Liora sudah kehilangan suaranya sejak 4 tahun lalu karena trauma akan kematian ibunya. Kini Ayahnya kritis akibat tabrak lari, dan pelakunya justru kabur begitu saja. Di tengah badai gelap yang mengepungnya, muncul Adrian Shane Ashton—pria kaya dari keluarga terpandang, yang mengaku menabrak sang ayah. Alih-alih meminta maaf, Adrian justru menawarkan bantuan dengan satu syarat, Liora harus menikah dengannya. Pernikahan kontrak untuk menutup kasus, mengendalikan Liora agar tidak buka suara dan demi menjaga nama baik keluarganya. Liora Hadley—gadis bisu yang tak mampu mengadukan nasib dan tak punya kuasa, terpaksa menerima syarat Adrian demi menyelamatkan satu-satunya keluarga yang ia punya. Tapi bagaimana kehidupan setelahnya? Dalam dunia penuh manipulasi, kekuasaan, dan gengsi, bisakah Liora mendapat keadilan? Dan apa yang akan terjadi jika cinta perlahan tumbuh dari sebuah kebisuan?
View More“Kami sudah memberikan tindakan awal. Tapi untuk operasi lanjutan, kami butuh persetujuan keluarga… dan dana yang cukup besar.”
Liora Hadley, gadis bisu berusia 26 tahun itu, tampak tercenung mendengar penjelasan dari dokter mengenai kondisi ayahnya. Tangan Liora gemetar saat mengetik di ponsel dan memberinya ke dokter itu. “Berapa?” ketik Liora. Degup jantungnya semakin tak menentu. Paniknya bukan main. Angka yang disebutkan dokter membuat dunianya seolah berhenti. Jumlah yang bahkan tak bisa ia capai meski menjual semua yang dia miliki. Tubuhnya mematung. Napasnya berat. Tepat, saat itu juga, perawat mendekatinya. “Ada seseorang yang ingin bertemu Nona. Dia bilang, dia kenal dengan Ayah Nona.” Liora mengernyit. Dengan langkah ragu, penasaran dan dada sesak, ia menuju sebuah ruang privat. Di dalam, berdiri seorang pria tinggi tegap. Jas gelap dan kemeja putih rapi membungkus tubuhnya dengan elegan. Ia mengenakan masker juga kacamata, tapi saat Liora masuk, ia melepaskannya perlahan. Mata mereka bertemu. “Aku Adrian Shane Ashton,” ucapnya tanpa basa-basi dan tak mengulurkan tangan. Tatapan pria itu juga dingin dan tajam. Liora membatu. Nama itu… Ashton, terdengar sangat familiar. Keluarga Ashton adalah raja bisnis negeri ini. Kaya raya. Berpengaruh. Disegani. Dihormati. “Aku akan bicara langsung ke intinya,” lanjut Adrian. Ia kembali memakai maskernya. “Mobilku… yang menabrak ayahmu. Dan sialnya rekaman CCTV menangkap semuanya.” Mendengar itu, tangan Liora menggenggam erat handphone-nya penuh amarah. Dia mengetik dengan cepat. “Sial katamu?! Harusnya aku yang mengatakan, kalian orang kaya sialan! Sudah menabrak Ayahku dan tak bertanggung jawab!” Adrian membacanya, alisnya sedikit terangkat. “Kau… bisu?” tanyanya datar, meski tampak terkejut sesaat. Ya, Liora memang bisu sejak empat tahun lalu. Dokter menyebutnya mutisme psikogenik—trauma bisu akibat luka batin yang mendalam. Luka yang tidak terlihat, tapi mengurungnya dalam diam. Liora mengetik lagi. “Kau harus bertanggung jawab! Atau aku akan melaporkan kalian!” Adrian merampas handphone itu. Setelah membaca, ia menatapnya dengan senyum tipis, penuh ejekan. “Silakan lapor. Tapi siapa yang akan mendengar? Kau tak punya suara. Dan yang lebih penting… kau tak punya apa-apa.” Tatapan Liora berubah semakin tajam, napasnya memburu. “Aku bisa membayar pengacara, menyembunyikan bukti, membeli berita. Tapi kau?” Adrian menatapnya. “Kau bahkan tak bisa menyelamatkan ayahmu dari kematian, kecuali jika aku mau membantumu.” Air mata Liora menggenang. Ia mengetik dengan gemetar. “Kalau tidak bertanggung jawab, untuk apa kau datang ke sini? Hanya mengejekku?!” “Tidak.” Pria berusia 34 tahun itu menatapnya, masih dingin dan tajam. “Aku datang untuk menawarkan kerja sama. Satu-satunya jalan agar semuanya tetap terkendali.” Liora menatap penuh curiga. “Aku akan menanggung seluruh biaya rumah sakit. Tapi dengan satu syarat.” “Apa?” tulis Liora cepat. “Kau harus menikah denganku.” Dunia seakan berhenti berputar. Adrian melanjutkan, “Kontrak sah. Pernikahan legal. Kau akan menjadi istriku di mata publik. Dengan begitu, tak ada yang curiga pada keluarga kami. