Share

Bab 3

Mendengar ucapanku, ibu mertua tampak kaget. Wajah ibunda Mas Arif itu terlihat merah.

"Lancang kamu ya! Ngomong sama mertua nggak ada sopan sopannya sama sekali! Dasar menantu kurang ajar! Nggak pernah dididik orang tua kamu makanya bisa ngomong seperti ini sama mertua? Iya?"

"Apa kata kamu tadi? Mau melamar pekerjaan di perusahaan kamu yang dulu itu? Nggak salah? Apa iya, perusahaan bonafit seperti itu mau menerima karyawan gendut seperti kamu?"

"Jangan mimpi deh, Alya! Cukup kamu jadi istri Arif yang baik saja! Nggak usah banyak mimpi karena nggak akan ada perusahaan yang mau memperkerjakan perempuan kek kamu! Mending kamu daftar jadi atlet Sumo aja dari pada ngelamar di perusahaan itu karena itu yang lebih cocok buat kamu!"

"Dulu mungkin kamu bisa bekerja di sana karena badan kamu masih ramping dan singset tapi sekarang badan kamu sudah melar seperti martabat India! Gimana perusahaan mau menerima kamu bekerja kembali!" hardik ibu mertua membalas perkataan dan bantahan dariku tadi.

Mendengar jawaban ibu mertua, aku mencibirkan bibir dengan perasaan sakit. Ibu mertua mulutnya memang 11 - 12 sama anaknya. Sama sama menyakitkan!

"Oh ya? Kita lihat saja nanti ya, Bu! Aku atau Ibu yang terbukti omongannya nanti!"

"Sekarang aku mau istirahat dulu, Bu! Terserah Ibu mau terima atau tidak! Tapi aku capek dari pagi ngerjain dapur sendirian, Bu! Semalam Kayla rewel, jadi aku begadang sendirian karena Mas Arif nggak mau bantuin!"

"Aku mohon sama Ibu beri aku waktu untuk istirahat karena aku ini manusia biasa, Bu, bukan robot yang bisa mengerjakan semuanya sendirian tanpa ada capek capeknya!"

"Mesin saja bisa rusak, Bu! Apalagi cuma badan perempuan kek saya yang habis melahirkan!" ucapku dengan nada tegas sambil tanpa peduli pada ibu mertua yang tega sama menantunya sendiri ini, berlalu dari hadapannya dan kembali menuju ke dalam kamar.

Namun, dengan marah Bu Ani menarik pergelangan tanganku kuat kuat.

"Nanti dulu! Kamu selesaikan dulu cucian baju kotornya Yuni dulu baru boleh istirahat! Karena adik kamu itu sudah ngeluh kehabisan pakaian bersih, Alya!"

"Jadi cepat cuci sekarang, mumpung Yuni belum mau pergi! Nanti kalau sudah mau pergi, susah!"

"Huh! Nasib memang punya kakak ipar pemalas seperti kamu! Baju adik ipar kotor aja, malas mencucikan! Ayo cucikan dulu! Baru kamu bisa istirahat!" ujar ibu mertua lagi sambil memaksaku menuju dapur kembali.

Tapi dengan cepat aku menepis tangan beliau.

"Maaf Bu! Sudah Alya bilang tadi kalau Alya ini bukan pembantu! Jadi suruh saja Yuni cuci bajunya sendiri, Bu! Toh dia juga sudah besar! Sudah kuliah dan nggak punya pekerjaan! Jadi harus sadar diri juga dong kalau di rumah ini nggak ada pembantu yang bisa dia suruh suruh untuk cuci baju dan setrika pakaiannya!"

"Alya nggak mau lagi, Bu mencucikan dan menyetrika baju dia! Mau sampai kapan dia begini ke Alya!"

"Nggak! Alya nggak mau! Kalau Ibu keberatan Alya berada di rumah ini karena nggak mau lagi Ibu suruh suruh, mending biarkan Alya pergi dari sini dari pada Ibu buat Alya macam ART begini!" seruku lagi dengan nada tidak terima.

Bu Ani berdecak sinis mendengar kata kataku itu.

