DUA TAHUN KEMUDIAN
“Zoe, bangun! Ada tamu VVIP! Kau yang pergi!”
Zoe berdiri dari sofa yang menjadi tempatnya tidur, memandang orang yang baru saja membangunkannya dengan wajah jengkel, tapi kemudian Zoe tersenyum. Ia mengenali orang itu.
Tiana, wanita berusia empat puluhan yang juga pemilik strip club tempatnya bekerja saat ini.
Zoe mengambil tali yang biasa dipakai untuk menggantungkan name tag, tapi bukan name tag yang tergantung di ujungnya. Ada tumpukan kartu dengan aneka tulisan yang bisa dipilih. Tapi Tiana rupanya tidak sabar.
“Ya.. ya… aku tahu kau akan berterima kasih. Tapi nanti saja. Dia bukan orang yang penyabar, dan ingin bersenang-senang malam ini.”
Tiana mengambil kartu ucapan itu dari tangan Zoe, melemparkannya ke atas meja. Zoe memandangnya dengan kecewa, karena ia baru menemukan cara yang lebih cepat selain menulis untuk berkomunikasi.
“Maaf, tapi tidak malam ini. Aku akan melihatnya besok, oke? Aku harus mempersiapkanmu. Pakai ini.”
Tiana tidak biasanya kasar, tapi tamunya adalah langganan penting. Dengan terburu-buru, Tiana mengulurkan bikini model berwarna biru dengan bulu berwarna putih di tepinya.
Sementara Zoe memakai bikini itu, Tiana memoles wajah Zoe, memperbaiki make up yang berantakan karena tertidur tadi. Ia juga menyisir rambut pirang gelap Zoe agar lebih mengembang ikal, membingkai wajahnya.
“Nah, cukup. Aku rasa dia akan puas.” Tiana tampak tegang, tapi tersenyum. Zoe ikut tersenyum untuk berterima kasih. Tidak semua penari mendapat keistimewaan untuk diurus Tiana.
“Pakai ini, lalu aku akan mengantarmu padanya.”
Zoe sudah selesai memakai boot setinggi lutut berwarna putih, lalu juga potongan terakhir pakaian kerjanya adalah jubah putih yang juga berbulu. Mode jubah yang membuatnya tampak seperti tokoh kartun anak-anak—hanya tentu aslinya tidak memakai bikini.
"Ayo!” Tiana membuka pintu ruang ganti, dan telinga Zoe dihantam oleh hentakan musik dan sorakan. Setelah hampir enam bulan bekerja di tempat itu, Zoe sudah terbiasa.
Zoe tidak lagi heran saat diantara remang lampu club itu, tampak lima atau enam orang meliukkan tubuhnya di atas panggung yang serupa meja diantara pengunjung club. Bagian atas tubuh penari itu tidak tertutup oleh kain apapun. Telihat tumpukan uang terselip di tepian celana dalam minim yang hanya berupa tali itu. Celana bikini yang dipakai Zoe terlihat sopan jika sandingkan dengan mereka.
Pengunjung menikmati gerakan tubuh yang memang mengundang itu. Uang yang ada di celana dalam itu adalah tips sekaligus sumber pemasukan. Zoe sudah melakukannya tadi, kurang lebih dua jam sesi, karena itu ia lelah dan tertidur.
Tapi jika Tiana meminta melayani tamu yang membooking ruang VVIP, maka Zoe tidak akan menolak. Tips mereka besar. Tiana memang sering memintanya melayani tamu VVIP karena Zoe tidak banyak bicara—lebih tepatnya tidak bisa bicara memang. Kemampuan bicara Zoe tidak bisa kembali setelah koma itu.
Tapi itu menjadi keunggulan Zoe. Tamu VVIP menyukai stripper yang tidak banyak bicara. Mereka datang untuk menikmati tubuh telanjang, dan hanya itu.
“Ingat, dia tamu langganan di sini, jangan membuat masalah.” Tiana memperingatkan sebelum membuka pintu ruang VVIP.
Zoe mengangguk. Ia juga tidak berminat mencari masalah. Zoe hanya ingin uang.
“Mmm… Ini tidak selalu, tapi ia biasanya menginginkan full service. Apa kau mau? Tips yang diberikannya juga lumayan. Megan pernah mendapat lima ribu dolar darinya.”
Mata Zoe melebar mendengar lima ribu dolar itu, tapi ia belum pernah melayani sampai full service. Telanjang bulat sering, tapi tidak sampai tidur bersama.
“Ayo, cepat jawab.” Tiana mendesak. Ia sudah memegang handle pintu.
Zoe menggeleng. Ia tergiur dengan jumlah uang itu, tapi ia belum siap untuk menjual diri. Mungkin nanti.
“Ck, oke. Aku akan mengatakan hal ini padanya, tapi kalau dia menolakmu dan meminta ganti kau tidak boleh memprotes.”
“Mmm…” Zoe menyayangkan hal itu, dan ingin Tiana menunggunya berpikir, tapi sudah terlanjur membuka pintu. Protes Zoe tidak lagi berguna.
