Share

Bab 2

"Sin, apa kabar? Kamu masih kerja di tempat kita kerja dulu, Sin?" tanyaku begitu panggilan dariku diterima oleh Sinta, teman lama yang sampai sekarang masih berhubungan baik denganku meski akibat menikah dan melahirkan, hubungan pertemanan kami tak lagi intens seperti dulu karena kesibukanku mengurus suami dan putri kecilku, Kayla.

"Alhamdulillah, kabar baik, Ya. Kamu sendiri gimana kabarnya? Sudah lama gak hubungi aku? Kamu baik baik aja, Ya?" sahut Sinta dari seberang.

Aku menghembuskan nafas. Ingin menjawab tidak, tapi tak mungkin. Terpaksa aku menutupi yang sebenarnya terjadi.

"Alhamdulillah aku baik baik aja, Sin. Cuma ... saat ini aku lagi butuh pekerjaan. Apa kantor masih butuh staf baru, Sin? Aku pengen ngelamar kerja lagi kayaknya," ujarku membalas pertanyaan Sinta.

"Apa? Kamu mau kerja lagi? Bukannya kamu baru saja melahirkan ya? Kok malah mau kerja lagi? Emangnya kenapa, Ya?" tanya Sinta dari seberang telepon dengan nada kaget dan tak percaya.

Lagi lagi aku menghembuskan nafas sebelum menjawab pertanyaannya.

"Hmm ... sekarang semua kebutuhan pokok 'kan naik dan serba mahal, Sin. Nggak cukup gaji suamiku untuk memenuhi kebutuhan hidup kami selama satu bulan. Jadi terpaksa aku ingin bekerja lagi."

"Ada lowongan nggak, Sin? Kalau ada, aku mau dong melamar kerja lagi," ucapku.

"Lowongan kerja? Kemarin sih ada, Ya. Lowongan buat tenaga administrasi, sama seperti posisi yang kamu tinggalkan dulu. Cuma nggak tahu sudah diduduki orang atau belum, soalnya kemaren sempat ada beberapa orang yang datang untuk wawancara, tapi belum tahu sudah ada yang diterima atau nggak."

"Coba deh nanti aku tanyakan sama Pak Arga ya. Siapa tahu masih ada lowongan buat kamu. Soalnya kamu 'kan termasuk karyawati terbaik perusahaan dulu. Jadi mana tahu kalau kamu melamar kerja lagi, Pak Arga akan memberikan posisi yang bagus untuk kamu," sahut Sinta lagi seolah memberiku harapan baru aku akan diterima kembali di perusahaan tempat kami sama sama bekerja dulu.

Dan demi mendengar informasi dari sahabatku itu, aku pun merasa lega bukan main.

Ya, semoga saja nanti benar benar ada lowongan kerja untukku dari perusahaan di mana aku pernah bekerja dulu sehingga dengan demikian aku bisa memiliki penghasilan kembali supaya Mas Arif dan ibu mertuaku tak bisa lagi berbuat sewenang wenang dan menghinaku seperti sekarang ini.

Ya, aku harus bisa bekerja kembali supaya suamiku dan ibunya tahu kalau aku bukan perempuan tidak berguna yang hanya bisa menghabiskan beras dan lauk pauk di rumah ini saja.

Aku juga tidak akan kalah dari Mas Arif yang bisa mencari dan menghasilkan uang.

"Iya, Sin, tolong aku ya. Aku pengen banget kerja lagi supaya bisa punya penghasilan sendiri, Sin," ucapku lagi pada Sinta.

"Insya Allah, Ya. aku akan bantu kamu semaksimal mungkin nanti. Kamu banyakin doa saja ya semoga nanti Pak Arga berkenan menerima kamu kembali di perusahaan," jawab Sinta di seberang telepon berbarengan dengan suara teriakan Bu Ani, ibu mertuaku yang tiba tiba saja terdengar keras dari arah luar kamar.

"Alya! Ini baju baju kotor kok belum dicuci, kenapa? Gimana sih kamu? Anak tidur, kok kamu bukannya beres beres, nyuci baju! Malah ikut ikutan tidur?"

"Ayo beresin lagi kerjaan di belakang ini! Baru cuci piring aja sudah mau istirahat! Anak tidur itu kesempatan buat ngerjain semuanya tahu! Jangan malah ikut ikutan istirahat!" seru ibu mertua sambil menghempaskan pintu kamar dengan keras.

Mendengar teriakan ibu mertua itu, buru buru aku menutup speaker ponsel, tetapi terlambat sebab dari seberang sana telah terdengar suara tanya bernada heran dari Sinta padaku.

"Ya, itu ibu mertua kamu? Kamu disuruh nyuci baju? Beres beres rumah? Emang nggak ada pembantu ya? Kamu kan habis melahirkan, Ya? Kok disuruh kerja rumah segitu banyak? Emang nggak masalah sama kesehatan kamu?" tanya Sinta beruntun yang membuat dadaku terasa sesak.

Ya, malu rasanya karena teman kantor dulu jadi tahu kalau setelah menikah dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan di perusahaan dulu, aku justru diperlakukan bak pembantu oleh mertua seperti yang aku alami sekarang ini.

Padahal dulu saat mengajukan resign, Sinta pernah mengingatkan agar aku berpikir ulang untuk berhenti bekerja sebab takutnya Mas Arif tak memperlakukan aku dengan baik setelah kami menikah nanti dan punya anak.

Pada saat itu dengan sangat yakin aku mengatakan kalau Mas Arif pasti akan mencukupi kebutuhan hidupku dan rumah tangga kami nantinya dengan baik sesuai janjinya sebelum melamarku menjadi istrinya.

Namun, ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Hanya karena aku banyak makan usai melahirkan, suamiku itu justru tega menghinaku habis habisan seperti ini.

Bukan itu saja, ibu mertua juga tega mengeksploitasi tenagaku layaknya seorang pembantu rumah tangga yang tak perlu dibayar untuk mengerjakan seabrek pekerjaan rumah yang tak ada habis habisnya. Mengecewakan.

"I-ya, Sin, begitulah. Hmm ... udah dulu ya. Aku harus bantu ibu mertuaku dulu mumpung anakku tidur. Nanti kalau sudah ada kabar soal lowongan kerja baru untuk aku, kabari aku secepatnya ya, Sin. Bantu aku ya," ucapku lagi mengiba lalu setelahnya buru buru menutup telepon karena enggan Sinta mendengar kicauan dan kata kata pedas menyakitkan dari ibu mertua padaku lagi.

Dari seberang telepon Sinta mengiyakan. Setelah itu aku pun meletakkan ponsel bertepatan dengan Bu Ani yang kembali membuka suaranya.

"Kamu itu ya, Alya! Anak tidur, bukannya kamu gunakan waktu untuk beres beres rumah! Malah ikutan ngendon di kamar! Gimana nggak makin numpuk aja itu lemak di badan?"

"Sudah sana, cuci baju! Habis itu setrika pakaian bersih biar semuanya beres dan lemak lemak di badan kamu itu juga luntur!"

"Jadi istri kok malas malasan! Nggak cekatan! Pantes aja si Arif pulang telat terus, punya istri bisanya cuma tidur sama makan melulu sih! Ya iyalah males liatnya! Mending di luar, lihat yang cantik cantik dari pada di rumah liat atlet Sumo!" sergah Bu Ani lagi melancarkan ejekan seperti biasanya.

Mendengar kata kata pedas yang ibu mertua ucapkan itu, kali ini rasanya aku tak bisa untuk diam saja sehingga aku pun buka mulut meski sadar konsekuensinya aku dan mertua bakalan ribut adu mulut.

"Bu, cukup! Aku di kamar bukan tidur! Tapi lagi nelpon Sinta, teman kantorku dulu! Nanyain lowongan pekerjaan baru di kantor dulu!"

"Aku mau kerja lagi, Bu, supaya Ibu nggak perlu lagi terus terusan menghinaku banyak makan karena aku memang sedang menyusui Kayla, Bu!"

"Aku akan buktikan pada ibu dan Mas Arief, kalau tanpa kalian, aku juga bisa hidup dan makan kenyang setiap hari demi anakku!"

"Aku akan buktikan kalau aku bukan benalu yang nggak bisa apa apa tanpa kalian berdua! Dengar itu, Bu!" hardikku dengan tanpa basa-basi dan rasa takut sedikit pun lagi.

"Dan maaf ya, Bu ... jangan harap dan paksa aku untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah ini karena aku bukan pembantu, Bu!"

"Aku ini menantu, yang membantu pekerjaan rumah di kediaman mertua dengan kerelaan! Bukan dengan paksaan layaknya ART yang dibayar mahal untuk melakukan semua itu, Bu!"

"Kalau Ibu memaksaku melakukan itu, mending aku jadi office boy di kantor aja dari pada jadi pembantu di rumah ini tapi nggak dibayar dan nggak bisa makan kenyang setiap hari!" tandasku lagi dengan suara keras yang membuat ibu mertua melongo mendengar bantahan dariku kali ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tiaraladiva
Bagus cerita nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status