"Yakin kamu mau pergi dari rumah ini heh? Nggak takut jadi gelandangan di luar sana? Kalau nggak takut, silahkan saja kamu pergi sekarang juga! Tapi tinggalkan Kayla! Sebab dia cucu Ibu! Ibu nggak mau dia terlantar dan terlunta-lunta di luar sana karena ikut perempuan nggak bener seperti kamu!" seru beliau tak suka.

"Tapi Kayla putri saya, Bu! Ibu nggak berhak nyuruh saya ninggalin dia sama Ibu karena saya yang melahirkan dia dengan susah payah. Saya juga yang memberi dia ASI dan menyuapi makan setiap hari! Bukan Ibu!"

"Jadi kalau saya pergi, Kayla juga ikut dengan saya, Bu karena saya ibunya! Undang undang pun menyatakan kalau anak dibawah umur lebih berhak ikut ibunya dari pada bapaknya!" ujarku melancarkan bantahan.

Namun, Ibu mertua malah tertawa sumbang.

"Tapi Ibu yang seperti apa? Ibu pengangguran dan nggak punya kerjaan seperti kamu mana punya hak bawa anak segala?"

"Sudah! Kamu nggak usah membantah lagi! Lebih baik kamu cucikan baju Yuni sekarang juga dan beresin dapur dari pada ngomong yang enggak enggak seperti ini! Nanti Ibu khilaf dan ngusir kamu beneran baru tahu rasa kamu! Ayo, sekarang cucikan baju adikmu!" seru Bu Ani kembali.

Namun, lagi lagi aku hanya menggelengkan kepala tak terima lalu dengan cepat berlari ke arah kamar dan menutup pintunya rapat rapat.

Tak aku pedulikan panggilan dan teriakan ibu mertua yang terus melontarkan sumpah serapah karena perintahnya kutolak hingga akhirnya Kayla yang sedang tidur pun terbangun dan menangis.

Namun, tak mengapa. Yang penting aku bisa menghindar dar paksaan ibu mertua untuk menjadi pesuruh adik ipar yang tak punya perasaan dan rasa segan pada kakak ipar itu.

Ya. Aku harus berani mempertahankan diriku sendiri jika tak ingin terus menerus ditindas dan direndahkan oleh mereka. Sebab sebagai seorang perempuan, aku juga punya keterbatasan. Tak mungkin hanya karena takut dengan mertua dan suami, aku lantas harus mengorbankan kesehatan fisik dan mentalku sendiri hingga terpaksa mengerjakan semuanya bak pembantu tak dibayar.

Sudah begitu, mau makan kenyang demi Kayla pun tak bisa. Padahal aku hanya ingin dengan memperbanyak asupan gizi yang masuk ke dalam tubuhku maka tumbuh kembang putriku itu bisa menjadi lebih maksimal lagi.

Namun, bukannya senang dan mendukung, ibu mertua dan suami malah tega mem-bullyku habis habisan dengan menyebutku rakus, gendut dan lain lain sebutan yang menyakitkan hati.

Padahal kalau aku lihat di kaca, tubuhku tidaklah semengerikan seperti kata mereka meski memang jauh lebih berisi dibandingkan saat masih gadis dulu.

Tapi apa dengan begitu, ibu dan Mas Arif lantas berhak mengejek dan mem-bullyku habis habisan seperti ini? Aku rasa tidak!

*****

[Ya, hari ini Mas pulang telat ya. Ada lembur di kantor nanti malam. Mungkin nggak pulang malah. Kamu nggak usah nunggu Mas! Langsung tidur aja nanti!] Pesan Mas Arif melalui pesan W******p.

Aku yang barusan membuka aplikasi hijau milikku itu hanya mampu membalas dengan jawaban iya, meski di dalam hati sedikit heran mendapati suamiku itu tumben tumbennya lembur malam sebab biasanya dia menolak karena malas waktu istirahatnya terganggu.

Tapi masa bodoh lah! Mau lembur, mau jalan bareng temen temennya yang akhir akhir ini sering dia lakukan, aku tak peduli lagi. Sebab hatiku sudah terlanjur sakit dan mati rasa terhadapnya.

Entah sampai kapan aku harus dan bisa bertahan bila suamiku itu terus menghina dan mem-bullyku habis habisan. Rasanya aku sudah lelah dan berada di ujung rasa sabar yang sudah semakin menipis.

