Share

KEPUTUSASAAN SEPIHAK

Kutarik paksa pintu mobil, baru saja hendak masuk ucapan Citra menghentikanku

“Aduh… duh kasihannya, sakit, ya?" ucap Citra sambil tertawa dan memegangi pipinya.

“Jangan panggil gue Elshanum Cakrawinata jika gue kalah sama Lo. Seneng-seneng aja sebentar, nikmati s

aja dulu hasil nyokap Lo yang mencuri dari gue dan mama. Tapi ingat, semuanya akan kalian bayar dengan sangat menyedihkan.” Kutepuk pelan pipi Citra.

Aku segera masuk mobil membiarkan Citra termagu memandangku. Kubuka kaca mobil. “Ah ya, gue lupa, kembalikan seluruh barang branded yang Lo pinjam. Kalau enggak… gue bakalan sebarin ke seluruh kampus kebusukan Lo, termasuk itu.” Kutunjuk kacamata yang bertengger di kepala Citra, kacamata merk Christian Dior yang tak main harganya.

“Sialan Lo, jangan Lo kira gue gak bisa ngalahin Lo!” hardiknya, aku tak menghiraukanya.

Kulajukan mobil tak ingin berlama berdebat dengan manusia muka tembok di depanku. Kutatap foto bersama papa dan mama yang tergantung di kaca. Bagaimana papa bisa mengkhianati mama dengan orang yang paling dekat. Aku masih tidak menyangka jika lelaki yang begitu kukagumi mampu menghianati keluarganya.

Papa sosok wibawa yang selalu romantis dengan mama, kemesraan mereka selalu memberikan kenyaman di rumah kami. Namun, siapa sangka panutan yang selalu memanjakanku itu menyimpan sosok wanita lain yang merupakan sahabat mama, wanita yang mama bawa karena belas kasih melihatnya di siksa oleh suaminya.

“Akan kupastikan mereka membalas semuanya.” Tanganku mengepal kuat memegang kemudi mobil. “Tidak ada satupun yang boleh menyakiti mama.”

Ponselku berdering, kutepikan mobil dan menjawab panggilan telepon dari Dokter Sean, nama yang tertera di layar ponselku.

“Hallo, Dok. Apa terjadi sesuatu dengan Mama?” tanyaku tak sabar. Setiap kali Dokter Sean menghubungi hanya ketakutan yang ada dalam benakku, takut jika kabar buruk yang disampaikan karena mama sedang koma di rumah sakit sejak tiga bulan lalu.

“Selalu itu yang kamu tanyakan El, aku cuma mau kasih tahu, Bu Hanum udah sadar, dari tadi nyariin kamu,” ucap Dokter Sean. Mendengar ucapan Dokter Sean tak henti kuucapkan syukur.

Akhirnya mama bangun, batinku.

“Terima kasih Dok.” Kumatikan panggilan telepon dan kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Tidak sabar lagi ingin berbincang seperti dulu dengan mama.

Sampai di rumah sakit besar di daerah Solo aku segera menuju ruang VVIP, tak sabar ingin menemui mama. Di depan kamar rawat mama aku berhenti sejenak, mengatur nafas dan membuat simpul senyum di bibirku agar mama tak tahu apa yang papa lakukan di belakangnya.

"Mama,” sapaku setelah membuka pintu berwarna coklat tersebut.

Mama yang sedang berdiri di depan jendela berbalik ke arahku dan tersenyum menyambut dengan merentangkan kedua tanganya.

“Mama rindu El, mama pikir tidak akan bisa melihatmu lagi.”

Karena kecelakaan yang menimpanya wajahnya sebagian terkena luka bakar, keadaanya benar-benar tak seperti dulu mama wanita keturunan Jawa yang cantik nan anggun.

“Papa mana?” tanya mama lagi.

“Papa… em… Papa masih di kantor,” jawabku asal.

“Jangan beritahu Papa kita akan pulang dan beri kejutan,” ucap mama girang.

Aku diam sejenak, bagaimana aku akan menjelaskan kepada mama? Aku tidak ingin ia terluka setelah baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

“Tapi Mama belum pulih betul, sebaiknya Mama tetap disini.”

“Mama udah tanya Dokter, kita bisa pulang hari ini juga, lihat Mama udah enggak pakai alat apapun.” Mama menunjukan kedua tanganya, pulse oximeter dan jarum infus pun sudah tak terpasang di sana.

Bagaimana aku mengatakannya? Aku tak tega melihat mama sedih, aku tidak ingin jika mama sampai tahu papa memiliki hubungan dengan Tante Mayang

“Aku akan mengurus administrasi dulu, Ma.”

Mama mengangguk, aku bergegas keluar mengurus segala administrasi akhir mama. Kartu tabungan yang diberi papa cukup jika hanya untuk membayar administrasi akhir mama, jadi aku tidak perlu meminta uang papa lagi.

Setelah selesai dengan seluruh biaya perawatan dan menebus beberapa obatnya aku kembali ke ruang rawat mama. Berhenti di depan pintu mengatur nafas dan wajah, setelah kupaksa bibir untuk tersenyum kutarik dengan perlahan gagang pintu. Namun, belum sempat kudorong pintu sepenuhnya, kulihat dari balik celah mama berdiri di depan jendela menyandarkan kepalanya di tembok, pandangannya lurus menatap luar jendela, terlihat jelas kesedihan di wajahnya. Apa mama sudah tahu semuanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status