Share

Bab 2. Bunda dan Mama

ISTRI KEDUA AYAHKU 2

Ruang makan Bunda malam ini terang benderang. Meja panjang dengan kapasitas sepuluh orang itu mendominasi ruangan. Berbagai menu makan malam yang menggoda selera tampak di sana, tapi tak seorang pun menyentuhnya. Di kepala meja, Ayah duduk dengan raut wajah tanpa senyum. Di sebelah kanannya ada Bunda, aku dan Amira. Mama duduk di seberang Bunda dengan ekspresi kesal. Dia telah lama mendambakan duduk di sebelah kanan Ayah. Di kepala meja yang satunya, Eyang putri, wanita berusaha tujuh puluh delapan tahun yang masih tampak bugar itu duduk dengan tenang, seakan tak terjadi apa-apa. Sementara aktor utama acara malam ini belum juga nampak batang hidungnya.

Ayah menoleh lagi pada jam antik setinggi manusia dewasa yang menggantung di ruang tengah, yang terlihat dari tempatnya duduk. Sudah pukul tujuh tiga puluh malam, setengah jam dari waktu yang ditentukan. Huda harusnya tahu bahwa Ayah tak mentolerir keterlambatan.

"Kemana dia?" Tanya Ayah pada Mama.

Mama tak langsung menjawab. Dia menoleh sejenak pada Eyang, yang selama ini selalu menjadi tameng hidup bagi segala kelakuan buruk Huda. Eyang sendiri asik mengaduk jahe susu miliknya seolah tanpa peduli apa apa.

"Laksmi…"

"Emm… tadi dia pamit hendak menemui temannya Mas. Katanya besok akan ada acara santunan ke yayasan yatim piatu."

Kami semua mengangkat kepala, menatap Mama. Tahu dengan pasti bahwa alasannya hanya dusta belaka. Huda tak pernah menyentuh hal hal semacam itu. Bersenang-senang adalah jadwal kegiatannya dari membuka mata hingga terlelap lagi.

Ayah mendesah kesal. Beliau mulai meraih piring.

"Kita makan dulu. Setelah ini jangan ada yang beranjak dari meja makan. Aku mau bicara."

Bunda mengangguk, menyendok nasi dan menuangkannya ke piring Ayah. Sementara Amira membantu Eyang, yang diterima oleh sang nenek tanpa ekspresi. Sejak dulu, cucu perempuan adalah manusia nomor dua di matanya.

"Katakan saja sekarang. Tak perlu menunggu nanti. Ini semua karena aduan Elisa kan? Kau tak pernah lelah menjelek jelekkan adikmu ya?"

Kami semua terkejut mendengar suara Mama. Tangan Ayah yang baru saja menyuap nasi ke mulut terhenti. Diletakkannya lagi sendok itu di atas piring. Bunda terdiam, sementara aku menunggu reaksi Ayah. Mama sungguh tak tahu adab di meja makan.

"Elisa tidak mengadu. Dia memberikan bukti yang nyata dari perbuatan Huda kali ini." Ujar Ayah.

"Kalaupun memang benar, apa susahnya mengulangi semua seperti biasa? Beri saja sejumlah uang dan suruh dia pergi dari sini. Terserah apakah mau digugurkan atau tidak."

"Laksmi…" Suara Ayah terdengar menahan amarah. Tidak biasanya Ayah bersikap seperti ini pada Mama, apalagi di depan Eyang. Mama sangat tahu bahwa Eyang akan selalu berada di belakangnya sehingga dia kerap memanfaatkan situasi itu demi kepentingannya sendiri. Tapi kali ini sepertinya Ayah sudah tak tahan lagi.

"Aku sudah tak ingat lagi berapa kali Huda melakukan hal semacam ini. Benar kata Elisa, kali ini Huda harus bertanggung jawab."

"Elisa lagi!" Mama berdiri, benar-benar melupakan adab di meja makan. Dia menatapku dengar raut murka. Aku diam, berusaha tetap tenang. Kutatap Mama yang kini menuding kan telunjuknya ke wajahku.

"Kau selalu mencari cari kesalahan Huda. Apa karena kau iri dan tak mau Huda menjadi pemimpin perusahaan kelak?"

"Duduklah Laksmi." Suara Bunda lembut. "Dan kuharap kau berhenti berteriak. Ingat ada Ibu di sini."

Kami serentak menoleh pada Eyang. Sementara yang ditatap hanya menyilangkan tangan di atas meja makan. Biasanya, selain Ayah, suara Eyang menjadi pertimbangan utama di rumah ini dalam mengambil keputusan.