Aroma cerutu yang menyapa Zoe. Ruangan itu penuh dengan asap pekat yang membuat suasana semakin redup. Lampu berwarna biru kekuningan yang hanya memberi sinar temaram, bahkan tidak mencapai sudut ruangan.
“Maafkan aku … Apa kau sudah lama menunggu?” Tiana menghampiri pria yang duduk sambil menumpangkan kedua kaki.
“Tidak masalah asal yang kau bawa untukku adalah barang yang asli.”
"Jangan khawatir. Semua yang ada di tubuhnya asli. Tidak ada implan atau suntik lemak." Tiana tersenyum. Ia tahu apa kesukaan tamunya itu.
Zoe menyingkirkan asap dari depan wajahnya, ingin melihat wajah pria yang memiliki suara serak itu. Suaranya terdengar seperti berasal dari dasar lautan gelap.
Yang langsung menarik perhatian Zoe tentu saja helaian rambut perak yang ada di dekat telinga kirinya. Uban, tapi wajahnya masih cukup licin. Dan tidak rata menyeluruh, bagian lain rambutnya yang lebat masih hitam.
Ia tidak sangat tua, tapi sangat tampan. Tubuhnya tegap, ototnya tampak menonjol meski lengannya masih terbungkus kemeja.
Zoe tidak bisa melihat warna matanya di ruang remang itu, tapi melihat sebaris alis yang menyudut, hidung mancung, kulit kecoklatan, cambang dan bibir yang tebal seksi, merah kehitaman.
“Lumayan.” Suara berat itu terdengar lagi. Menilai.
Bukan hanya Zoe yang tengah menilai, pria itu juga sejak tadi menatapnya, dan memberi nilai lumayan. Zoe sedikit tersinggung mendengar itu. Ia tidak pernah dinilai lumayan sebelum ini.
Tapi Zoe tidak akan menunjukkan emosinya. Ia hanya harus bekerja.
“Mr. Wolf, aku pastikan dia sangat prima. Tapi dia tidak melayani full…”
Tiana terdiam, karena Zoe menarik tangannya. Zoe memberi isyarat anggukan kepala.
“Maksudku… Dia juga bisa melayani apapun keinginanmu.” Tiana mengoreksi kalimatnya sambil melirik ke arah Zoe. Memastikan kalau Zoe baru saja bersedia melayani seandainya tamu itu meminta tidur bersama.
Zoe mengangguk sekali lagi, sambil menyembunyikan tangannya yang gemetar. Keputusan itu datang dengan nekat dan tiba-tiba setelah Zoe mendengar nama pria itu.
Zoe mungkin tidak mengenali wajahnya, tapi ia mengenal nama itu. Wolf, nama produser yang sangat terkenal, dan menaungi Iris White.
Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat. Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi. “Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya. Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya. “Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras. Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan. “Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan
Zoe mengangguk menjawab pertanyaan Wolf. Tulisan itu tidak salah. Tapi tentu permintaan itu dianggap salah oleh Wolf. Pria yang ternyata memiliki iris berwarna hijau pekat itu, memandang Zoe seolah ia baru saja bertemu dengan wanita gila. “Apa kau ingin uang lebih? Kalau hanya sekedar uang lebih… Aku akan memberikannya. Tubuhmu lumayan rasanya. Tapi tidak ini.” Wolf menjentikkan kertas itu dari tangannya, sampah menurutnya. “Mmmm…” Zoe mengeluarkan gumaman sambil melambaikan tangan karena panik. Takut kalau Wolf akan pergi. Tapi gumaman itu justru membuat Wolf—yang baru akan memakai kemejanya kembali berhenti, dengan wajah bertanya-tanya. Bisa melihat kalau Zoe kesulitan bicara. “Apa kau bisu?” Wolf memakai bahasa isyarat. Tapi Zoe justru tidak mengerti bahasa isyarat itu. Ia kembali menuliskan jawaban di kertas, lalu mengulurkannya. “Aku tidak tuli, tapi aku memang tidak bisa bicara. Masalah syaraf di otak. Panjang. Aku tidak ingin menjelaskannya. Tapi aku tetap ingin menikah d
Zoe menelan ludah. Ia ingin menggeleng—karena ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya seumur hidup. Ia terjun ke alam yang sama sekali tidak punya bayangan seperti apa.Tapi balas dendam itu menggoda. Sakit hatinya yang tidak pernah terbalaskan itu—yang menggerogoti hatinya setiap kali melihat wajah Max di papan billboard, tidak untuk diabaikan juga.Billy, Max, dan Iris. Mereka membuatnya menjadi bisu—menghancurkan bakat dan mimpinya. Membunuh anaknya.Zoe lalu mengangguk, lalu menunjukkan catatan singkat yang dibuatnya. “Ya, aku tahu.” “Well, kalau begitu mari kita uji.” Wolf tersenyum.“Berlututlah dan cium kakiku. Ini tingkat penghambaan yang aku inginkan.” Wolf mengangkat kakinya yang masih telanjang juga, menyilangkannya. Menunggu Zoe.Permintaan yang jelas mengekspresikan penyerahan diri yang absolut, sesuai dengan tulisan Zoe. Zoe kembali tidak menyangka penawaran itu akan terjadi dengan sangat cepat dengan bentuk yang cukup menantang.Mencium kaki adalah p
“Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal
Zoe melangkah memasuki rumah yang tentu saja sangat mewah itu dengan amat perlahan. Takut jika langkahnya akan membuat lantai marmer yang diinjaknya retak. Lantai rumah Wolf begitu berkilau, sampai sesaat Zoe mengira lantai itu terbuat dari kaca. Padahal meski ia menari tap dance di atasnya, lantai itu akan baik-baik saja. “Kamar Mr. Wolf ada di atas. Akan saya antarkan.” Stefan–pria yang tadi menjemput dan mengantarnya sampai ke rumah itu, menarik koper bawaan Zoe, mengajaknya ke lantai dua. Zoe sebenarnya belum selesai mengagumi area lantai dasar rumah itu, yang mana sangat mewah. Penuh karya seni berupa patung dan lukisan, lalu ada ruang terbuka yang diisi taman indoor. Tatanan jenis modern minimalis. Tapi pemandangan di lantai dua juga tidak terlalu buruk. Zoe bisa melihat pemandangan kota New York di kejauhan dari dinding kaca yang terbuka lebar di seluruh lantai dua. Rumah itu tidak terletak di dalam kota New York, tapi juga tidak terlalu jauh. Daerah suburban sempurna, ya
“Clay, diam dulu.” Wolf meminta Clay, teman—sekaligus lawan bicaranya sejak tadi untuk berhenti bicara. Ia tengah membaca pesan dari Zoe dengan takjub. Isinya terlalu mengejutkan pastinya. “Sejak kapan kau menerima pesan?” Clay heran, karena tahu Wolf anti menulis pesan. Ia lebih suka menelepon, dan biasanya orang yang menghubungi ponsel Wolf, cukup tahu untuk tidak mengirim pesan. “Dia belum tahu… oh… Tidak bisa.” Wolf baru saja mengangkat ponsel ke telinga untuk menghubungi Zoe, tapi kemudian ingat kalau Zoe tidak akan bisa membalas panggilannya. Maka Wolf juga menulis pesan akhirnya. “Kau itu membalas apa? Siapa yang bisa membuatmu mengirim pesan?” Clay semakin penasaran. Mereka ada di tengah pembicaraan bisnis. Tidak biasanya wolf akan menghentikan pembicaraan hanya karena panggilan maupun pesan. Tapi kini Clay melihat wolf bersusah payah mengetik sambil mengerutkan kening. Jempolnya bergerak sangat lambat di permukaan layar ponsel. Ada alasan kenapa Wolf tidak suka mengir
Wolf melangkah sambil mengernyit. Ini karena rumahnya gelap. Saat ini baru pukul delapan, sangat jauh dari jam tidur. Tentu ia biasa menemui rumah yang gelap, tapi seharusnya ada yang berubah. Ada makhluk hidup bernapas lain yang menghuni rumahnya. Kegelapan itu membuatnya heran pastilah. Wolf meneruskan langkah ke sumber cahaya yang berasal dari kamarnya. Hanya ruangan itu yang menghasilkan tanda kehidupan. Membocorkan lokasi dimana Zoe berada. Tanpa permisi, maupun mengetuk, Wolf membuka pintu, dan mendapati kalau ternyata ada badai lokal telah lewat di kamarnya itu. Rumahnya selalu rapi. Tidak ada barang yang salah tempat maupun kusut. Tentu pemandangan bagaimana selimut dan bed cover yang tersibak dan tergeletak di lantai adalah hal yang membuatnya takjub. Dan bukan hanya itu. Ada lembaran kertas berjatuhan di sekitar ranjang. Ada tumpukan kertas yang masih cukup tinggi di atas meja. Yang tentu kemarin tidak ada di sana. Wolf tidak pernah bekerja di kamar. Ia hampir tidak per
Permainan Wolf memang cukup kasar juga kemarin, dan Zoe menikmatinya. Tapi tentu berbeda saat Zoe tidak menginginkannya. Ia hanya mendapat kesakitan. “AGHH!” Zoe menjerit dan meronta, tapi Wolf tidak menghentikan gerakannya. Tapi ia membungkuk dan berbisik di telinga Zoe. “Sebut namaku, dan aku akan mengganti rasa sakit ini dengan sesuatu yang bisa kau nikmati…” Tapi tentu Zoe tidak bisa melakukannya. Ia menggeleng dan terus berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuh Wolf. “Keras kepala…” Wolf berhenti sejenak dan bergumam gusar, membalik tubuh Zoe dan membuka kakinya. Zoe menendangkan kakinya, tapi seperti tadi Wolf menangkapnya dengan mudah. “Jangan keras kepala dan cepat sebut namaku…” Wolf kembali menggeram saat menahan kedua kaki Zoe yang terbuka dia atas ranjang. Tapi kemudian mengernyit. Ia melihat hal lain. Zoe yang menangis dan ketakutan. Ia terisak, bersuara tidak jelas, tapi jelas tengah mencoba bicara. Bibirnya bergerak tapi tidak bisa membentuk kata. Hanya gumama