“Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal
Zoe melangkah memasuki rumah yang tentu saja sangat mewah itu dengan amat perlahan. Takut jika langkahnya akan membuat lantai marmer yang diinjaknya retak. Lantai rumah Wolf begitu berkilau, sampai sesaat Zoe mengira lantai itu terbuat dari kaca. Padahal meski ia menari tap dance di atasnya, lantai itu akan baik-baik saja. “Kamar Mr. Wolf ada di atas. Akan saya antarkan.” Stefan–pria yang tadi menjemput dan mengantarnya sampai ke rumah itu, menarik koper bawaan Zoe, mengajaknya ke lantai dua. Zoe sebenarnya belum selesai mengagumi area lantai dasar rumah itu, yang mana sangat mewah. Penuh karya seni berupa patung dan lukisan, lalu ada ruang terbuka yang diisi taman indoor. Tatanan jenis modern minimalis. Tapi pemandangan di lantai dua juga tidak terlalu buruk. Zoe bisa melihat pemandangan kota New York di kejauhan dari dinding kaca yang terbuka lebar di seluruh lantai dua. Rumah itu tidak terletak di dalam kota New York, tapi juga tidak terlalu jauh. Daerah suburban sempurna, ya
“Clay, diam dulu.” Wolf meminta Clay, teman—sekaligus lawan bicaranya sejak tadi untuk berhenti bicara. Ia tengah membaca pesan dari Zoe dengan takjub. Isinya terlalu mengejutkan pastinya. “Sejak kapan kau menerima pesan?” Clay heran, karena tahu Wolf anti menulis pesan. Ia lebih suka menelepon, dan biasanya orang yang menghubungi ponsel Wolf, cukup tahu untuk tidak mengirim pesan. “Dia belum tahu… oh… Tidak bisa.” Wolf baru saja mengangkat ponsel ke telinga untuk menghubungi Zoe, tapi kemudian ingat kalau Zoe tidak akan bisa membalas panggilannya. Maka Wolf juga menulis pesan akhirnya. “Kau itu membalas apa? Siapa yang bisa membuatmu mengirim pesan?” Clay semakin penasaran. Mereka ada di tengah pembicaraan bisnis. Tidak biasanya wolf akan menghentikan pembicaraan hanya karena panggilan maupun pesan. Tapi kini Clay melihat wolf bersusah payah mengetik sambil mengerutkan kening. Jempolnya bergerak sangat lambat di permukaan layar ponsel. Ada alasan kenapa Wolf tidak suka mengir
Wolf melangkah sambil mengernyit. Ini karena rumahnya gelap. Saat ini baru pukul delapan, sangat jauh dari jam tidur. Tentu ia biasa menemui rumah yang gelap, tapi seharusnya ada yang berubah. Ada makhluk hidup bernapas lain yang menghuni rumahnya. Kegelapan itu membuatnya heran pastilah. Wolf meneruskan langkah ke sumber cahaya yang berasal dari kamarnya. Hanya ruangan itu yang menghasilkan tanda kehidupan. Membocorkan lokasi dimana Zoe berada. Tanpa permisi, maupun mengetuk, Wolf membuka pintu, dan mendapati kalau ternyata ada badai lokal telah lewat di kamarnya itu. Rumahnya selalu rapi. Tidak ada barang yang salah tempat maupun kusut. Tentu pemandangan bagaimana selimut dan bed cover yang tersibak dan tergeletak di lantai adalah hal yang membuatnya takjub. Dan bukan hanya itu. Ada lembaran kertas berjatuhan di sekitar ranjang. Ada tumpukan kertas yang masih cukup tinggi di atas meja. Yang tentu kemarin tidak ada di sana. Wolf tidak pernah bekerja di kamar. Ia hampir tidak per
