Home / Urban / ISTRI KEDUA AYAHKU / Bab 2. Bunda dan Mama

Share

Bab 2. Bunda dan Mama

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2022-08-16 09:04:01

ISTRI KEDUA AYAHKU 2

Ruang makan Bunda malam ini terang benderang. Meja panjang dengan kapasitas sepuluh orang itu mendominasi ruangan. Berbagai menu makan malam yang menggoda selera tampak di sana, tapi tak seorang pun menyentuhnya. Di kepala meja, Ayah duduk dengan raut wajah tanpa senyum. Di sebelah kanannya ada Bunda, aku dan Amira. Mama duduk di seberang Bunda dengan ekspresi kesal. Dia telah lama mendambakan duduk di sebelah kanan Ayah. Di kepala meja yang satunya, Eyang putri, wanita berusaha tujuh puluh delapan tahun yang masih tampak bugar itu duduk dengan tenang, seakan tak terjadi apa-apa. Sementara aktor utama acara malam ini belum juga nampak batang hidungnya.

Ayah menoleh lagi pada jam antik setinggi manusia dewasa yang menggantung di ruang tengah, yang terlihat dari tempatnya duduk. Sudah pukul tujuh tiga puluh malam, setengah jam dari waktu yang ditentukan. Huda harusnya tahu bahwa Ayah tak mentolerir keterlambatan.

"Kemana dia?" Tanya Ayah pada Mama.

Mama tak langsung menjawab. Dia menoleh sejenak pada Eyang, yang selama ini selalu menjadi tameng hidup bagi segala kelakuan buruk Huda. Eyang sendiri asik mengaduk jahe susu miliknya seolah tanpa peduli apa apa.

"Laksmi…"

"Emm… tadi dia pamit hendak menemui temannya Mas. Katanya besok akan ada acara santunan ke yayasan yatim piatu."

Kami semua mengangkat kepala, menatap Mama. Tahu dengan pasti bahwa alasannya hanya dusta belaka. Huda tak pernah menyentuh hal hal semacam itu. Bersenang-senang adalah jadwal kegiatannya dari membuka mata hingga terlelap lagi.

Ayah mendesah kesal. Beliau mulai meraih piring.

"Kita makan dulu. Setelah ini jangan ada yang beranjak dari meja makan. Aku mau bicara."

Bunda mengangguk, menyendok nasi dan menuangkannya ke piring Ayah. Sementara Amira membantu Eyang, yang diterima oleh sang nenek tanpa ekspresi. Sejak dulu, cucu perempuan adalah manusia nomor dua di matanya.

"Katakan saja sekarang. Tak perlu menunggu nanti. Ini semua karena aduan Elisa kan? Kau tak pernah lelah menjelek jelekkan adikmu ya?"

Kami semua terkejut mendengar suara Mama. Tangan Ayah yang baru saja menyuap nasi ke mulut terhenti. Diletakkannya lagi sendok itu di atas piring. Bunda terdiam, sementara aku menunggu reaksi Ayah. Mama sungguh tak tahu adab di meja makan.

"Elisa tidak mengadu. Dia memberikan bukti yang nyata dari perbuatan Huda kali ini." Ujar Ayah.

"Kalaupun memang benar, apa susahnya mengulangi semua seperti biasa? Beri saja sejumlah uang dan suruh dia pergi dari sini. Terserah apakah mau digugurkan atau tidak."

"Laksmi…" Suara Ayah terdengar menahan amarah. Tidak biasanya Ayah bersikap seperti ini pada Mama, apalagi di depan Eyang. Mama sangat tahu bahwa Eyang akan selalu berada di belakangnya sehingga dia kerap memanfaatkan situasi itu demi kepentingannya sendiri. Tapi kali ini sepertinya Ayah sudah tak tahan lagi.

"Aku sudah tak ingat lagi berapa kali Huda melakukan hal semacam ini. Benar kata Elisa, kali ini Huda harus bertanggung jawab."

"Elisa lagi!" Mama berdiri, benar-benar melupakan adab di meja makan. Dia menatapku dengar raut murka. Aku diam, berusaha tetap tenang. Kutatap Mama yang kini menuding kan telunjuknya ke wajahku.

