ISTRI KEDUA AYAHKU
"Mbak Elisa, maaf. Tapi saya harus jujur demi nama baik dan masa depan saya. Saya sedang hamil anak Mas Huda, Mbak."Aku menatap gadis muda di hadapanku. Tubuhnya bergerak gelisah, wajah pucat pasi dengan sepasang netra yang siap menumpahkan air mata. Sesaat, kulihat dia berusaha meneguhkan diri. Dia mengusap matanya yang mulai basah, lalu menatapku dengan pandangan teguh. Aku menghela nafas. Huda, adikku. Adik satu Ayahku, lagi lagi membuat ulah. Entah untuk keberapa kalinya aku harus menghadapi situasi seperti ini.Aku menghela nafas dalam-dalam. Kupegang lengan gadis itu. Aku tahu dia tidak berdusta. Huda adikku, memang seorang playboy kelas kakap. Kelakuannya kerap membuat pusing keluarga besar kami. Bukan hanya Ayah dan Mama, ibu kandungnya yang merupakan istri kedua ayahku, yang kena getahnya. Tapi Ibuku yang merupakan istri pertama Ayah dan juga aku beserta Amira, adikku yang lain. Tak terhitung berapa banyak sudah uang Ayah keluarkan demi membungkam mulut para korban yang meminta jalan damai karena Huda tak pernah punya niat menikahi salah satu dari mereka."Siapa namamu?" Tanyaku."Saskia. Saya karyawan bagian administrasi di kantor Mas Huda."Aku terdiam sejenak, menuruti kata hati ingin sekali rasanya aku menghajar adikku itu saat ini. Tapi aku tentu akan menghadapi kemurkaan Mama, Ibu kandungnya, yang tak pernah menerima kenyataan bahwa anaknya sebejat itu."Tinggalkan alamatmu di sini. Saya akan membicarakannya pada orang tua saya."Dia menatapku sejenak."Saya tidak minta dijanjikan lalu dilupakan seperti para korban Mas Huda sebelumnya. Saya mau dinikahi karena Mbak Elisa tahu sendiri, siapa yang mau menikahi wanita yang sudah tak perawan seperti saya."Aku memandangnya dalam-dalam."Apa kau siap mempunyai suami seperti adikku itu? Kau tahu sepak terjangnya. Kau bahkan menyebut kata 'para korban'. Itu berarti bukan hanya satu."Gadis itu balas memandangku dengan sinar mata teguh. Dia menyusut lagi air matanya kuat kuat."Siap Mbak. Saya akan menghentikan petualangan Mas Huda."***"Namanya Saskia. Usianya dua puluh dua tahun. Huda sudah mengambil keperawana*nya dengan intimidasi. Dan kini gadis itu hamil dua bulan."Aku meletakkan map berisi data Saskia ke atas meja kerja Ayah. Ayahku, lelaki berusia lima puluh lima tahun itu bersandar di kursinya sambil memijat kepala. Aku menatapnya prihatin."Sudah saatnya Ayah bertindak tegas. Kita tidak bisa selamanya membiarkan saja kesalahan Huda dan menutup mulut para perempuan itu dengan uang. Kita sekeluarga menanggung dosanya Ayah.""Tapi Mamamu akan marah."Aku menatap Ayah kesal."Kenapa Ayah begitu takut dengan Mama sampai sampai menuruti semua keinginannya tanpa peduli salah atau benar?""Elisa…""Apa karena Eyang? Apa karena Mama sudah memberi Ayah anak lelaki? Tidak seperti Bunda yang memberi aku dan Amira? Ayah, ini sudah abad dua satu. Sudah bukan zamannya lagi membedakan gender. Ayah bahkan lupa bahwa kami, anak anak perempuan Ayah yang akan memudahkan jalan Ayah ke surga."Ayah menghela nafas dalam-dalam. Aku tahu, bahwa alasan yang kukatakan di atas adalah suatu kebenaran. Ayah dan Bunda, Ibu kandungku menikah dua puluh enam tahun lalu atas dasar cinta. Aku lahir satu tahun kemudian. Tapi Eyang, Ibu Ayahku tak sabar ingin