Ya, kalau misalnya rumah tangga kami tak bisa diselamatkan lagi karena egonya yang tinggi dan tak pernah mau mengerti aku sedikit pun itu, maka aku rela jika rumah tangga kami harus berakhir sampai di sini karena aku juga sudah lelah dia perlakuan dengan sangat kasar dan tak punya perasaan seperti yang akhir akhir ini dia lakukan.

Ting.

Aku kembali meraih ponsel di atas meja kecil di sudut kamar saat mendengar benda segi empat itu berbunyi kembali.

Kuraih benda itu dan kubuka pesan W******p yang baru saja masuk yang ternyata dari sahabatku Sinta.

[Alhamdulillah, Ris, sepertinya Pak Arga bersedia menerima kamu kembali bekerja di perusahaan beliau. Kebetulan sekretaris beliau baru saja mengundurkan diri sebab baru saja menikah dengan seorang pengusaha kaya dan nggak diizinkan lagi untuk bekerja.]

[Kesempatan bagus banget ini, Ya. Kamu mau kan jadi sekretarisnya Pak Arga? Mau ya, Ya. Kesempatan nggak datang dua kali soalnya.]

[Tapi yaaa ... pastikan dulu suami kamu memberikan izin. Sebab kalau nggak izin, takutnya nanti ada apa apa saat sedang bekerja, suami kamu nyalahin kamu lagi Ya.] ujar Sinta pada papan obrolan.

Aku pun buru buru menjawab dengan hati riang.

[Iya, Sin. Tentu saja aku mau dan senang sekali kalau bisa kerja lagi di sana. Hmm ... kalau masalah izin, nanti aku akan bicara baik baik dengan Mas Arif ya, Sin. Semoga dia mengizinkan. Sebab saat ini kami memang sedang kekurangan finansial, Sin. Aku sedang menyusui Kayla sementara gaji Mas Arif pas pasan untuk biaya makan kami satu keluarga sehingga ASI ku sering nggak keluar, Sin," ujarku terus terang.

Ya, sejak mulai sering di-bully dan dipaksa hemat makan bahkan tak jarang tak boleh makan sama sekali demi penghematan, produksi ASI-ku memang menjadi tersendat dan berkurang yang mengakibatkan Kayla sering rewel dan menangis. Apalagi hari ini seharian aku tak keluar kamar karena baru saja ribut dengan mertua, jadilah semakin berkurang produksi ASI-ku.

Akan tetapi karena belum ada kabar dari Sinta soal lowongan pekerjaan yang aku nanti nantikan ini, maka aku pun terpaksa bertahan berada di rumah ini sebab aku tak punya tempat lain untuk mengadu dan minta pertolongan selain di sini karena pulang ke rumah orang tua juga rasanya malu.

Jadilah aku terpaksa tetap bertahan menjelang sudah ada pijakan baru seperti adanya pekerjaan yang alhamdulilah Sinta sampaikan informasinya ini yang membuatku akhirnya yakin untuk benar benar pergi meninggalkan rumah ini.

Ya, bagaimana pun Bu Ani mencoba menghalangiku keluar dari rumah ini dengan alasan tak boleh membawa Kayla ikut serta bersamaku akan tetapi karena aku terus menerus dihina dan direndahkan oleh Mas Arif dan ibunya, maka pergi dari rumah ini dan membangun hidup sendiri mungkin adalah hal yang sebaiknya aku lakukan sebab tak mungkin selamanya aku mau ditindas seperti ini. Tidak! Capek dan lelah rasanya!

Hanya saja ada sedikit keraguan, apa iya dengan bodi dan penampilanku saat ini, aku bisa menjadi seorang sekretaris direktur yang notabene biasanya berpenampilan cantik dan menarik? Sementara wajahku sekarang dipenuhi flek hitam dan bekas jerawat? Bobot tubuhku juga naik drastis dari yang dulu sehingga tampak sangat berisi?

Apa Pak Arga bersedia menerimaku menjadi sekretarisnya bila tahu aku yang sekarang bukanlah Alya yang dulu yang selalu berpenampilan menarik dan energik karena punya penghasilan sendiri dan belum punya beban serta tanggungan apa apa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status