"Kau selalu mencari cari kesalahan Huda. Apa karena kau iri dan tak mau Huda menjadi pemimpin perusahaan kelak?"

"Duduklah Laksmi." Suara Bunda lembut. "Dan kuharap kau berhenti berteriak. Ingat ada Ibu di sini."

Kami serentak menoleh pada Eyang. Sementara yang ditatap hanya menyilangkan tangan di atas meja makan. Biasanya, selain Ayah, suara Eyang menjadi pertimbangan utama di rumah ini dalam mengambil keputusan.

"Ibu… Ibu tahu kan Huda itu masih muda. Aku tak ingin dia menikah di usia muda dan mendengar rengekan bayi setiap hari. Kasihan dia. Dia belum puas menikmati masa remajanya."

Mama mulai melancarkan aksinya. Ayah mendesah, biasanya mereka akan kalah jika sudah adu argumen dengan Eyang.

"Ibu, kita tak bisa terus membiarkan Huda seperti ini. Kita semua ikut menanggung dosanya." Ujar Bunda, tak peduli mata Mama mendelik marah. Mama bahkan tak juga duduk kembali seperti permintaan Bunda.

"Benar. Berapa banyak bayi tak berdosa yang kita bunuh selama ini?" Tanya Ayah.

Aku dan Amira serempak bergidik mendengarnya. Huda benar-benar membuat keluarga kami berisi orang-orang tak punya hati.

"Ibu, tolong dengarkan aku…"

Eyang tiba-tiba mengangkat tangannya, menyuruh Mama berhenti. Tanpa kuduga, dia menoleh padaku.

"Elisa, cari adikmu. Eyang tak peduli bagaimana caranya, bawa dia ke hadapan Eyang malam ini juga."

Kulihat dada Mama naik turun dengan cepat. Sebelumnya, Eyang tak pernah begini. Kami biasanya menyelesaikan semua masalah ini tanpa perlu memanggil Huda, karena percuma membujuknya untuk menjadi seorang lelaki. Ketika seorang gadis datang, mengaku hamil atau kehilangan keperawanannya oleh Huda, maka Eyang tinggal mentransfer sejumlah uang. Maka gadis itu akan menghilang.

Harus menghilang.

Sungguh, keluargaku yang di mata orang-orang adalah keluarga terhormat, nyatanya berisi sekumpulan manusia bejat. Dan aku bertekad merubahnya mulai malam ini.

Aku mengangguk, mendorong kursiku ke belakang lalu pamit pada Ayah dan Bunda tanpa sedikitpun menyentuh makanan. Selera makan dan rasa lapar menguap begitu suasana tegang menggantung di langit-langit ruang makan. Amira menahan tanganku, meminta ikut.

'Tidak, kau harus disini menjaga Bunda.' Ujarku dengan bahasa isyarat. Amira mengangguk, meski aku tahu dia berat membiarkanku pergi sendiri. Tapi seperti kemarin kemarin, jika Mama sedang kesal, maka Bunda yang akan menjadi pelampiasan amarahnya. Dan kau tak akan percaya apalagi sanggup membayangkan apa yang bisa dia lakukan. Karenanya aku butuh Amira, sampai Mama kembali ke rumahnya sendiri esok pagi.

Aku kembali memacu pajero hitam kesayanganku. Mobil ini hadiah dari Papa karena aku lulus cum laude dari jurusan bisnis Harvard University. Sesuatu yang memicu rasa iri Mama kemudian karena Huda nyatanya tak diterima di Universitas Negeri manapun di Indonesia. Dia terlalu banyak main, hingga Mama akhirnya memaksa Papa membeli kursi di kampus bergengsi di Jakarta dengan jumlah fantastis. Dia baru saja lulus tahun lalu dan setahun penuh dia habiskan untuk bertualang dengan gadis-gadis.

Setelah mencari di beberapa tempat dia biasa nongkrong tanpa hasil, aku kembali berkeliling. Di depan sebuah night club, aku menghentikan mobil. Malam telah mulai larut. Sesaat, kupandang penampilanku. Meski belum berhijab seperti Bunda, aku senantiasa berpakaian sopan. Celana longgar dengan kaus dan long jacket berwarna coklat tua ini menyembunyikan tubuhku yang semampai dengan sempurna. Aku tak suka dipandangi mata liar lelaki yang bertebaran di tempat ini.

Setelah menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan penjaga di depan, aku masuk dan langsung disambut musik yang hingar bingar. Dan benar saja, dia disana, duduk di sofa dikelilingi teman-teman yang sama brengs*knya. Dan hebatnya, dia tengah memangku seorang gadis yang berpakaian kurang bahan. Dia lupa bahwa dia baru saja membuat seorang gadis lagi menangis hari ini.

Tanpa kata-kata, aku menarik kerah bajunya hingga berdiri. Huda terkejut. Si perempuan dan teman-temannya langsung menyingkir begitu melihatku. Mereka menepi dan menonton dalam diam. Semua orang yang melihat kami tentu menyadari kemiripan garis wajahku dan dirinya.

"Kak Elisa?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 51 (ekstra part)

    ISTRI KEDUA AYAHKU (Ekstra part)PoV HUDASatu tahun kemudianRumah terasa demikian sepi setelah Kak Elisa menikah dan tinggal terpisah. Meski hanya Kak Elisa yang pergi, pengaruhnya ternyata begitu besar. Tak ada lagi yang sibuk membangunkanku dan Amira. Tak ada yang melotot memarahiku jika aku terlambat pulang hingga larut malam. Dan tak ada yang memeluk setiap kali aku murung karena rasa ingin tahu ku pada keluarga kandung yang tak terbendung.Aku kehilangan Kak Elisa, seperti aku kehilangan jejak pada orang tua kandung yang entah dimana. Sekian lama kucoba ikhlas dan melupakan, tetap saja, ada rasa tak nyaman di dalam hati. Seharusnya, aku bukan bagian dari keluarga terhormat ini. Bagaimana jika ternyata, aku adalah anak seorang pelacur? Seorang penjahat? Atau pembunuh?"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci Huda. Tak peduli siapa orang tua kandungmu, kau tetap anak Ayah, dan adikku."Kak Elisa telah benar-benar melupakan diriku yang dulu kerap membuat onar. Padahal aku tak pe

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 50

    ISTRI KEDUA AYAHKU 50 (ENDING)PoV ELISAAdakah hari yang lebih dinantikan setiap wanita selain hari ini? "Kamu cantik banget pakai jilbab El. Auramu makin bersinar."Bunda menangkup wajahku dengan lembut. Aku tersenyum ketika beliau menghela tubuhku ke depan cermin sementara sang make up artist yang baru saja selesai memoles wajahku menunggu dengan wajah sedikit tegang. Dia dulu pernah merias kami sekeluarga saat Huda wisuda dan protes dari Mama yang mau ini dan itu terus bertubi-tubi.Ah, Mama. Rasanya masa itu telah jauh tertinggal. Apapun kesalahanmu dimasa lalu, kami semua telah memaafkanmu dan berdamai dengan takdir. Semoga dirimu tenang setelah mendapat pengampunan dari orang-orang yang pernah kau sakiti.Dan aku tetap saja takjub melihat diriku sendiri. Make up flawless yang membuat wajahku tetap tampak seperti diriku. Dengan kebaya putih panjang hingga menyentuh lantai dan jilbab putih terbuat dari sutera, aku tak bisa memungkiri bahwa benar kata orang-orang bahwa aku cantik

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 49

    ISTRI KEDUA AYAHKU 49PoV HUDAAku melangkah dengan cepat keluar dari kamar super VIP, dimana mereka semua berkumpul. Sungguh, mendengar penjelasan Eyang tadi, meski gemetar dan tak menyangka, sebagai sisi hatiku tak menyangkalnya. Sejak dulu aku merasa begitu berbeda. Mungkin secara fisik, aku mirip mereka. Tapi banyak orang berkata, sedikitpun aku tak punya aura bangsawan. Tapi, bagaimana aku bisa mirip Ayah dan Akak Elisa? Tapi ah, Bukankah seorang anak angkat saja bisa menjadi mirip orang tua angkat yang mengasuhnya penuh cinta. Apa lagi aku, yang lebih banyak menghabiskan masa kecil di rumah Bunda.Di salah satu sudut halaman parkir, aku berhenti. Kakiku yang lelah membuatku tak mampu lagi melangkah. Aku duduk di salah satu bangku semen yang teduh oleh pohon akasia. Bangku ini tampaknya memang sengaja dibuat sebagai tempat istirahat.Selama ini, aku menghabiskan begitu banyak uang, menciptakan begitu banyak masalah di keluarga ini. Padahal aku sama sekali bukan bagian dari merek

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 48

    ISTRI KEDUA AYAHKU 48Elisa, begitu banyak dosa yang telah Eyang lakukan pada keluarga ini. Eyang takut, jika Eyang mati sebelum memberi tahumu semua yang sebenarnya terjadi. Satu dosa besar, yang kerap membuat Eyang gemetar setiap malam. Elisa, apakah benar Dia maha pengampun?Aku tercenung sambil memegang kertas berisi tulisan tangan Eyang yang rapi. Dalam sebuah buku novel cetakan lama, di samping kacamata bacanya, kertas ini kutemukan. Eyang sendiri telah berada di rumah sakit, koma tanpa diagnosa. Sungguh aneh. Dirinya seakan hanya tertidur. Tidur yang sangat lama karena hingga seminggu kemudian, Eyang tak juga bangun. Dokter yang heran karena tak menemukan penyebabnya, hanya memintaku menunggu.Apa yang sebenarnya Eyang sembunyikan? Apa yang membuat jiwamu berkelana hingga tak juga kembali? Aku bersandar di bangku ruang tunggu dengan perasaan lelah. Rumah sakit seakan menjadi tempat yang begitu akrab denganku. Orang-orang yang kucintai masuk dan keluar, silih berganti."Tita su

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 47

    ISTRI KEDUA AYAHKU 47Aku menatap Bunda dengan raut terkejut yang tak dapat kusembunyikan. Sakha bergerak cepat. Kemarin, ketika, lagi lagi aku luruh dalam genggaman tangannya, dia memang berkata akan segera melamarku apapun yang terjadi. Dia tak peduli jika harus ditolak atau bahkan dihina. Dia akan berjuang keras dengan satu keyakinan, bahwa cintaku cukup baginya mampu melakukan itu semua."Lalu, Ayah dan Bunda? Emm… maksudku, Ayah menerimanya?""Oh, apa kau ingin Ayahmu menolaknya saja?"Suara Bunda jelas menggoda. Aku tersipu. Bagaimana mungkin aku ingin Ayah menolak, jika hatiku begitu ingin bersamanya. Tiba-tiba saja, kemungkinan bahwa Eyang tidak menyukainya, atau Tita yang cemburu tak lagi kupikirkan. Jatuh cinta membuatku menjadi sedikit egois."Kau tahu apa yang dikatakan calon mertuamu?"Bunda bahkan langsung menyebut Ibunya dengan calon mertua."Sakha mencintai Elisa dengan tulus. Demi Allah, dendam itu telah lama hilang melihat anak gadis kalian yang begitu tulus dan baik

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 46

    ISTRI KEDUA AYAHKU 46"Tumor otak stadium dua."Satu kalimat itu nyatanya mampu membuat suasana dalam ruangan Dokter Annisa mencekam. Dapat ku rasakan jemari Tante Dayana mencengkram lenganku dengan kencang. Aku memegang lengannya, menepuknya perlahan agar dia bisa sedikit lebih tenang."Beruntung kita segera menemukannya. Peluang keberhasilan operasi pada jenis Tumor ini sangat besar. Ibu tidak perlu terlalu cemas." Ujar dokter Annisa sambil menatapku dan Tante Dayana bergantian."Saya minta rujukan tindakan apa yang terbaik untuk Tita dan rumah sakit mana yang paling banyak tingkat keberhasilannya dokter."Dokter Annisa mengangguk."Saya merekomendasikan Saint Mary Mayo Clinic. Rochester, Amerika Serikat."Aku menatap Tante Dayana, meminta persetujuannya. Sepertinya dia sendiri kebingungan. "Bagaimana baiknya menurutmu El." Ujarnya pasrah.Aku kembali menatap dokter Annisa."Tolong siapkan rujukannya dokter. Saya akan membawa Tita kesana."***"El… Tante takut. Takut sekali."Aku m