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pelakunya.” “Kau keterlaluan!” Liora mengetik dan ingin memukul Adrian dengan ketidakberdayaannya. “Kalau kau menolak,” ujar Adrian sambil berdiri dan menata jasnya, “maka ayahmu akan lewat. Itu saja.” Tiba-tiba seorang perawat membuka pintu dengan tergesa. Adrian sudah menyadarinya dan kembali memakai maskernya. “Nona Liora! Ayah Anda… harus segera dioperasi! Kondisinya… kondisinya semakin buruk.” Liora terpaku. Dunia di sekelilingnya berputar dalam kabut. Ia tak punya suara, tak punya uang, tak punya pilihan. Matanya kembali pada Adrian. Tangannya gemetar saat mengetik. “Ayahku akan selamat?” Ia tidak peduli lagi jika harus memohon pada pelaku yang sudah membuat ayahnya kritis. “Kalau kau menandatangani ini sekarang.” Adrian meletakkan map berisi kontrak di atas meja. Namanya sudah tercetak dengan huruf tebal. Liora menatap map itu. Air matanya mengalir diam-diam. Tangannya gemetar saat meraih pena. Ia tidak bisa pikirkan badai apa yang akan dia hadapi nanti. Namun, detik itu, badai yang paling jelas mengancam adalah nyawa ayahnya. Cepat dan singkat. Tanda tangannya sudah tergores di atas kertas. “Bagus,” ucap Adrian tenang. “Ayahmu akan menjalani operasi sekarang juga.” “Bagaimana dengan CCTV itu?” ketik Liora, penuh rasa takut. “Aku akan hilangkan. Yang penting kau juga bungkam.” Tatapannya menusuk. “Kau menikah denganku, maka semua selesai.” Liora menyeka air mata. Suara hatinya bergemuruh. Ia ingin menolak, marah dan memaki pria itu. Tapi ia tidak ada jalan lain. “Ingat,” suara Adrian merendah, namun semakin mengancam. “Jika kau melanggar perjanjian ini, kau akan menyesal.” Ia pun merebut handphone Liora. “Kau tidak boleh menggunakan handphone lagi!” Liora terkejut dan tidak terima. Tangannya masih menggantung di udara, berharap handphone-nya itu kembali. Namun, Adrian mendekati Liora. “Besok… kita menikah.” Bersambung…Liora menatapnya. Ia tidak memberikan respon apapun pada ucapan Adrian.“Mungkin kau pikir semua ini drama, aku hanya mementingkan nama keluargaku... tapi asal kau tahu, Liora, setelah semua yang terjadi, aku benar-benar takut kehilanganmu.”Tatapan Liora terlihat dalam, tenang namun kosong. Ia tidak terlihat percaya, tidak juga marah dan tidak juga bersedih.Lalu, perlahan nyaris seperti angin dia menarik tangannya pelan, meninggalkan Adrian yang masih duduk di ruang tamu panti itu.Liora berjalan mendekati anak-anak panti yang sedang bermain. Beberapa langsung menoleh dan memanggil namanya dengan ceria, berhamburan menghampirinya.Liora menyambut mereka dengan senyum yang lembut, mengusap kepala satu per satu, duduk di lantai beralas tikar sambil membiarkan mereka duduk di pangkuannya. Dalam keheningannya, ia terlihat jauh lebih hidup bersama anak-anak itu.Adrian hanya mengamati dari kejauhan.Ia tidak melangkah menyusul. Tidak memaksa Liora mempercayai ucapannya barusan. Ia tahu b
Keesokan paginya, cahaya matahari menyelinap masuk lewat jendela besar ruang makan, menembus tirai tipis yang bergoyang pelan. Liora sudah duduk di kursinya. Ia dilayani oleh ART. Lalu tak lama Adrian masuk, masih mengenakan kaos rumahan.“Pagi,” ucap Adrian sambil tersenyum kecil. Ia mengambil tempat duduk di seberangnya.Liora tidak menjawab, namun mengangguk kecil, tatapannya menunduk ke atas piring berisi roti panggang dan telur rebus. Wajahnya tak sepucat kemarin. Tak lagi semuram kemarin.Adrian memperhatikannya beberapa detik sebelum membuka suara.“Kamu terlihat sudah lebih baik. Kalau begitu, kita bisa ke panti hari ini,” katanya pelan.Liora mengangkat wajah, menatap Adrian. Ada jeda beberapa detik, lalu perlahan, ia mengangguk.Senyuman Adrian melebar, ada kelegaan yang tak bisa disembunyikan dari ekspresinya.“Baiklah. Setelah sarapan, kita langsung siap-siap.”Liora merasa Adrian yang di hadapannya benar-benar bukan Adriann yang mengecamnya di ruang privat rumah sakit saa
