"Sin, apa kabar? Kamu masih kerja di tempat kita kerja dulu, Sin?" tanyaku begitu panggilan dariku diterima oleh Sinta, teman lama yang sampai sekarang masih berhubungan baik denganku meski akibat menikah dan melahirkan, hubungan pertemanan kami tak lagi intens seperti dulu karena kesibukanku mengurus suami dan putri kecilku, Kayla.
"Alhamdulillah, kabar baik, Ya. Kamu sendiri gimana kabarnya? Sudah lama gak hubungi aku? Kamu baik baik aja, Ya?" sahut Sinta dari seberang.
Aku menghembuskan nafas. Ingin menjawab tidak, tapi tak mungkin. Terpaksa aku menutupi yang sebenarnya terjadi.
"Alhamdulillah aku baik baik aja, Sin. Cuma ... saat ini aku lagi butuh pekerjaan. Apa kantor masih butuh staf baru, Sin? Aku pengen ngelamar kerja lagi kayaknya," ujarku membalas pertanyaan Sinta.
"Apa? Kamu mau kerja lagi? Bukannya kamu baru saja melahirkan ya? Kok malah mau kerja lagi? Emangnya kenapa, Ya?" tanya Sinta dari seberang telepon dengan nada kaget dan tak percaya.
Lagi lagi aku menghembuskan nafas sebelum menjawab pertanyaannya.
"Hmm ... sekarang semua kebutuhan pokok 'kan naik dan serba mahal, Sin. Nggak cukup gaji suamiku untuk memenuhi kebutuhan hidup kami selama satu bulan. Jadi terpaksa aku ingin bekerja lagi."
"Ada lowongan nggak, Sin? Kalau ada, aku mau dong melamar kerja lagi," ucapku.
"Lowongan kerja? Kemarin sih ada, Ya. Lowongan buat tenaga administrasi, sama seperti posisi yang kamu tinggalkan dulu. Cuma nggak tahu sudah diduduki orang atau belum, soalnya kemaren sempat ada beberapa orang yang datang untuk wawancara, tapi belum tahu sudah ada yang diterima atau nggak."
"Coba deh nanti aku tanyakan sama Pak Arga ya. Siapa tahu masih ada lowongan buat kamu. Soalnya kamu 'kan termasuk karyawati terbaik perusahaan dulu. Jadi mana tahu kalau kamu melamar kerja lagi, Pak Arga akan memberikan posisi yang bagus untuk kamu," sahut Sinta lagi seolah memberiku harapan baru aku akan diterima kembali di perusahaan tempat kami sama sama bekerja dulu.
Dan demi mendengar informasi dari sahabatku itu, aku pun merasa lega bukan main.
Ya, semoga saja nanti benar benar ada lowongan kerja untukku dari perusahaan di mana aku pernah bekerja dulu sehingga dengan demikian aku bisa memiliki penghasilan kembali supaya Mas Arif dan ibu mertuaku tak bisa lagi berbuat sewenang wenang dan menghinaku seperti sekarang ini.
Ya, aku harus bisa bekerja kembali supaya suamiku dan ibunya tahu kalau aku bukan perempuan tidak berguna yang hanya bisa menghabiskan beras dan lauk pauk di rumah ini saja.
Aku juga tidak akan kalah dari Mas Arif yang bisa mencari dan menghasilkan uang.
"Iya, Sin, tolong aku ya. Aku pengen banget kerja lagi supaya bisa punya penghasilan sendiri, Sin," ucapku lagi pada Sinta.
"Insya Allah, Ya. aku akan bantu kamu semaksimal mungkin nanti. Kamu banyakin doa saja ya semoga nanti Pak Arga berkenan menerima kamu kembali di perusahaan," jawab Sinta di seberang telepon berbarengan dengan suara teriakan Bu Ani, ibu mertuaku yang tiba tiba saja terdengar keras dari arah luar kamar.
"Alya! Ini baju baju kotor kok belum dicuci, kenapa? Gimana sih kamu? Anak tidur, kok kamu bukannya beres beres, nyuci baju! Malah ikut ikutan tidur?"
"Ayo beresin lagi kerjaan di belakang ini! Baru cuci piring aja sudah mau istirahat! Anak tidur itu kesempatan buat ngerjain semuanya tahu! Jangan malah ikut ikutan istirahat!" seru ibu mertua sambil menghempaskan pintu kamar dengan keras.
Mendengar teriakan ibu mertua itu, buru buru aku menutup speaker ponsel, tetapi terlambat sebab dari seberang sana telah terdengar suara tanya bernada heran dari Sinta padaku.
"Ya, itu ibu mertua kamu? Kamu disuruh nyuci baju? Beres beres rumah? Emang nggak ada pembantu ya? Kamu kan habis melahirkan, Ya? Kok disuruh kerja rumah segitu banyak? Emang nggak masalah sama kesehatan kamu?" tanya Sinta beruntun yang membuat dadaku terasa sesak.
Ya, malu rasanya karena teman kantor dulu jadi tahu kalau setelah menikah dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan di perusahaan dulu, aku justru diperlakukan bak pembantu oleh mertua seperti yang aku alami sekarang ini.
Padahal dulu saat mengajukan resign, Sinta pernah mengingatkan agar aku berpikir ulang untuk berhenti bekerja sebab takutnya Mas Arif tak memperlakukan aku dengan baik setelah kami menikah nanti dan punya anak.
Pada saat itu dengan sangat yakin aku mengatakan kalau Mas Arif pasti akan mencukupi kebutuhan hidupku dan rumah tangga kami nantinya dengan baik sesuai janjinya sebelum melamarku menjadi istrinya.
Namun, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Hanya karena aku banyak makan usai melahirkan, suamiku itu justru tega menghinaku habis habisan seperti ini.
Bukan itu saja, ibu mertua juga tega mengeksploitasi tenagaku layaknya seorang pembantu rumah tangga yang tak perlu dibayar untuk mengerjakan seabrek pekerjaan rumah yang tak ada habis habisnya. Mengecewakan.
"I-ya, Sin, begitulah. Hmm ... udah dulu ya. Aku harus bantu ibu mertuaku dulu mumpung anakku tidur. Nanti kalau sudah ada kabar soal lowongan kerja baru untuk aku, kabari aku secepatnya ya, Sin. Bantu aku ya," ucapku lagi mengiba lalu setelahnya buru buru menutup telepon karena enggan Sinta mendengar kicauan dan kata kata pedas menyakitkan dari ibu mertua padaku lagi.
Dari seberang telepon Sinta mengiyakan. Setelah itu aku pun meletakkan ponsel bertepatan dengan Bu Ani yang kembali membuka suaranya.
"Kamu itu ya, Alya! Anak tidur, bukannya kamu gunakan waktu untuk beres beres rumah! Malah ikutan ngendon di kamar! Gimana nggak makin numpuk aja itu lemak di badan?"
"Sudah sana, cuci baju! Habis itu setrika pakaian bersih biar semuanya beres dan lemak lemak di badan kamu itu juga luntur!"
"Jadi istri kok malas malasan! Nggak cekatan! Pantes aja si Arif pulang telat terus, punya istri bisanya cuma tidur sama makan melulu sih! Ya iyalah males liatnya! Mending di luar, lihat yang cantik cantik dari pada di rumah liat atlet Sumo!" sergah Bu Ani lagi melancarkan ejekan seperti biasanya.
Mendengar kata kata pedas yang ibu mertua ucapkan itu, kali ini rasanya aku tak bisa untuk diam saja sehingga aku pun buka mulut meski sadar konsekuensinya aku dan mertua bakalan ribut adu mulut.
"Bu, cukup! Aku di kamar bukan tidur! Tapi lagi nelpon Sinta, teman kantorku dulu! Nanyain lowongan pekerjaan baru di kantor dulu!"
"Aku mau kerja lagi, Bu, supaya Ibu nggak perlu lagi terus terusan menghinaku banyak makan karena aku memang sedang menyusui Kayla, Bu!"
"Aku akan buktikan pada ibu dan Mas Arief, kalau tanpa kalian, aku juga bisa hidup dan makan kenyang setiap hari demi anakku!"
"Aku akan buktikan kalau aku bukan benalu yang nggak bisa apa apa tanpa kalian berdua! Dengar itu, Bu!" hardikku dengan tanpa basa-basi dan rasa takut sedikit pun lagi.
"Dan maaf ya, Bu ... jangan harap dan paksa aku untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah ini karena aku bukan pembantu, Bu!"
"Aku ini menantu, yang membantu pekerjaan rumah di kediaman mertua dengan kerelaan! Bukan dengan paksaan layaknya ART yang dibayar mahal untuk melakukan semua itu, Bu!"
"Kalau Ibu memaksaku melakukan itu, mending aku jadi office boy di kantor aja dari pada jadi pembantu di rumah ini tapi nggak dibayar dan nggak bisa makan kenyang setiap hari!" tandasku lagi dengan suara keras yang membuat ibu mertua melongo mendengar bantahan dariku kali ini.
Mendengar ucapanku, ibu mertua tampak kaget. Wajah ibunda Mas Arif itu terlihat merah."Lancang kamu ya! Ngomong sama mertua nggak ada sopan sopannya sama sekali! Dasar menantu kurang ajar! Nggak pernah dididik orang tua kamu makanya bisa ngomong seperti ini sama mertua? Iya?""Apa kata kamu tadi? Mau melamar pekerjaan di perusahaan kamu yang dulu itu? Nggak salah? Apa iya, perusahaan bonafit seperti itu mau menerima karyawan gendut seperti kamu?""Jangan mimpi deh, Alya! Cukup kamu jadi istri Arif yang baik saja! Nggak usah banyak mimpi karena nggak akan ada perusahaan yang mau memperkerjakan perempuan kek kamu! Mending kamu daftar jadi atlet Sumo aja dari pada ngelamar di perusahaan itu karena itu yang lebih cocok buat kamu!""Dulu mungkin kamu bisa bekerja di sana karena badan kamu masih ramping dan singset tapi sekarang badan kamu sudah melar seperti martabat India! Gimana perusahaan mau menerima kamu bekerja kembali!" hardik ibu mertua membalas perkataan dan bantahan dariku tadi.
Sekarang setelah jadi istri Mas Arif dan harus merangkap menjadi pelayan suami dan mertua, juga adik ipar, bobot badanku memang naik drastis dari yang dulu sebab aku jadi tak punya waktu untuk olah raga. Dan wajah yang dulu full perawatan sekarang jadi full minyak dan komedo karena hampir tak punya waktu luang dan uang untuk pergi ke salon.Ya, keputusan salah memang menikah dan menjadi istri Mas Arif, laki laki yang aku anggap baik dan bertanggung jawab, tetapi ternyata tidak. Mas Arif justru sangat mengecewakan sebagai seorang suami.[Ya, gimana? Terima nggak tawaran ini? Kalau iya besok kamu kirim surat lamaran dan CV ya. Biar aku teruskan ke bagian personalia. Cuma formalitas aja ini mah, soalnya aku tadi udah bicara langsung sama Pak Arga dan beliau menerima.] tulis Sinta lagi di ujung ponsel.Aku pun buru buru mengiyakan dan tak lupa mengucapkan terima kasih banyak atas pertolongannya sebab sudah bersedia meluangkan waktu untuk mencarikan aku lowongan pekerjaan sampai sampai men
"Rif, syukurlah kamu sudah pulang! Lihat itu istrimu, dari kemarin nggak keluar keluar juga dari dalam kamarnya! Maunya apa sih? Mau minta mati apa ya! Huh, amit amit! Punya mantu kok nggak ada ot*knya!" cerocos ibu mertua terdengar dari dalam kamarku. Kelihatannya Mas Arief baru saja pulang. Sesuai dengan isi pesan W******p darinya tadi kalau sebentar lagi dia memang mau pulang ke rumah untuk mandi dan ganti pakaian setelah semalaman dia tak pulang. "Memangnya Alya kenapa lagi sih, Bu? Bikin ulah apa lagi dia? Kok nggak berhenti berhenti nya bikin masalah terus?" tanya Mas Arif dengan nada suara meninggi. Mendengar itu, di dalam kamar, aku hanya bisa menghembuskan nafas yang terasa menyesak di tenggorokan. Nasib punya suami dan mertua yang tak punya perasaan seperti mereka. Tiap hari hanya bisa mencari kesalahan dan kekurangan menantunya semata tanpa bisa melihat kelebihannya. "Itu, disuruh nyuci bajunya Yuni aja nggak mau! Tahan masuk kamar dan ngunci pintu dari kemarin! Dasar m
"Tapi, Bu?" Mas Arif terlihat ragu. "Nggak ada tapi tapi! Usir istri mu ini dari rumah ini sekarang juga, Rif! Dan suruh dia bawa anaknya sekalian! Biar Ibu juga nggak pusing lagi dengan suara tangisan anaknya setiap hari!" "Mending kamu nikah lagi aja dan kasih Ibu cucu yang bener! Yang nggak kayak anaknya Alya yang rewel dan hobi nangis! Ibu gedek denger anak kamu itu nangis tiap hari, Rif!" sergah Ibu mertua dengan tanpa perasaan. Sakit rasanya hati ini mendengar beliau menghina putri semata wayang yang sangat aku sayangi itu, tapi sudahlah ... biar saja ibu mertua ngomong apa saja yang penting Mas Arif cepat menjatuhkan talak padaku sehingga aku bisa keluar dari rumah ini menuju kediaman Sinta, seperti yang ditawarkan sahabatku itu malam tadi, dengan bebas dan tenang. Tak ada lagi Mas Arif yang akan menghalangi niatku untuk pergi dari rumah ini dan kembali bekerja. Sinta telah berjanji akan meminjamkan aku uang untuk biaya hidup dan menyewa pengasuh untuk Kayla bila aku bekerj
"Makasih, Mas ... kamu nggak usah repot repot mesenin travel buat aku karena aku akan pergi sendiri dari rumah ini kalau memang Mas dan Ibu sudah nggak menghendaki aku dan Kayla tunggal di rumah ini lagi!" "Nggak masalah Mas, kalau memang kehadiran aku di rumah ini dianggap hanya jadi benalu, aku akan pergi sekarang juga! Tunggu sebentar, aku akan kemasi barang barangku dan Kayla lebih dulu lalu pergi dari sini! Kamu dan Ibu nggak usah khawatir, aku nggak akan bawa apa apa karena aku nggak butuh itu!" "Kalau ada barang barang atau pakaian ku dan Kayla yang tertinggal, kamu buang aja ke tong sampah karena aku nggak mungkin bisa membawa semua itu sekarang! Aku cuma bisa bawa seperlunya saja!" "Ya udah Mas, aku kemas kemas dulu. Nggak akan lama kok. Jadi kamu dan Ibu tenang aja ya!" ujarku lalu setelah itu masuk kembali ke dalam kamar dan mulai memasukkan baju bajuku yang masih layak pakai dan baju baju Kayla ke dalam tas pakaian. Setelah itu aku mengambil Kayla yang sedang lelap dari
"Al, Kayla tidur? Kalau sudah tidur, kita ke belakang yuk! Ngobrol sambil sarapan dulu!" ujar Sinta saat aku baru saja membaringkan Kayla di atas tempat tidur di dalam kamar yang disediakan Sinta untuk aku dan Kayla.Aku menganggukkan kepalaku lalu tersenyum."Iya, Sin. Baru saja tidur. Makasih ya, Sin atas pertolongan kamu. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu, aku dan Kayla akan pergi ke mana untuk berteduh," ujarku sekali lagi sambil memeluk bahu Sinta dan mengikuti langkah sahabatku itu menuju ruang makan.Sinta menggelengkan kepalanya mendengar perkataanku."Sudah, Al. Nggak usah ngomong gitu terus. Aku malah seneng kok kalau kamu dan Kayla tinggal di sini, jadi aku nggak kesepian lagi.""Oh ya, kamu jadi kan mau kerja di perusahaannya Pak Arga lagi? Kalau iya, nanti kamu tulis surat permohonan ya biar besok pagi aku menghadap beliau.""Sekarang kamu makan dulu, sarapan dulu dulu biar kuat, biar bisa ngadepin suami dan ibu mertua kamu kalau mereka masih mencari cari masalah denga
Pov ArifAku tersenyum puas sesaat setelah melihat bayangan istriku dan anaknya yang dari sejak awal kelahirannya memang tak aku harapkan itu menghilang di balik taksi yang mereka tumpangi. Entah ke mana.Syukurlah, setelah terpaksa harus bersitegang urat leher dengan perempuan norak dan kampungan itu, akhirnya aku bisa juga mengusirnya pergi dari rumah ini.Sebenarnya sudah lama aku ingin Alya pergi dari rumah ibu ini di mana selama ini kami tinggal bersama, akan tetapi sayang Ibu selalu menghalang halangi ku dengan alasan tak ada orang yang bisa dijadikan pembantu dan pesuruh yang tidak perlu dibayar di rumah ini kalau Alya tak ada.Terpaksa lah aku mengalah demi beliau karena hal itu. Itu sebabnya saat tiba tiba beliau sendiri yang meminta Alya supaya segera pergi dari rumah ini pasca menolak diperintah untuk mencucikan baju baju Yuni, aku pun merasa girang tak kepalang.Ya, akhirnya aku bisa juga hidup bebas tanpa perempuan gendut dan tak menarik itu lagi. Beda dengan Soraya yang
Pov Arif"Sayang, aku sudah mengusir Alya dari rumah. Dalam waktu dekat aku juga akan mengajukan ikrar talak di pengadilan agama supaya kita bisa menikah resmi. Setelah menikah resmi, kamu mau kan tinggal di rumah ibuku? Ibu pengen kamu tinggal di sana soalnya.""Lagi pula selama ini aku tinggal bersama ibu dan adikku juga Alya. Jadi nanti kalau kita sudah menikah resmi, kamu mau kan tinggal di rumah ibu?" tanyaku pada Soraya saat aku datang ke kontrakannya keesokan harinya untuk mengabarkan berita bahagia mengenai telah perginya Alya dan putrinya, Kayla dari rumah kami.Soraya tersenyum mendengar berita yang aku sampaikan."Oh syukurlah kalau gitu, Mas. Aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya hanya aku satu satunya wanita di dunia ini yang berhak memiliki kamu seorang, nggak ada yang lain lagi. Hmm ... kamu pasti akan hidup bahagia bersamaku, Mas. Aku jamin itu," jawab Soraya sambil memeluk lenganku lalu menjatuhkan tubuhnya di sampingku.Aku balas memeluk bidadari pujaan yang saat