“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
"Sialan!” Zoe memaki saat melihat lift sedang mengantri, dengan terpaksa ia membelokkan arah larinya ke tangga. Zoe nekat meski tujuannya adalah lantai enam. Menunggu lift akan membuatnya terlambat. Perempuan itu tidak memiliki pilihan lain, paginya tadi diisi oleh makian sang kekasih yang memintanya untuk segera membawakan barang yang dianggap sebagai jimat keberuntungannya. Zoe berlari menaiki tangga, sementara tangannya memegangi perut. Ia ingin berhati-hati, agar janinnya tidak terganggu. Jika bisa Zoe akan memilih tidak berlari, tapi tidak mau juga membuat penampilan Max---kekasihnya sendiri gagal. Dengan langkah terseok, Zoe menuju ruang ganti tempat Max menunggu. “INI!” Zoe menghambur membuka pintu, dan bergegas mengacungkan kaos kaki---jimat keberuntungan milik Max-- ke udara. Tanpa kaos kaki bau itu, Max tidak percaya diri untuk bernyanyi---merasa penampilannya akan gagal. Kepercayaan bodoh, tapi Max sangat peduli. Ia tahu Zoe akan mendukung apapun yang dibutuhkan keka
Tidak perlu cenayang untuk menebak apa yang baru saja terjadi di dalam ruangan itu sebelum Billy--produser Max membukanya. Pemandangan bokong itu bukan hal baru untuk Zoe. Ia baru melihatnya tadi pagi, saat Max bangun dari ranjang. Mereka tidur bersama tadi malam. Max mencumbunya tadi malam, sampai nyaris membuat Zoe melewatkan alarm pukul tiga pagi. Zoe harus bangun sepagi itu untuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa Max. Usaha yang dilakukannya dengan sukarela. Tanpa keluhan. Zoe tidak pernah ingin mengeluh, meski bebannya semakin lama semakin berat. Ia rela melakukannya demi Max. Demi pria yang saat ini mencoba memakai celana dalamnya, karena baru saja tidur dengan wanita lain. "Apa ini?" Billy bertanya tidak terdengar marah, ia bahkan tampak puas saat melihat orang yang membawa kamera itu mengambil gambar Iris dan Max bergantian. “Awas kalau kau menulis hal buruk tentangku!” Ancaman itu dari Iris, yang tengah memakai bajunya. “Tidak akan. Aku tidak ingin bermusuhan
“Dasar kalian bodoh! Aku sudah katakan berkali-kali untuk menjaga diri! Aku tidak akan peduli apapun yang kalian lakukan asal jangan sampai membuat masalah! Otak kalian tidak mampu mencerna hal sederhana semacam ini?!” Billy, sang produser murka. Manik miliki sang produser mengarah ke Max, membentaknya dengan keras. “Kau yang paling bodoh!” “Tidak bisakah kau menahan diri dan tidak tidur dengan sembarang wanita? Kau lihat dulu siapa lawanmu sebelum menancapkan benih! Kau akan menghancurkan karirmu kalau terus terlibat dengan wanita tidak jelas dan membuatnya hamil!” “Siapa yang kau sebut wanita sembarangan?!” Zoe membentak tidak kalah keras. Zoe baru saja menghancurkan kesempatannya untuk berkarir saat melakukannya. Tapi Zoe tidak peduli. Billy baru saja merendahkannya. “Aku kekasihnya. Kami telah berhubungan bertahun-tahun! Aku bukan wanita sembarangan! Wanita itu yang murahan! Kau lihat sendiri, kan?” Iris yang lebih pantas disebut jalang. Wanita itu dan Max baru bertemu pag
Air mata Zoe yang pertama menerjemahkan duka itu. “GHHH! AAGHH!” Tapi ia tidak mampu mengatakan apapun. Menangis dalam sunyi adalah sesak. Zoe ingin berteriak, melepaskan duka yang menindih dadanya, tapi hanya suara dengus dan rintihan yang keluar dari bibirnya. Bahkan untuk memaki saja Zoe tidak mampu. Zoe ingin marah pada Billy, ia ingin marah pada Max yang tidak membelanya, ingin marah pada Iris yang memulai semua nasib sialnya, tapi semua tertahan di tenggorokannya. “Aku mohon tenang dulu. Penjelasannya masih panjang.” Dokter itu menyela, dengan wajah menyesal. Ia tidak ingin mengganggu duka Zoe, tapi ia harus menyelesaikan penjelasan. Dengan mata yang masih basah, Zoe memandang dan mengedip padanya. Memintanya untuk meneruskan. Pikirannya masih kacau, tapi Zoe ingin mendengar semua. “Bagian kepalamu terbentur dengan keras, dan kau menjalani operasi untuk menyingkirkan gumpalan darah. Sekarang kau sudah sehat, tapi dengan rambut lebih pendek mungkin, karena kami harus mencu
DUA TAHUN KEMUDIAN“Zoe, bangun! Ada tamu VVIP! Kau yang pergi!”Zoe berdiri dari sofa yang menjadi tempatnya tidur, memandang orang yang baru saja membangunkannya dengan wajah jengkel, tapi kemudian Zoe tersenyum. Ia mengenali orang itu.Tiana, wanita berusia empat puluhan yang juga pemilik strip club tempatnya bekerja saat ini.Zoe mengambil tali yang biasa dipakai untuk menggantungkan name tag, tapi bukan name tag yang tergantung di ujungnya. Ada tumpukan kartu dengan aneka tulisan yang bisa dipilih. Tapi Tiana rupanya tidak sabar.“Ya.. ya… aku tahu kau akan berterima kasih. Tapi nanti saja. Dia bukan orang yang penyabar, dan ingin bersenang-senang malam ini.”Tiana mengambil kartu ucapan itu dari tangan Zoe, melemparkannya ke atas meja. Zoe memandangnya dengan kecewa, karena ia baru menemukan cara yang lebih cepat selain menulis untuk berkomunikasi.“Maaf, tapi tidak malam ini. Aku akan melihatnya besok, oke? Aku harus mempersiapkanmu. Pakai ini.”Tiana tidak biasanya kasar, tapi
Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat. Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi. “Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya. Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya. “Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras. Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan. “Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan