Share

ISTRI KEDUA AYAHKU
ISTRI KEDUA AYAHKU
Author: Yazmin Aisyah

Bab 1. Duri bernama Huda

ISTRI KEDUA AYAHKU

"Mbak Elisa, maaf. Tapi saya harus jujur demi nama baik dan masa depan saya. Saya sedang hamil anak Mas Huda, Mbak."

Aku menatap gadis muda di hadapanku. Tubuhnya bergerak gelisah, wajah pucat pasi dengan sepasang netra yang siap menumpahkan air mata. Sesaat, kulihat dia berusaha meneguhkan diri. Dia mengusap matanya yang mulai basah, lalu menatapku dengan pandangan teguh. Aku menghela nafas. Huda, adikku. Adik satu Ayahku, lagi lagi membuat ulah. Entah untuk keberapa kalinya aku harus menghadapi situasi seperti ini.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Kupegang lengan gadis itu. Aku tahu dia tidak berdusta. Huda adikku, memang seorang playboy kelas kakap. Kelakuannya kerap membuat pusing keluarga besar kami. Bukan hanya Ayah dan Mama, ibu kandungnya yang merupakan istri kedua ayahku, yang kena getahnya. Tapi Ibuku yang merupakan istri pertama Ayah dan juga aku beserta Amira, adikku yang lain. Tak terhitung berapa banyak sudah uang Ayah keluarkan demi membungkam mulut para korban yang meminta jalan damai karena Huda tak pernah punya niat menikahi salah satu dari mereka.

"Siapa namamu?" Tanyaku.

"Saskia. Saya karyawan bagian administrasi di kantor Mas Huda."

Aku terdiam sejenak, menuruti kata hati ingin sekali rasanya aku menghajar adikku itu saat ini. Tapi aku tentu akan menghadapi kemurkaan Mama, Ibu kandungnya, yang tak pernah menerima kenyataan bahwa anaknya sebejat itu.

"Tinggalkan alamatmu di sini. Saya akan membicarakannya pada orang tua saya."

Dia menatapku sejenak.

"Saya tidak minta dijanjikan lalu dilupakan seperti para korban Mas Huda sebelumnya. Saya mau dinikahi karena Mbak Elisa tahu sendiri, siapa yang mau menikahi wanita yang sudah tak perawan seperti saya."

Aku memandangnya dalam-dalam.

"Apa kau siap mempunyai suami seperti adikku itu? Kau tahu sepak terjangnya. Kau bahkan menyebut kata 'para korban'. Itu berarti bukan hanya satu."

Gadis itu balas memandangku dengan sinar mata teguh. Dia menyusut lagi air matanya kuat kuat.

"Siap Mbak. Saya akan menghentikan petualangan Mas Huda."

***

"Namanya Saskia. Usianya dua puluh dua tahun. Huda sudah mengambil keperawana*nya dengan intimidasi. Dan kini gadis itu hamil dua bulan."

Aku meletakkan map berisi data Saskia ke atas meja kerja Ayah. Ayahku, lelaki berusia lima puluh lima tahun itu bersandar di kursinya sambil memijat kepala. Aku menatapnya prihatin.

"Sudah saatnya Ayah bertindak tegas. Kita tidak bisa selamanya membiarkan saja kesalahan Huda dan menutup mulut para perempuan itu dengan uang. Kita sekeluarga menanggung dosanya Ayah."

"Tapi Mamamu akan marah."

Aku menatap Ayah kesal.

"Kenapa Ayah begitu takut dengan Mama sampai sampai menuruti semua keinginannya tanpa peduli salah atau benar?"

"Elisa…"

"Apa karena Eyang? Apa karena Mama sudah memberi Ayah anak lelaki? Tidak seperti Bunda yang memberi aku dan Amira? Ayah, ini sudah abad dua satu. Sudah bukan zamannya lagi membedakan gender. Ayah bahkan lupa bahwa kami, anak anak perempuan Ayah yang akan memudahkan jalan Ayah ke surga."

Ayah menghela nafas dalam-dalam. Aku tahu, bahwa alasan yang kukatakan di atas adalah suatu kebenaran. Ayah dan Bunda, Ibu kandungku menikah dua puluh enam tahun lalu atas dasar cinta. Aku lahir satu tahun kemudian. Tapi Eyang, Ibu Ayahku tak sabar ingin menimang cucu lelaki penerus keluarga sehingga menjodohkan Ayahku dengan Mama Laksmi, seorang gadis yang sama-sama keturunan bangsawan. Kelak kuketahui bahwa Eyang tak pernah setuju Ayah menikah dengan Bunda. Mama Laksmi telah lama dipersiapkan sebagai menantu keluarga Sastra Wijaya. Tapi Ayahku, yang sangat mencintai Bunda, bergeming. Mereka tetap menikah. Meski dua tahun setelahnya, pernikahan kedua Ayah dengan Mama Laksmi tak bisa dielakkan. Lalu Huda lahir dari rahim Mama, disusul Amira enam bulan kemudian dari rahim Bunda.