Setelah melihat Liora tertidur, Adrian keluar kamar. Dia memberikan ruang sendiri untuk Liora agar istirahat dan tenang.Pintu tertutup pelan.Liora menghela napas. Dia membalik badan. Menoleh ke arah pintu. Ia masih bimbang, tidak yakin kalau semua nyata. Dalam sekejap pria itu berubah?Adrian tidak meninggalkan Liora sama sekali. Dia tetap di rumah itu. Menjaga dan mengawasi, walaupun tidak selalu terlibat secara langsung. Dia menjadikan kamar yang paling dekat dengan kamar utama menjadi kamarnya.Saat hari mulai sore, Liora mandi, dibantu oleh ART, yang sekaligus membantunya memakai pakaian. Dia benar-benar dirawat. Diperlakukan selayaknya manusia, tuan rumah dan bukan tawanan.Saat hari mulai gelap, makan malam pun telah terhidang di atas meja. Dibantu oleh ART, Liora melangkah pelan ke ruang makan. Adrian pun sudah ada di sana.Adrian menyendok sup hangat di hadapannya, sesekali menatap Liora yang duduk di seberangnya. Gadis itu tampak tenang, tapi jarak antara mereka terasa sepe
Tubuh Liora gemetar saat suara itu keluar dari tenggorokannya. Sebuah jeritan spontan, kasar, dan penuh tekanan. Ia bahkan tak yakin dari mana suara itu muncul. Tapi nyatanya, ia berteriak. Untuk pertama kalinya.Adrian langsung menghampirinya. Langkahnya tergesa, lalu ia berlutut dan meraih Liora yang terduduk lemas di lantai, bersandar pada dinding dekat pintu.“Liora? Kamu berteriak?” napasnya terburu. Matanya tak lepas dari wajah Liora. “Itu suaramu, kan? Kamu bisa berteriak?”Liora menatapnya dengan mata membesar. Napasnya naik turun. Tangannya bergerak panik menyentuh lehernya sendiri, seperti memastikan apakah benar dirinya baru saja mengeluarkan suara.Gavin muncul di belakang Adrian, terengah sedikit karena berlari. Ia melihat keduanya, lalu menatap Adrian.“Kamu mendengarnya, kan?” tanya Adrian penuh harap, masih memegangi tangan Liora.Gavin mengangguk pelan, wajahnya terkejut sekaligus takjub. “Jelas, Tuan. Nyonya Liora berteriak.”Namun Liora masih belum tenang. Matanya m
Beberapa hari berlalu. Sakit perlahan sembuh, begitu pula dengan bekas luka di punggungnya. Tapi tidak dengan lukanya yang lain yang tak terlihat, yang tetap menganga. Luka hati dan batinnya yang terus bertambah.Pagi itu, ia diperbolehkan pulang.Adrian yang sejak awal setia menemaninya, bersiap untuk membawanya pulang ke rumah yang sudah dia siapkan.Mobil hitam sudah berhenti di depan rumah sakit, Gavin turun membukakan pintu, untuk Adrian dan Liora.Liora melangkah perlahan, tubuhnya masih lemah meski sudah jauh lebih baik. Di sisinya ada Adrian yang menggenggam tangannya.“Hati-hati,” ucap Adrian penuh perhatian.Mereka sudah dudu di dalam mobil. Adrian terlihat lega karena pada akhirnya Liora membaik. Walaupun ia tahu, tidak mudah menyembuhkan luka hatinya yang melibatkan harga diri dan batinnya.Gavin mengemudi pelan. Di kursi belakang, Adrian sesekali mencuri pandang ke arah Liora, tapi perempuan itu terus menatap keluar jendela. Wajahnya kosong. Sorot matanya seperti jendela
Kalimat itu menikam, namun Adrian hanya mengangguk lemah.Dia pantas mendapatkannya. Liora tidak salah.Setidaknya dia masih mengizinkan Adrian memakaikan cincin itu. Tidak melepasnya. Walau kata-katanya jujur.Adrian ingin berkata, bahwa cincin itu bukan lagi sebagai simbol pernikahan kontrak untuk meyakinkan publik. Mungkin sekarang, Liora tidak akan percaya, tapi dia akan berusaha untuk mengubah makna cincin itu, menjadi yang sebagaimana harusnya.Tepat saat ia ingin menjelaskan, ponselnya kembali berdering. Suara nyaringnya menghentikan keheningan.Adrian melirik layar. Wajahnya langsung berubah serius.“Sebentar,” katanya singkat pada Liora, lalu berjalan keluar kamar.Begitu pintu tertutup, Adrian mengangkat telepon.“Bagaimana?” tanyanya buru-buru.“Bos.” Suara berat anak buahnya terdengar serius dan tegang. “Kami menemukan percakapan dua anak buah itu dengan bos mereka. Hari ini mereka menghubunginya. Kami tahu dari hasil menyadap handphone mereka. Dua anak buah yang malang it
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments