Share

SEBELUM MAMA BANGUN

“Ma,” panggilku lirih.

Melihatku masuk, mama kembali tersenyum membuang wajah sendunya.

“Mama kenapa?”

Mama menggeleng. “Mama tidak apa-apa, Mama hanya sedih.” Mama mengusap wajah yang meninggalkan bekas luka bakar hampir separuhnya. “Tapi Mama tetap bersyukur bisa kembali melihatmu Sayang.”

“El akan selalu sama Mama.” Kusambut pelukan hangat mama.

“Papamu, apa dia menjagamu dengan baik?”

“Apa yang mama khawatirkan? Tentu saja Papa menjagaku dengan baik.”

Aku mengalihkan pandangan dari tatapan mama, jika terus menatapnya aku tidak akan bisa berbohong. Mana mungkin aku berkata jujur dengan mama jika selama mama dalam keadaan koma papa menjodohkanku dengan anak seorang yang membantu menyokong dana di perusahaan papa.

Di saat mama koma perusahaan papa nyaris bangkrut, keadaan yang sedang dilanda pandemi membuat bisnis properti papa mengalami tekanan, para investor menghentikan pemasukan dana sepihak sementara papa butuh banyak biaya untuk kebersihan dan juga perawatan.

Bayangan satu bulan lalu kembali berputar. Saat itu aku memergoki papa bersama Tante Mayang di dalam kamar. Aku sengaja pulang tidak membawa mobil karena pikirku mungkin akan macet jadi kuputuskan untuk pulang menggunakan ojek saja agar lebih cepat kembali ke rumah sakit menunggu mama.

Kulihat mobil papa terparkir di halaman rumah.

“Tumben papa di rumah,” gumamku.

Baru saja kaki berdiri di depan pintu utama gelak tawa terdengar begitu akrab, aku masih diam mematung di depan pintu. Sesaat kemudian hening, tak ada lagi suara canda tawa, kubuka pintu perlahan, tak ada orang, di mana mereka? Batinku mulai tak tenang.

Kulangkahkan kaki menaiki tangga satu persatu, hingga di depan kamar papa dan mama aku mendengar suara desahan sesekali diiringi tawa manja.

Kutempelkan telinga di daun pintu.

"Ah, geli Mas."

Aku kenal suara itu, suara Tante Mayang.

Dadaku bergemuruh, mama terbaring di rumah sakit semenatra di rumah papa melakukan hal menjijikan bersama Tante Mayang.

Kutendang pintu kamar papa, terlihatlah dua sosok manusia saling tindih meski masih menggunakan pakaian lengkap.

“Elsha,” ucap papa dengan wajah panik.

“Menjijikan, benar-benar tak tahu malu!”

“El, Papa bisa jelaskan.”

“Apa Papa kehilangan akal? Mama sedang terbaring berjuang untuk hidupnya, sementara Papa di rumah… astaga.”

“Ok, Papa salah, kita bicarakan dulu.”

Papa hendak meraih tanganku, aku dengan cepat menghindar.

Tak ada lagi pandangan mengagumkan untuknya, yang ada hanya sebuah kekecewaan.

“El, Papa dan Tante Mayang sudah menikah siri," ungkapnya tanpa rasa bersalah.

Aku ternganga mendengar ucapan papa. “Apa! Papa menikah lagi, kenapa Papa tega ngelakuin itu sama El dan mama?”

“Itu karena Papa butuh orang lain untuk menyiapkan semuanya, sementara mama… lihatlah mamamu tidak bangun-bangun.”

Aku menggeleng tak percaya, apa di otak laki-laki hanya selakangan yang mereka pikirkan?

“Papa benar-benar membuatku muak!” kutinggalkan papa dan wanita simpanannya. Air mata jatuh di pipi, bagaimana jika mama tahu papa menikah lagi? Mama cepatlah bangung.

“Hello Papa, Mama, aku datang.” Kuhentikan langkahku saat melihat Citra dengan suara manjanya memanggil Papa. Dia yang sudah kuanggap adikku sendiri ternyata ikut dalam konspirasi besar ini. Ah, tentu aja, mana mungkin dia tidak tahu.

“El.” Papa memegang bahuku.

“El, bukanya lo bilang mau nginap di rumah sakit.” Citra menutup mulutnya.

Tadi sebelum aku pulang untuk mengambil beberapa buku kuliah memang ia bertanya aku akan pulang atau tidak, dan aku menjawab tidak karena aku pikir memang tak akan pulang. Namun, aku teringat tugas kuliah yang belum aku selesaikan jadi terpaksa harus pulang.

“El, maaf Tante bukanya mau merebut papamu,” ucap Tante Mayang yang sudah berdiri di sampingku.

“Lalu apa? Tante benar-benar manusia tidak tahu malu, seharusnya Tante sadar diri, karena mama Tante bisa keluar dari rumah setan itu!” sergahku menunjuk wajah Tante Mayang yang berubah tegang.

“El, sudah. Ini salah Papa, jangan salahkan Tante Mayang.”

Aku terbahak mendengar ucapan papa.

“Oh, so sweet sekali, penghianat memang pantasnya sama pemulung yang suka ngorek sampah, mengambil barang sisa!”

“Apa lo bilang, lo ngatain nyokap gue pemulung?” Citra pasang badan, berdiri di depanku dengan tatapan tidak suka.

Sekarang baru terlihat wajah aslinya. Kemarin dia bersikap baik kepadaku bahkan tak jarang barangku ia pinjam dan kami sering berbagi. Namun, tidak kusangka jika dia juga menginginkan papa.

“Memang itu kenyataanya, kan? Apa lo lupa dulu lo dan nyokap lo pemulung untuk menutup hutang bokap lo, heh?” Kutinggalkan mereka.

Citra masih terus mengumpat tak terima dengan ucapanku, sementara papa masih mengejarku dan meminta untuk bicara, aku tak peduli. Papa benar-benar membuatku kecewa, yang ada dalam pikiranku hanyalah mama. Mama pasti akan sangat terluka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status