, sampai Zoe tidak mampu mengikuti saat Wolf menarik celana itu dan melemparnya sampai jauh.
"Kau milikku malam ini..." Wolf berbisik di telinga Zoe, lalu mengangkat tubuhnya. Membalik tubuh Zoe sampai duduk menghadapnya.
Keadaan dimana kedudukan berbalik. Zoe tidak lagi bisa memegang kendali. Pria itu dengan bebas membawa bibirnya menjelajah, membuat Zoe menggeliat dan menggelinjang dengan gigitan dan kecupan.
Zoe memejamkan mata, berusaha untuk melawan godaan itu. Ini pertama kalinya Zoe sampai bekerja keras seperti ini. Biasanya, seperti apapun tamunya menggoda, Zoe akan melawan balik.
Tapi sentuhan Wolf adalah profesional. Membuat Zoe mempertanyakan berapa banyak wanita yang pernah berbagi ranjang dengannya. Tipe yang seharusnya dihindari, tapi Zoe membutuhkannya. Ia akan menjadi salah satu wanita itu malam ini.
Zoe menyapukan tangannya pada leher Wolf, lalu membuka semua kancing kemejanya. Tato berwarna hitam yang terlukis di atas dada kekar masuk dalam pandangan Zoe, tapi ia harus kembali memejamkan mata.
Jari dan bibir pria itu kembali membelainya. Zoe mendesah, saat Wolf berdiri, dan mendorongnya ke atas meja. Zoe merangkul leher Wolf, menarik turun wajahnya, tapi Wolf menahan kepala Zoe.
"Bibirku bukan untukmu... Kau hanya boleh menikmati ini..." Wolf mendeskkan tubuhnya, dan Zoe memekik.
Tapi rasa pedih itu sangat sebentar. Pria itu dengan mudahnya menuntun nafsu dan gairah Zoe yang sudah lama mati, membawanya menikmati hal yang tidak pernah diinginkannya lagi---seharusnya.
Zoe merasa dirinya lebih hidup saat kepuasan itu menyebar ke seluruh tubuhnya---entah untuk yang keberapa kali. Zoe tidak lagi bermimpi untuk melawan setelah itu. Ia pasrah mengikuti kemana tangan Wolf membawa, sampai akhirnya pria itu meremas tubuhnya dalam kenikmatan yang sama.
***
Zoe tidak ingat kapan ia berpindah ke kamar yang memang menjadi bagian ruang VVIP. Yang pasti ia sudah ada di sana saat membuka mata. Zoe memandang ke samping, dan tampak Wolf sedang memakai celananya.
Zoe kini bisa melihat lebih jelas. Tubuh pria itu hampir seluruhnya tertutup tato. Sepasang sayap besar di punggung, bunga di lengan, dan beberapa kata tertulis dalam tulisan asing di pinggangnya.
"Ini. Aku akan memintamu lagi kalau datang ke sini." Wolf meletakkan lembaran uang tebal pecahan seratus dolar di atas ranjang. Kemungkinan lebih dari lima ribu dolar. Tapi lima ribu dolar tidak cukup untuk Zoe.
Zoe mengambil uang itu, dan menyerahkannya kembali pada Wolf yang tampak bingung.
"Kenapa? Kurang?" tanyanya, sambil merogoh kantongnya.
Zoe menggeleng lalu memandang sekitar. Ia membutuhkan sesuatu untuk menjelaskan. Zoe menyambar note dan pena yang ada di dekat telepon kamar itu, mulai menulis.
Wolf menunggu dengan penasaran, sampai Zoe menyerahkan catatannya.
"Apa kau mau menikah... Kau ingin menikah denganku?" Wolf membaca tulisan Zoe dengan alis terangkat kaget.