Permainan Wolf memang cukup kasar juga kemarin, dan Zoe menikmatinya. Tapi tentu berbeda saat Zoe tidak menginginkannya. Ia hanya mendapat kesakitan. “AGHH!” Zoe menjerit dan meronta, tapi Wolf tidak menghentikan gerakannya. Tapi ia membungkuk dan berbisik di telinga Zoe. “Sebut namaku, dan aku akan mengganti rasa sakit ini dengan sesuatu yang bisa kau nikmati…” Tapi tentu Zoe tidak bisa melakukannya. Ia menggeleng dan terus berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuh Wolf. “Keras kepala…” Wolf berhenti sejenak dan bergumam gusar, membalik tubuh Zoe dan membuka kakinya. Zoe menendangkan kakinya, tapi seperti tadi Wolf menangkapnya dengan mudah. “Jangan keras kepala dan cepat sebut namaku…” Wolf kembali menggeram saat menahan kedua kaki Zoe yang terbuka dia atas ranjang. Tapi kemudian mengernyit. Ia melihat hal lain. Zoe yang menangis dan ketakutan. Ia terisak, bersuara tidak jelas, tapi jelas tengah mencoba bicara. Bibirnya bergerak tapi tidak bisa membentuk kata. Hanya gumama
Dokter itu tampak menggeleng lalu mempersilahkan Wolf untuk mengikutinya. Kalaupun ia tadi berniat untuk melapor maka sekarang tidak lagi. Batas memar di tubuh Zoe amat samar. Bisa jadi memang ada kekerasan, tapi bisa jadi juga karena seks. Apalagi mengingat keadaan Zoe yang telanjang saat datang. “Bagaimana keadaan kepalanya? " Wolf kembali bertanya saat sampai di samping ranjang Zoe. Ia masih memejamkan mata dengan erat, belum terlihat tanda-tanda sadar. “Tidak ada yang serius. Benturan itu tidak menyebabkannya pingsan. Istri Anda mungkin pingsan hanya karena lelah. Setelah memeriksa menyeluruh, saya tidak menemukan tanda luka berbahaya di tubuh istri Anda. Hanya lecet di sekitar—organ intimnya.” Dokter itu ragu sejenak tapi kemudian menjelaskan apa adanya. “Aku mungkin harus berhati-hati setelah ini. Aku akan mempertimbangkan untuk tidak mengguncangnya terlalu keras.” Pernyataan yang membuat dokter itu kembali terlihat sedikit malu. Meski mereka berdua sama-sama pria dewasa,
Gerakan yang jauh dari kasar maupun brutal. Berhasil menekan ketakutan Zoe dan membuatnya duduk diam. Ciuman itu bahkan terasa seperti mimpi, karena begitu tiba-tiba dan begitu jauh berbeda dengan kekasaran yang tadi dilakukannya.Zoe sampai merasa seperti sedang bermimpi, karena kepalanya memang terasa terombang-ambing. Zoe baru yakin tidak sedang bermimpi saat merasakan gesekan kasar dari cambang Wolf di punggung tangannya. Malam telah berganti, cambang Wolf yang biasanya bersih, membayang berwarna abu-abu.“Kau ketakutan?” tanya Wolf. Sambil menurunkan tangan Zoe. Zoe meraba leher dan dadanya, tapi tentu tidak ada kartu maupun ponsel. Ia tidak bisa mengatakan apapun. Dan tidak ada kertas juga. “Apa aku perlu meminta kertas?” Wolf tentu juga tidak mau hanya dirinya yang bicara di sini.Tapi Zoe menggeleng. Ia menarik tangan Wolf yang ada di atas ranjang. Menuliskan huruf di telapak tangannya.“F?” Wolf bisa mengeja.“U.” Huruf berikutnya dan sudah.“Oh. F dan U. Itu …”Zoe memperj
Zoe tersentak saat ada dokter yang tiba-tiba saja menghambur masuk ke dalam kamarnya. Seharusnya tidak ada lagi dokter yang datang. Ia akan pulang sebentar lagi. Zoe semakin bingung saat dokter itu memandang sekitar kamarnya—memeriksa keadaan. Zoe ingin bertanya apa yang diinginkannya, tapi masih tidak punya alat untuk bicara. Sejak tadi, Wolf yang mengurus semua kebutuhannya agar bisa segera pulang. Tapi untung saja dokter berkacamata itu cepat mengungkap apa yang diinginkan. “Maaf, tapi di mana suami Anda?” tanyanya. Zoe menunjuk ke luar. Menjelaskan kalau Wolf sedang mengurus administrasi. Dkter itu tampak lega, lalu mengulurkan sesuatu. Lembaran kertas kecil yang tentu diterima Zoe. Itu adalah kartu nama dari sebuah Yayasan perlindungan Anak dan wanita. Zoe membaca keterangan di kartu itu, dan juga nomor telepon. Tapi tentu masih tidak mengerti kenapa dokter itu memberikannya. Zoe memandangnya sambil mengangkat alis—penuh tanya. “Anda hubungi saja nomor itu kalau kau merasa