Gavin membuka pintu mobil, menyambut pasangan itu saat keluar dari gerbang panti. Adrian masih berjalan dengan langkah pincang. Liora berjalan sedikit lebih cepat, menjaga jarak. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang banyak bicara. Bahkan Gavin pun segan bertanya kenapa kaki tuannya tiba-tiba sakit.Sesampainya di rumah, Gavin turun terlebih dahulu dan membuka pintu untuk Adrian. Ia membantu sang bos berdiri tegak, lalu tanpa banyak kata merangkul pundaknya, setengah memapahnya menuju pintu depan.“Aku bisa,” ucap Adrian.“Tidak apa-apa Tuan,” ucap Gavin masih membantu.Baru kali ini Gavin melihat sisi Adrian yang berbeda.Dingin, biasanya. Sombong, sering. Tapi kini? Pasrah. Dan… diam-diam penuh luka.Liora masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Adrian menghalau Gavin yang ingin membawanya ke arah yang sama.“Antar aku ke kamar yang itu,” tunjuk Adrian ke kamar di sebelah Liora.“Tuan tidak satu kamar? Ma- maksudku…” Pertanyaan Gavin tidak rampung. Tapi, ia akhirnya memilih diam.Adrian m
Liora menatapnya. Ia tidak memberikan respon apapun pada ucapan Adrian.“Mungkin kau pikir semua ini drama, aku hanya mementingkan nama keluargaku... tapi asal kau tahu, Liora, setelah semua yang terjadi, aku benar-benar takut kehilanganmu.”Tatapan Liora terlihat dalam, tenang namun kosong. Ia tidak terlihat percaya, tidak juga marah dan tidak juga bersedih.Lalu, perlahan nyaris seperti angin dia menarik tangannya pelan, meninggalkan Adrian yang masih duduk di ruang tamu panti itu.Liora berjalan mendekati anak-anak panti yang sedang bermain. Beberapa langsung menoleh dan memanggil namanya dengan ceria, berhamburan menghampirinya.Liora menyambut mereka dengan senyum yang lembut, mengusap kepala satu per satu, duduk di lantai beralas tikar sambil membiarkan mereka duduk di pangkuannya. Dalam keheningannya, ia terlihat jauh lebih hidup bersama anak-anak itu.Adrian hanya mengamati dari kejauhan.Ia tidak melangkah menyusul. Tidak memaksa Liora mempercayai ucapannya barusan. Ia tahu b
Keesokan paginya, cahaya matahari menyelinap masuk lewat jendela besar ruang makan, menembus tirai tipis yang bergoyang pelan. Liora sudah duduk di kursinya. Ia dilayani oleh ART. Lalu tak lama Adrian masuk, masih mengenakan kaos rumahan.“Pagi,” ucap Adrian sambil tersenyum kecil. Ia mengambil tempat duduk di seberangnya.Liora tidak menjawab, namun mengangguk kecil, tatapannya menunduk ke atas piring berisi roti panggang dan telur rebus. Wajahnya tak sepucat kemarin. Tak lagi semuram kemarin.Adrian memperhatikannya beberapa detik sebelum membuka suara.“Kamu terlihat sudah lebih baik. Kalau begitu, kita bisa ke panti hari ini,” katanya pelan.Liora mengangkat wajah, menatap Adrian. Ada jeda beberapa detik, lalu perlahan, ia mengangguk.Senyuman Adrian melebar, ada kelegaan yang tak bisa disembunyikan dari ekspresinya.“Baiklah. Setelah sarapan, kita langsung siap-siap.”Liora merasa Adrian yang di hadapannya benar-benar bukan Adriann yang mengecamnya di ruang privat rumah sakit saa
Setelah melihat Liora tertidur, Adrian keluar kamar. Dia memberikan ruang sendiri untuk Liora agar istirahat dan tenang.Pintu tertutup pelan.Liora menghela napas. Dia membalik badan. Menoleh ke arah pintu. Ia masih bimbang, tidak yakin kalau semua nyata. Dalam sekejap pria itu berubah?Adrian tidak meninggalkan Liora sama sekali. Dia tetap di rumah itu. Menjaga dan mengawasi, walaupun tidak selalu terlibat secara langsung. Dia menjadikan kamar yang paling dekat dengan kamar utama menjadi kamarnya.Saat hari mulai sore, Liora mandi, dibantu oleh ART, yang sekaligus membantunya memakai pakaian. Dia benar-benar dirawat. Diperlakukan selayaknya manusia, tuan rumah dan bukan tawanan.Saat hari mulai gelap, makan malam pun telah terhidang di atas meja. Dibantu oleh ART, Liora melangkah pelan ke ruang makan. Adrian pun sudah ada di sana.Adrian menyendok sup hangat di hadapannya, sesekali menatap Liora yang duduk di seberangnya. Gadis itu tampak tenang, tapi jarak antara mereka terasa sepe
Tubuh Liora gemetar saat suara itu keluar dari tenggorokannya. Sebuah jeritan spontan, kasar, dan penuh tekanan. Ia bahkan tak yakin dari mana suara itu muncul. Tapi nyatanya, ia berteriak. Untuk pertama kalinya.Adrian langsung menghampirinya. Langkahnya tergesa, lalu ia berlutut dan meraih Liora yang terduduk lemas di lantai, bersandar pada dinding dekat pintu.“Liora? Kamu berteriak?” napasnya terburu. Matanya tak lepas dari wajah Liora. “Itu suaramu, kan? Kamu bisa berteriak?”Liora menatapnya dengan mata membesar. Napasnya naik turun. Tangannya bergerak panik menyentuh lehernya sendiri, seperti memastikan apakah benar dirinya baru saja mengeluarkan suara.Gavin muncul di belakang Adrian, terengah sedikit karena berlari. Ia melihat keduanya, lalu menatap Adrian.“Kamu mendengarnya, kan?” tanya Adrian penuh harap, masih memegangi tangan Liora.Gavin mengangguk pelan, wajahnya terkejut sekaligus takjub. “Jelas, Tuan. Nyonya Liora berteriak.”Namun Liora masih belum tenang. Matanya m
Beberapa hari berlalu. Sakit perlahan sembuh, begitu pula dengan bekas luka di punggungnya. Tapi tidak dengan lukanya yang lain yang tak terlihat, yang tetap menganga. Luka hati dan batinnya yang terus bertambah.Pagi itu, ia diperbolehkan pulang.Adrian yang sejak awal setia menemaninya, bersiap untuk membawanya pulang ke rumah yang sudah dia siapkan.Mobil hitam sudah berhenti di depan rumah sakit, Gavin turun membukakan pintu, untuk Adrian dan Liora.Liora melangkah perlahan, tubuhnya masih lemah meski sudah jauh lebih baik. Di sisinya ada Adrian yang menggenggam tangannya.“Hati-hati,” ucap Adrian penuh perhatian.Mereka sudah dudu di dalam mobil. Adrian terlihat lega karena pada akhirnya Liora membaik. Walaupun ia tahu, tidak mudah menyembuhkan luka hatinya yang melibatkan harga diri dan batinnya.Gavin mengemudi pelan. Di kursi belakang, Adrian sesekali mencuri pandang ke arah Liora, tapi perempuan itu terus menatap keluar jendela. Wajahnya kosong. Sorot matanya seperti jendela