Zoe mengangguk menjawab pertanyaan Wolf. Tulisan itu tidak salah. Tapi tentu permintaan itu dianggap salah oleh Wolf. Pria yang ternyata memiliki iris berwarna hijau pekat itu, memandang Zoe seolah ia baru saja bertemu dengan wanita gila. “Apa kau ingin uang lebih? Kalau hanya sekedar uang lebih… Aku akan memberikannya. Tubuhmu lumayan rasanya. Tapi tidak ini.” Wolf menjentikkan kertas itu dari tangannya, sampah menurutnya. “Mmmm…” Zoe mengeluarkan gumaman sambil melambaikan tangan karena panik. Takut kalau Wolf akan pergi. Tapi gumaman itu justru membuat Wolf—yang baru akan memakai kemejanya kembali berhenti, dengan wajah bertanya-tanya. Bisa melihat kalau Zoe kesulitan bicara. “Apa kau bisu?” Wolf memakai bahasa isyarat. Tapi Zoe justru tidak mengerti bahasa isyarat itu. Ia kembali menuliskan jawaban di kertas, lalu mengulurkannya. “Aku tidak tuli, tapi aku memang tidak bisa bicara. Masalah syaraf di otak. Panjang. Aku tidak ingin menjelaskannya. Tapi aku tetap ingin menikah d
Zoe menelan ludah. Ia ingin menggeleng—karena ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya seumur hidup. Ia terjun ke alam yang sama sekali tidak punya bayangan seperti apa.Tapi balas dendam itu menggoda. Sakit hatinya yang tidak pernah terbalaskan itu—yang menggerogoti hatinya setiap kali melihat wajah Max di papan billboard, tidak untuk diabaikan juga.Billy, Max, dan Iris. Mereka membuatnya menjadi bisu—menghancurkan bakat dan mimpinya. Membunuh anaknya.Zoe lalu mengangguk, lalu menunjukkan catatan singkat yang dibuatnya. “Ya, aku tahu.” “Well, kalau begitu mari kita uji.” Wolf tersenyum.“Berlututlah dan cium kakiku. Ini tingkat penghambaan yang aku inginkan.” Wolf mengangkat kakinya yang masih telanjang juga, menyilangkannya. Menunggu Zoe.Permintaan yang jelas mengekspresikan penyerahan diri yang absolut, sesuai dengan tulisan Zoe. Zoe kembali tidak menyangka penawaran itu akan terjadi dengan sangat cepat dengan bentuk yang cukup menantang.Mencium kaki adalah p
“Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal
Zoe melangkah memasuki rumah yang tentu saja sangat mewah itu dengan amat perlahan. Takut jika langkahnya akan membuat lantai marmer yang diinjaknya retak. Lantai rumah Wolf begitu berkilau, sampai sesaat Zoe mengira lantai itu terbuat dari kaca. Padahal meski ia menari tap dance di atasnya, lantai itu akan baik-baik saja. “Kamar Mr. Wolf ada di atas. Akan saya antarkan.” Stefan–pria yang tadi menjemput dan mengantarnya sampai ke rumah itu, menarik koper bawaan Zoe, mengajaknya ke lantai dua. Zoe sebenarnya belum selesai mengagumi area lantai dasar rumah itu, yang mana sangat mewah. Penuh karya seni berupa patung dan lukisan, lalu ada ruang terbuka yang diisi taman indoor. Tatanan jenis modern minimalis. Tapi pemandangan di lantai dua juga tidak terlalu buruk. Zoe bisa melihat pemandangan kota New York di kejauhan dari dinding kaca yang terbuka lebar di seluruh lantai dua. Rumah itu tidak terletak di dalam kota New York, tapi juga tidak terlalu jauh. Daerah suburban sempurna, ya
“Clay, diam dulu.” Wolf meminta Clay, teman—sekaligus lawan bicaranya sejak tadi untuk berhenti bicara. Ia tengah membaca pesan dari Zoe dengan takjub. Isinya terlalu mengejutkan pastinya. “Sejak kapan kau menerima pesan?” Clay heran, karena tahu Wolf anti menulis pesan. Ia lebih suka menelepon, dan biasanya orang yang menghubungi ponsel Wolf, cukup tahu untuk tidak mengirim pesan. “Dia belum tahu… oh… Tidak bisa.” Wolf baru saja mengangkat ponsel ke telinga untuk menghubungi Zoe, tapi kemudian ingat kalau Zoe tidak akan bisa membalas panggilannya. Maka Wolf juga menulis pesan akhirnya. “Kau itu membalas apa? Siapa yang bisa membuatmu mengirim pesan?” Clay semakin penasaran. Mereka ada di tengah pembicaraan bisnis. Tidak biasanya wolf akan menghentikan pembicaraan hanya karena panggilan maupun pesan. Tapi kini Clay melihat wolf bersusah payah mengetik sambil mengerutkan kening. Jempolnya bergerak sangat lambat di permukaan layar ponsel. Ada alasan kenapa Wolf tidak suka mengir
Wolf melangkah sambil mengernyit. Ini karena rumahnya gelap. Saat ini baru pukul delapan, sangat jauh dari jam tidur. Tentu ia biasa menemui rumah yang gelap, tapi seharusnya ada yang berubah. Ada makhluk hidup bernapas lain yang menghuni rumahnya. Kegelapan itu membuatnya heran pastilah. Wolf meneruskan langkah ke sumber cahaya yang berasal dari kamarnya. Hanya ruangan itu yang menghasilkan tanda kehidupan. Membocorkan lokasi dimana Zoe berada. Tanpa permisi, maupun mengetuk, Wolf membuka pintu, dan mendapati kalau ternyata ada badai lokal telah lewat di kamarnya itu. Rumahnya selalu rapi. Tidak ada barang yang salah tempat maupun kusut. Tentu pemandangan bagaimana selimut dan bed cover yang tersibak dan tergeletak di lantai adalah hal yang membuatnya takjub. Dan bukan hanya itu. Ada lembaran kertas berjatuhan di sekitar ranjang. Ada tumpukan kertas yang masih cukup tinggi di atas meja. Yang tentu kemarin tidak ada di sana. Wolf tidak pernah bekerja di kamar. Ia hampir tidak per
Permainan Wolf memang cukup kasar juga kemarin, dan Zoe menikmatinya. Tapi tentu berbeda saat Zoe tidak menginginkannya. Ia hanya mendapat kesakitan. “AGHH!” Zoe menjerit dan meronta, tapi Wolf tidak menghentikan gerakannya. Tapi ia membungkuk dan berbisik di telinga Zoe. “Sebut namaku, dan aku akan mengganti rasa sakit ini dengan sesuatu yang bisa kau nikmati…” Tapi tentu Zoe tidak bisa melakukannya. Ia menggeleng dan terus berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuh Wolf. “Keras kepala…” Wolf berhenti sejenak dan bergumam gusar, membalik tubuh Zoe dan membuka kakinya. Zoe menendangkan kakinya, tapi seperti tadi Wolf menangkapnya dengan mudah. “Jangan keras kepala dan cepat sebut namaku…” Wolf kembali menggeram saat menahan kedua kaki Zoe yang terbuka dia atas ranjang. Tapi kemudian mengernyit. Ia melihat hal lain. Zoe yang menangis dan ketakutan. Ia terisak, bersuara tidak jelas, tapi jelas tengah mencoba bicara. Bibirnya bergerak tapi tidak bisa membentuk kata. Hanya gumama
Dokter itu tampak menggeleng lalu mempersilahkan Wolf untuk mengikutinya. Kalaupun ia tadi berniat untuk melapor maka sekarang tidak lagi. Batas memar di tubuh Zoe amat samar. Bisa jadi memang ada kekerasan, tapi bisa jadi juga karena seks. Apalagi mengingat keadaan Zoe yang telanjang saat datang. “Bagaimana keadaan kepalanya? " Wolf kembali bertanya saat sampai di samping ranjang Zoe. Ia masih memejamkan mata dengan erat, belum terlihat tanda-tanda sadar. “Tidak ada yang serius. Benturan itu tidak menyebabkannya pingsan. Istri Anda mungkin pingsan hanya karena lelah. Setelah memeriksa menyeluruh, saya tidak menemukan tanda luka berbahaya di tubuh istri Anda. Hanya lecet di sekitar—organ intimnya.” Dokter itu ragu sejenak tapi kemudian menjelaskan apa adanya. “Aku mungkin harus berhati-hati setelah ini. Aku akan mempertimbangkan untuk tidak mengguncangnya terlalu keras.” Pernyataan yang membuat dokter itu kembali terlihat sedikit malu. Meski mereka berdua sama-sama pria dewasa,