"Elisa, beri tahu seluruh keluarga bahwa kita akan bicara malam ini."

Ayah memberi perintah tanpa menjawab pertanyaanku. Aku mendesah, tapi tak lagi punya energi untuk membantah. Aku baru saja kembali dari Italia. Ada pertemuan pengusaha tekstil dari seluruh dunia dan aku merupakan perwakilan dari Indonesia. Ayahku, seorang pemilik sekaligus pemimpin pabrik tekstil terbesar di negeri ini. Rasanya lelah jiwa dan raga. Aku berharap bisa beristirahat barang satu hari saja, tapi rupanya masalah telah menanti.

Aku menaiki pajero sport hitam pekat milikku yang gagah dan meninggalkan kantor Papa. Kata orang, aku gadis tomboy yang bertingkah mirip lelaki meski memiliki kecantikan di atas rata-rata. Mungkin karena dulu Ayah berharap aku terlahir sebagai lelaki.

Di tengah perjalanan, aku memutuskan ke rumah Mama lebih dulu. Biasanya, undangan makan malam akan disampaikan langsung oleh Bunda melalui telepon. Ayah selalu mengumpulkan kami dalam sebuah pertemuan di meja makan di rumah utama, rumah Bunda, ketika hendak mengambil sebuah keputusan penting. Tapi kali ini, rasanya aku sudah tidak tahan lagi.

"Ada apa?" Wajah dingin Mama menyambutku.

Sudah bukan rahasia umum kalau Mama kerap memakai berbagai cara untuk menyingkirkan madunya, namun dia tahu bahwa hal itu tak akan mudah. Selain cinta Ayah pada Bunda yang belum terkikis sedikitpun, Bunda punya aku dan Amira.

"Mana Huda? Aku harus bicara dengannya."

"Huda di kantor. Dia bekerja keras, bukan pulang cepat dan malah kelayapan."

Aku tahu dia menyindirku. Aku tertawa kecil.

"Jangan bercanda Ma. Aku tadi mampir ke kantornya dan dia tak ada. Sekretarisnya bilang, dia bahkan tidak datang hari ini."

Raut wajah Mama Laksmi seketika berubah.

"Aku tak bisa mengekang anak lelaki Elisa. Biarkan saja. Akan ada masanya dia menjadi anak yang manis dan penurut."

"Mungkin Mama benar. Tapi Huda adalah pengecualian. Sudah Mama hitung berapa perempuan yang menjadi korbannya? Jangan terkejut jika nanti banyak orang mengaku cucu Mama. Dia bertualang dan menyebar benih di sana sini."

"Tutup mulutmu!" Seru Mama berang.

Aku melipat kedua tangan. Dua puluh empat tahun menjadi keluarga Sastra Wijaya nyatanya tak membuat Mama menjadi lebih lembut dan tahu adat, padahal katanya dia putri bangsawan. Dia sungguh berbeda dengan Bunda yang bukan bangsawan, tapi bertingkah bak priyayi terhormat.

"Ayah menanti Mama dan Huda malam ini di rumah. Dan pastikan dia tidak mangkir lagi. Atau aku yang akan mencari dan menghajarnya."

Mama Elisa terkejut. "Memangnya apa yang dilakukan Huda?"

"Dia menghamili anak orang. Lagi."

Mama mendengus. "Berikan saja uang tutup mulut seperti biasa."

Aku menggeleng. "Tidak kali ini. Aku akan memastikan Huda bertanggungjawab."

"Kau tak punya hak mengatur hidupnya Elisa!" Seru Mama berang.

"Aku punya. Aku adalah kakaknya. Atau dia bisa memilih meninggalkan rumah ini dan melupakan dirinya sebagai bagian keluarga Sastra Wijaya."

"Kau mengancam anakku?"

Aku tertawa kecil, menatap Mama dengan rasa hormat yang setiap hari terkikis hingga habis.

"Aku hanya meniru Mama. Jangan Mama kira aku tak tahu selama dua puluh tiga tahun ini Mama berusaha memisahkan Ayah dan Bunda. Aku tahu semuanya. Dan jika selama ini aku diam saja, bukan berarti aku takut. Aku akan menunggu sampai Ayah melihat sendiri kebusukan Mama yang berulang kali berusaha mencelakai Bunda."

Setetes keringat besar-besar jatuh di pelipis Mama. Dia menatapku salah tingkah.

"Jangan lupa jam tujuh malam ini. Dan tolong jangan sampai Huda tak datang. Aku bukan sekedar mengancam."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku hanya meniru mama
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status