"Ibu… Ibu tahu kan Huda itu masih muda. Aku tak ingin dia menikah di usia muda dan mendengar rengekan bayi setiap hari. Kasihan dia. Dia belum puas menikmati masa remajanya."

Mama mulai melancarkan aksinya. Ayah mendesah, biasanya mereka akan kalah jika sudah adu argumen dengan Eyang.

"Ibu, kita tak bisa terus membiarkan Huda seperti ini. Kita semua ikut menanggung dosanya." Ujar Bunda, tak peduli mata Mama mendelik marah. Mama bahkan tak juga duduk kembali seperti permintaan Bunda.

"Benar. Berapa banyak bayi tak berdosa yang kita bunuh selama ini?" Tanya Ayah.

Aku dan Amira serempak bergidik mendengarnya. Huda benar-benar membuat keluarga kami berisi orang-orang tak punya hati.

"Ibu, tolong dengarkan aku…"

Eyang tiba-tiba mengangkat tangannya, menyuruh Mama berhenti. Tanpa kuduga, dia menoleh padaku.

"Elisa, cari adikmu. Eyang tak peduli bagaimana caranya, bawa dia ke hadapan Eyang malam ini juga."

Kulihat dada Mama naik turun dengan cepat. Sebelumnya, Eyang tak pernah begini. Kami biasanya menyelesaikan semua masalah ini tanpa perlu memanggil Huda, karena percuma membujuknya untuk menjadi seorang lelaki. Ketika seorang gadis datang, mengaku hamil atau kehilangan keperawanannya oleh Huda, maka Eyang tinggal mentransfer sejumlah uang. Maka gadis itu akan menghilang.

Harus menghilang.

Sungguh, keluargaku yang di mata orang-orang adalah keluarga terhormat, nyatanya berisi sekumpulan manusia bejat. Dan aku bertekad merubahnya mulai malam ini.

Aku mengangguk, mendorong kursiku ke belakang lalu pamit pada Ayah dan Bunda tanpa sedikitpun menyentuh makanan. Selera makan dan rasa lapar menguap begitu suasana tegang menggantung di langit-langit ruang makan. Amira menahan tanganku, meminta ikut.

'Tidak, kau harus disini menjaga Bunda.' Ujarku dengan bahasa isyarat. Amira mengangguk, meski aku tahu dia berat membiarkanku pergi sendiri. Tapi seperti kemarin kemarin, jika Mama sedang kesal, maka Bunda yang akan menjadi pelampiasan amarahnya. Dan kau tak akan percaya apalagi sanggup membayangkan apa yang bisa dia lakukan. Karenanya aku butuh Amira, sampai Mama kembali ke rumahnya sendiri esok pagi.

Aku kembali memacu pajero hitam kesayanganku. Mobil ini hadiah dari Papa karena aku lulus cum laude dari jurusan bisnis Harvard University. Sesuatu yang memicu rasa iri Mama kemudian karena Huda nyatanya tak diterima di Universitas Negeri manapun di Indonesia. Dia terlalu banyak main, hingga Mama akhirnya memaksa Papa membeli kursi di kampus bergengsi di Jakarta dengan jumlah fantastis. Dia baru saja lulus tahun lalu dan setahun penuh dia habiskan untuk bertualang dengan gadis-gadis.

Setelah mencari di beberapa tempat dia biasa nongkrong tanpa hasil, aku kembali berkeliling. Di depan sebuah night club, aku menghentikan mobil. Malam telah mulai larut. Sesaat, kupandang penampilanku. Meski belum berhijab seperti Bunda, aku senantiasa berpakaian sopan. Celana longgar dengan kaus dan long jacket berwarna coklat tua ini menyembunyikan tubuhku yang semampai dengan sempurna. Aku tak suka dipandangi mata liar lelaki yang bertebaran di tempat ini.

Setelah menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan penjaga di depan, aku masuk dan langsung disambut musik yang hingar bingar. Dan benar saja, dia disana, duduk di sofa dikelilingi teman-teman yang sama brengs*knya. Dan hebatnya, dia tengah memangku seorang gadis yang berpakaian kurang bahan. Dia lupa bahwa dia baru saja membuat seorang gadis lagi menangis hari ini.

Tanpa kata-kata, aku menarik kerah bajunya hingga berdiri. Huda terkejut. Si perempuan dan teman-temannya langsung menyingkir begitu melihatku. Mereka menepi dan menonton dalam diam. Semua orang yang melihat kami tentu menyadari kemiripan garis wajahku dan dirinya.

"Kak Elisa?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status