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 45

    ISTRI KEDUA AYAHKU 45Tentu saja, saat yang paling menguras emosi adalah saat Eyang masuk ke dalam kamar dan berlutut memohon maaf dari Tante Dayana dan Tita. Tita yang nekad mencabut jarum infus dengan paksa, tak peduli setitik darahnya muncrat. Dia terhuyung huyung dan nyaris jatuh seandainya Tante Dayana tidak segera memeluknya. Aku urung keluar meski pintu telah terbuka. Karena itu jugalah, Eyang yang ternyata telah berdiri di depan pintu melihat semua kejadian itu."Anakku, cucuku…"Eyang, yang selama dua puluh lima tahun aku mengenalnya adalah wanita paling angkuh di dunia, yang di dadanya, hanya ada harta dan kehormatan keluarga yang patut dijaga, tiba tiba saja berlutut di hadapan anak dan cucunya."Ini semua salah Eyang. Katakan apa yang harus Eyang lakukan untuk menebus dosa pada kalian."Dalam pelukan Tante Dayana, Tita gemetar. Dapat kulihat bagaimana Tante Dayana mulai luluh oleh ketulusan hati Eyang. Tapi Tita, gejolak darah mudanya melarang dia memaafkan begitu saja."

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 44

    ISTRI KEDUA AYAHKU 44PoV TITAAku menggeraikan rambut ke depan menutupi wajah. Untung saja, aku belum memakai baju tahanan. Kalau tidak, tentu gerakku akan sulit. Berjalan kaki kembali ke rumah, aku tak punya pilihan lain. Aku hanya ingin memastikan Ibu baik-baik saja sebelum meninggalkannya. Air mataku menetes. Masih dapat kuingat bagaimana kemiskinan kami kerap menjadi hinaan tetangga. Bukan, bukan karena Bapak tak berusaha. Beliau bahkan berusaha terlalu keras hingga akhirnya sungai merengggut nyawanya ketika aku masih kecil. Ibuku yang cacat, memutuskan untuk sendirian merawatku. meski dia adalah Ibu terbaik didunia, fisik tetaplah yang utama.Ibu, maafkan aku, aku hampir saja berhasil membalas dendam untukmu. Tapi aku terlalu gegabah. Aku… aku bahkan nyaris menjadi pembunuh. Mengingat hal itu, hatiku gentar. Aku tak boleh masuk penjara, bagaimana dengan Ibu? Tapi semua sudah terlanjur. Satu satunya yang bisa kulakukan adalah pergi dari sini.Perutku perih karena lapar. Sudah s

  • ISTRI KEDUA AYAHKU   Bab 43

    ISTRI KEDUA AYAHKU 43Di luar, malam telah semakin pekat oleh mendung yang menggelayut. Sesekali, suara gemuruh petir terdengar dan cahaya kilat membelah langit. Seakan tak cukup gerimis dalam hati ini, langit telah pula siap menumpahkan tangis."Tante…" Aku memegang lengannya, menatap matanya yang penuh luka itu. Membayangkan diriku berada di posisinya saja sudah sangat menyedihkan, apalagi dia yang selama empat puluh delapan tahun mengalami, menyaksikan putri satu satunya hidup dalam derita.Tante Dayana balas menatapku."Aku tahu kau anak yang baik, El. Sayang, kau harus lahir dari keluarga ini." Desis nya."Aku mohon jangan pergi. Semua harus terang benderang. Ini rumah Tante. Biarkan Eyang tahu.""Tidak." Tante Dayana masih bersikukuh. Dia bahkan telah mulai membuka pintu rumah."Aku telah bersumpah untuk tidak akan kembali. Rasa sakit dalam dadaku ini tak akan pernah ada obatnya. Yang kuinginkan hanya satu, kembalikan Tita.""Aku akan mengusahakannya Tante. Tapi tolong, tinggal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status