menimang cucu lelaki penerus keluarga sehingga menjodohkan Ayahku dengan Mama Laksmi, seorang gadis yang sama-sama keturunan bangsawan. Kelak kuketahui bahwa Eyang tak pernah setuju Ayah menikah dengan Bunda. Mama Laksmi telah lama dipersiapkan sebagai menantu keluarga Sastra Wijaya. Tapi Ayahku, yang sangat mencintai Bunda, bergeming. Mereka tetap menikah. Meski dua tahun setelahnya, pernikahan kedua Ayah dengan Mama Laksmi tak bisa dielakkan. Lalu Huda lahir dari rahim Mama, disusul Amira enam bulan kemudian dari rahim Bunda."Elisa, beri tahu seluruh keluarga bahwa kita akan bicara malam ini."Ayah memberi perintah tanpa menjawab pertanyaanku. Aku mendesah, tapi tak lagi punya energi untuk membantah. Aku baru saja kembali dari Italia. Ada pertemuan pengusaha tekstil dari seluruh dunia dan aku merupakan perwakilan dari Indonesia. Ayahku, seorang pemilik sekaligus pemimpin pabrik tekstil terbesar di negeri ini. Rasanya lelah jiwa dan raga. Aku berharap bisa beristirahat barang satu hari saja, tapi rupanya masalah telah menanti.Aku menaiki pajero sport hitam pekat milikku yang gagah dan meninggalkan kantor Papa. Kata orang, aku gadis tomboy yang bertingkah mirip lelaki meski memiliki kecantikan di atas rata-rata. Mungkin karena dulu Ayah berharap aku terlahir sebagai lelaki.Di tengah perjalanan, aku memutuskan ke rumah Mama lebih dulu. Biasanya, undangan makan malam akan disampaikan langsung oleh Bunda melalui telepon. Ayah selalu mengumpulkan kami dalam sebuah pertemuan di meja makan di rumah utama, rumah Bunda, ketika hendak mengambil sebuah keputusan penting. Tapi kali ini, rasanya aku sudah tidak tahan lagi."Ada apa?" Wajah dingin Mama menyambutku.Sudah bukan rahasia umum kalau Mama kerap memakai berbagai cara untuk menyingkirkan madunya, namun dia tahu bahwa hal itu tak akan mudah. Selain cinta Ayah pada Bunda yang belum terkikis sedikitpun, Bunda punya aku dan Amira."Mana Huda? Aku harus bicara dengannya.""Huda di kantor. Dia bekerja keras, bukan pulang cepat dan malah kelayapan."Aku tahu dia menyindirku. Aku tertawa kecil."Jangan bercanda Ma. Aku tadi mampir ke kantornya dan dia tak ada. Sekretarisnya bilang, dia bahkan tidak datang hari ini."Raut wajah Mama Laksmi seketika berubah."Aku tak bisa mengekang anak lelaki Elisa. Biarkan saja. Akan ada masanya dia menjadi anak yang manis dan penurut.""Mungkin Mama benar. Tapi Huda adalah pengecualian. Sudah Mama hitung berapa perempuan yang menjadi korbannya? Jangan terkejut jika nanti banyak orang mengaku cucu Mama. Dia bertualang dan menyebar benih di sana sini.""Tutup mulutmu!" Seru Mama berang.Aku melipat kedua tangan. Dua puluh empat tahun menjadi keluarga Sastra Wijaya nyatanya tak membuat Mama menjadi lebih lembut dan tahu adat, padahal katanya dia putri bangsawan. Dia sungguh berbeda dengan Bunda yang bukan bangsawan, tapi bertingkah bak priyayi terhormat."Ayah menanti Mama dan Huda malam ini di rumah. Dan pastikan dia tidak mangkir lagi. Atau aku yang akan mencari dan menghajarnya."Mama Elisa terkejut. "Memangnya apa yang dilakukan Huda?""Dia menghamili anak orang. Lagi."Mama mendengus. "Berikan saja uang tutup mulut seperti biasa."Aku menggeleng. "Tidak kali ini. Aku akan memastikan Huda bertanggungjawab.""Kau tak punya hak mengatur hidupnya Elisa!" Seru Mama berang."Aku punya. Aku adalah kakaknya. Atau dia bisa memilih meninggalkan rumah ini dan melupakan dirinya sebagai bagian keluarga Sastra Wijaya.""Kau mengancam anakku?"Aku tertawa kecil, menatap Mama dengan rasa hormat yang setiap hari terkikis hingga habis."Aku hanya meniru Mama. Jangan Mama kira aku tak tahu selama dua puluh tiga tahun ini Mama berusaha memisahkan Ayah dan Bunda. Aku tahu semuanya. Dan jika selama ini aku diam saja, bukan berarti aku takut. Aku akan menunggu sampai Ayah melihat sendiri kebusukan Mama yang berulang kali berusaha mencelakai Bunda."Setetes keringat besar-besar jatuh di pelipis Mama. Dia menatapku salah tingkah."Jangan lupa jam tujuh malam ini. Dan tolong jangan sampai Huda tak datang. Aku bukan sekedar mengancam."***ISTRI KEDUA AYAHKU (Ekstra part)PoV HUDASatu tahun kemudianRumah terasa demikian sepi setelah Kak Elisa menikah dan tinggal terpisah. Meski hanya Kak Elisa yang pergi, pengaruhnya ternyata begitu besar. Tak ada lagi yang sibuk membangunkanku dan Amira. Tak ada yang melotot memarahiku jika aku terlambat pulang hingga larut malam. Dan tak ada yang memeluk setiap kali aku murung karena rasa ingin tahu ku pada keluarga kandung yang tak terbendung.Aku kehilangan Kak Elisa, seperti aku kehilangan jejak pada orang tua kandung yang entah dimana. Sekian lama kucoba ikhlas dan melupakan, tetap saja, ada rasa tak nyaman di dalam hati. Seharusnya, aku bukan bagian dari keluarga terhormat ini. Bagaimana jika ternyata, aku adalah anak seorang pelacur? Seorang penjahat? Atau pembunuh?"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci Huda. Tak peduli siapa orang tua kandungmu, kau tetap anak Ayah, dan adikku."Kak Elisa telah benar-benar melupakan diriku yang dulu kerap membuat onar. Padahal aku tak pe
ISTRI KEDUA AYAHKU 50 (ENDING)PoV ELISAAdakah hari yang lebih dinantikan setiap wanita selain hari ini? "Kamu cantik banget pakai jilbab El. Auramu makin bersinar."Bunda menangkup wajahku dengan lembut. Aku tersenyum ketika beliau menghela tubuhku ke depan cermin sementara sang make up artist yang baru saja selesai memoles wajahku menunggu dengan wajah sedikit tegang. Dia dulu pernah merias kami sekeluarga saat Huda wisuda dan protes dari Mama yang mau ini dan itu terus bertubi-tubi.Ah, Mama. Rasanya masa itu telah jauh tertinggal. Apapun kesalahanmu dimasa lalu, kami semua telah memaafkanmu dan berdamai dengan takdir. Semoga dirimu tenang setelah mendapat pengampunan dari orang-orang yang pernah kau sakiti.Dan aku tetap saja takjub melihat diriku sendiri. Make up flawless yang membuat wajahku tetap tampak seperti diriku. Dengan kebaya putih panjang hingga menyentuh lantai dan jilbab putih terbuat dari sutera, aku tak bisa memungkiri bahwa benar kata orang-orang bahwa aku cantik
ISTRI KEDUA AYAHKU 49PoV HUDAAku melangkah dengan cepat keluar dari kamar super VIP, dimana mereka semua berkumpul. Sungguh, mendengar penjelasan Eyang tadi, meski gemetar dan tak menyangka, sebagai sisi hatiku tak menyangkalnya. Sejak dulu aku merasa begitu berbeda. Mungkin secara fisik, aku mirip mereka. Tapi banyak orang berkata, sedikitpun aku tak punya aura bangsawan. Tapi, bagaimana aku bisa mirip Ayah dan Akak Elisa? Tapi ah, Bukankah seorang anak angkat saja bisa menjadi mirip orang tua angkat yang mengasuhnya penuh cinta. Apa lagi aku, yang lebih banyak menghabiskan masa kecil di rumah Bunda.Di salah satu sudut halaman parkir, aku berhenti. Kakiku yang lelah membuatku tak mampu lagi melangkah. Aku duduk di salah satu bangku semen yang teduh oleh pohon akasia. Bangku ini tampaknya memang sengaja dibuat sebagai tempat istirahat.Selama ini, aku menghabiskan begitu banyak uang, menciptakan begitu banyak masalah di keluarga ini. Padahal aku sama sekali bukan bagian dari merek
ISTRI KEDUA AYAHKU 48Elisa, begitu banyak dosa yang telah Eyang lakukan pada keluarga ini. Eyang takut, jika Eyang mati sebelum memberi tahumu semua yang sebenarnya terjadi. Satu dosa besar, yang kerap membuat Eyang gemetar setiap malam. Elisa, apakah benar Dia maha pengampun?Aku tercenung sambil memegang kertas berisi tulisan tangan Eyang yang rapi. Dalam sebuah buku novel cetakan lama, di samping kacamata bacanya, kertas ini kutemukan. Eyang sendiri telah berada di rumah sakit, koma tanpa diagnosa. Sungguh aneh. Dirinya seakan hanya tertidur. Tidur yang sangat lama karena hingga seminggu kemudian, Eyang tak juga bangun. Dokter yang heran karena tak menemukan penyebabnya, hanya memintaku menunggu.Apa yang sebenarnya Eyang sembunyikan? Apa yang membuat jiwamu berkelana hingga tak juga kembali? Aku bersandar di bangku ruang tunggu dengan perasaan lelah. Rumah sakit seakan menjadi tempat yang begitu akrab denganku. Orang-orang yang kucintai masuk dan keluar, silih berganti."Tita su
ISTRI KEDUA AYAHKU 47Aku menatap Bunda dengan raut terkejut yang tak dapat kusembunyikan. Sakha bergerak cepat. Kemarin, ketika, lagi lagi aku luruh dalam genggaman tangannya, dia memang berkata akan segera melamarku apapun yang terjadi. Dia tak peduli jika harus ditolak atau bahkan dihina. Dia akan berjuang keras dengan satu keyakinan, bahwa cintaku cukup baginya mampu melakukan itu semua."Lalu, Ayah dan Bunda? Emm… maksudku, Ayah menerimanya?""Oh, apa kau ingin Ayahmu menolaknya saja?"Suara Bunda jelas menggoda. Aku tersipu. Bagaimana mungkin aku ingin Ayah menolak, jika hatiku begitu ingin bersamanya. Tiba-tiba saja, kemungkinan bahwa Eyang tidak menyukainya, atau Tita yang cemburu tak lagi kupikirkan. Jatuh cinta membuatku menjadi sedikit egois."Kau tahu apa yang dikatakan calon mertuamu?"Bunda bahkan langsung menyebut Ibunya dengan calon mertua."Sakha mencintai Elisa dengan tulus. Demi Allah, dendam itu telah lama hilang melihat anak gadis kalian yang begitu tulus dan baik
ISTRI KEDUA AYAHKU 46"Tumor otak stadium dua."Satu kalimat itu nyatanya mampu membuat suasana dalam ruangan Dokter Annisa mencekam. Dapat ku rasakan jemari Tante Dayana mencengkram lenganku dengan kencang. Aku memegang lengannya, menepuknya perlahan agar dia bisa sedikit lebih tenang."Beruntung kita segera menemukannya. Peluang keberhasilan operasi pada jenis Tumor ini sangat besar. Ibu tidak perlu terlalu cemas." Ujar dokter Annisa sambil menatapku dan Tante Dayana bergantian."Saya minta rujukan tindakan apa yang terbaik untuk Tita dan rumah sakit mana yang paling banyak tingkat keberhasilannya dokter."Dokter Annisa mengangguk."Saya merekomendasikan Saint Mary Mayo Clinic. Rochester, Amerika Serikat."Aku menatap Tante Dayana, meminta persetujuannya. Sepertinya dia sendiri kebingungan. "Bagaimana baiknya menurutmu El." Ujarnya pasrah.Aku kembali menatap dokter Annisa."Tolong siapkan rujukannya dokter. Saya akan membawa Tita kesana."***"El… Tante takut. Takut sekali."Aku m
ISTRI KEDUA AYAHKU 45Tentu saja, saat yang paling menguras emosi adalah saat Eyang masuk ke dalam kamar dan berlutut memohon maaf dari Tante Dayana dan Tita. Tita yang nekad mencabut jarum infus dengan paksa, tak peduli setitik darahnya muncrat. Dia terhuyung huyung dan nyaris jatuh seandainya Tante Dayana tidak segera memeluknya. Aku urung keluar meski pintu telah terbuka. Karena itu jugalah, Eyang yang ternyata telah berdiri di depan pintu melihat semua kejadian itu."Anakku, cucuku…"Eyang, yang selama dua puluh lima tahun aku mengenalnya adalah wanita paling angkuh di dunia, yang di dadanya, hanya ada harta dan kehormatan keluarga yang patut dijaga, tiba tiba saja berlutut di hadapan anak dan cucunya."Ini semua salah Eyang. Katakan apa yang harus Eyang lakukan untuk menebus dosa pada kalian."Dalam pelukan Tante Dayana, Tita gemetar. Dapat kulihat bagaimana Tante Dayana mulai luluh oleh ketulusan hati Eyang. Tapi Tita, gejolak darah mudanya melarang dia memaafkan begitu saja."
ISTRI KEDUA AYAHKU 44PoV TITAAku menggeraikan rambut ke depan menutupi wajah. Untung saja, aku belum memakai baju tahanan. Kalau tidak, tentu gerakku akan sulit. Berjalan kaki kembali ke rumah, aku tak punya pilihan lain. Aku hanya ingin memastikan Ibu baik-baik saja sebelum meninggalkannya. Air mataku menetes. Masih dapat kuingat bagaimana kemiskinan kami kerap menjadi hinaan tetangga. Bukan, bukan karena Bapak tak berusaha. Beliau bahkan berusaha terlalu keras hingga akhirnya sungai merengggut nyawanya ketika aku masih kecil. Ibuku yang cacat, memutuskan untuk sendirian merawatku. meski dia adalah Ibu terbaik didunia, fisik tetaplah yang utama.Ibu, maafkan aku, aku hampir saja berhasil membalas dendam untukmu. Tapi aku terlalu gegabah. Aku… aku bahkan nyaris menjadi pembunuh. Mengingat hal itu, hatiku gentar. Aku tak boleh masuk penjara, bagaimana dengan Ibu? Tapi semua sudah terlanjur. Satu satunya yang bisa kulakukan adalah pergi dari sini.Perutku perih karena lapar. Sudah s
ISTRI KEDUA AYAHKU 43Di luar, malam telah semakin pekat oleh mendung yang menggelayut. Sesekali, suara gemuruh petir terdengar dan cahaya kilat membelah langit. Seakan tak cukup gerimis dalam hati ini, langit telah pula siap menumpahkan tangis."Tante…" Aku memegang lengannya, menatap matanya yang penuh luka itu. Membayangkan diriku berada di posisinya saja sudah sangat menyedihkan, apalagi dia yang selama empat puluh delapan tahun mengalami, menyaksikan putri satu satunya hidup dalam derita.Tante Dayana balas menatapku."Aku tahu kau anak yang baik, El. Sayang, kau harus lahir dari keluarga ini." Desis nya."Aku mohon jangan pergi. Semua harus terang benderang. Ini rumah Tante. Biarkan Eyang tahu.""Tidak." Tante Dayana masih bersikukuh. Dia bahkan telah mulai membuka pintu rumah."Aku telah bersumpah untuk tidak akan kembali. Rasa sakit dalam dadaku ini tak akan pernah ada obatnya. Yang kuinginkan hanya satu, kembalikan Tita.""Aku akan mengusahakannya Tante. Tapi tolong, tinggal