"Baiklah kalau begitu, Pak. Anda tidur di kasur, saya di sofa," putus Lea sepihak, sebelum berpamitan keluar ruangan.Gerak memutar balik, kemudian di iringi suara ujung heels yang di lakukan Lea, diam-diam membuat Vin terkesima.Bagian punggung Lea terlihat, ketika Vin berposisi di belakangnya seperti ini. Kenangan Vin akan mendiang ibunya kembali mengganggu pikirannya. Bila rambutnya tergerai seperti ini, bagi Vin, Lea benar-benar seperti reinkarnasi sosok mendiang Letizia, ibunya. Hal ini semakin membuat Vin merasa punya ikatan tak terkatakan dengan Lea.Lea yang tak menyadari kegalauan batin Vin ini sudah berada di dalam kamar utama yang sebenarnya di siapkan untuk Vin."Bau minyak wangi ini. Kenapa seperti selalu mengikutiku," gumam Lea saat melihat botol berisi cairan khas harum tubuh Vin tersebut, di meja nakas.Tidak seperti biasa, sengaja menghempaskan tubuh di atas kasur sebagai luapan mood hari ini, kali ini Lea duduk di pinggir kasur dengan hati-hati, sembari mencari keb
Lea melengos, tak menhindahkan perintah Vin, meskipun dia atasan dan pemberi fasilitas fantastis untuk hidupnya ke depan."Saya ganti di kamar mandi tamu saja," ucap Lea, sekaligus sebagai bentuk kata pamit. Kesal sih, tapi Lea masih berusaha bersikap sopan dengan ucapan lembutnya.Lea keluar kamar utama mansion dengan ekspresi dongkol bukan kepalang."Emangnya Presdir Vin ngira gue salah satu mainan dia!" gerutu Lea. "Enak saja. Awas saja kalau malam ini dia coba aneh-aneh sama gue lagi. Kalau perlu tendang, gue bakal lakuin beneran!" umpat Lea berkobar-kobar.Setelah sampai di lorong samping, sampailah Lea di depan kamar mandi tamu berukuran lumayan besar.Lea mengintip ke dalam terlebih dulu, sebelum akhirnya masuk dengan gerak takut-takut."Masa ada hantunya beneran, sih? Setan-setan please. Hantui orang itu aja, jangan gue. Kayaknya, dosa dia lebih banyak daripada gue," harap Lea, mengkambing hitamkan atasannya sendiri.Baru usaha pertama Lea membuka resleting, tapi langsung di
Lea buru-buru menggantungkan baju pengantinnya di ruang wardrobe.m, lalu mengganti pakaian dengan lebih santai, yaitu T-shirt dan rok pendek selutut, pakaian harian ala Indonesia.Tujuan utamanya adalah beranda samping antara dua bangunan, tempat kamar-kamar para tamu berada. Disana terlihat tiga pria sedang duduk bercakap-cakap santai, termasuk Vin dengan kemeja pengantinnya, namun tiga kancing atasnya di biarkan terbuka."Selamat sore," sapa Lea pada ketiganya. Ketiga pria tersebut segera memutar kepala, dan sempat terkejut dengan kedatangan Lea."Sore," jawab dua pria asli orang Italia, kecuali Vin yang hanya diam dan menatapnya dingin."Humm..." Lea tautkan kedua tangan dan saling meremas karena gugup yang datang tiba-tiba.Untaian kalimat yang sudah Lea rangkai selama berjalan menyusuri tiap ruangan mansion tadi, seketika jadi hilang, gara-gara tatapan tajam Vin padanya."Iya, Nona? Apa anda ingin bicara dengan Vin, ataukah dengan kami bertiga sekaligus?" sela salah seorang pri
"Apa yang kamu inginkan?"Lea gunakan pertanyaan Vin dengan nada kalemnya ini sebagai kesempatan untuk ungkapkan keinginannya."Saya tidak bersedia mendampingi anda di pesta nanti malam, karena kapasitas saya sebagai istri anda, dan bukannya asisten secara profeional.""Lalu?""Saya juga ingin kita batasi waktu berdua, termasuk itu keharusan menginap di rumah anda. Semua itu akan saya sanggupi hanya sebagai kebutuhan secara profesional saja.""Hmm. Aku mengerti.""Tolonglah, Pak Presdir Vin. Semua ini tidak mudah bagi saya," curahan hati Lea. "Hal berharga yang saya jaga selama ini hilang, karena kecerobohan kita berdua. Saya sudah berusaha berdamai dengan kenyataan, tapi saya butuh waktu juga untuk memaklumi akibatnya. Kontrak pernikahan, orang-orang di sekitar anda, dan anda sendiri. Tolonglah, beri saya waktu juga untuk beradaptasi dengan semuanya.""Dengan cara?""Seperti kesepakatan awal, dimana besok setelah di kantor kembali, sandiwara kita ini harus benar-benar di jaga. Saya a
Setelah malam tersiksa dengan pikiran sendiri, Lea akhirnya terpejam, sampai ke esokan pagi terbangun, karena alarm dari ponsel yang sengaja dia taruh di samping bantal.Dalam kondisi mata setengah terpejam, Lea raih ponselnya."Kayaknya baru aja tidur, kok sudah pagi aja," gerutunya.Lea singkap selimut, kemudian beringsut dari kasur. Di kedipkan kedua matanya berulang kali, saat menyadari ada seseorang tidur di salah satu kursi single sofa.Salah satu kekurangan kamar utama nan mewah itu, bagi Lea adalah tidak adanya sofa berukuran panjang yang bisa di buat alternatif tempat tidur, hanya 2 kursi berlengan berukuran besar model klasik jaman Victorian saja."Presdir Vin?" tebaknya setelah mengucek-ucek mata. "Sejak kapan dia ada di sini?"Lea tatap atasannya sejenak. Penampilan kusut dengan dengkuran halus, benar-benar bukan seperti seorang Vincenzo dengan segala kesempurnaan di kala sebagai seorang presdir di kantor.Lea melangkah berjingkat, agar tak sampai membuat Vin terbangun, k
Senin yang dingin.Bukan awal minggu yang menyenangkan, bila hujan lebat di sertai kilat berpetir jadi hiasan di pagi hari tanpa terlihat mentari ini."Lea pesen ojek online mobil aja, Ma. Bakal basah kuyub kalau nekat nerjang hujan," putus Lea dengan ponsel sudah di tangan."Iya. Tumben-tumbenan sih, senin gini hujan, deres, lagi " sambut Sarah. "Mana mama pengen ketemu Pak Vin dulu, kan gimana jadinya, kalau pagi ini juga mama harus ke rumah sakit.""Nggak usah ketemu Pak Vin deh, Ma. Lea sampein aja terima kasihnya. Yang penting Mama langsung ke rumah sakit aja, buat kontrol sama pastiin kapan operasinya," saran Lea. Untuk saat ini, Lea masih belum siap bila ibunya ini ingin menemui Vin."Iya. Berarti, kamu pesen 2, sekalian buat mama.""Ok," sahut Lea lega. TINNN!!Lea dan Sarah saling melongok ke arah luar, untuk memastikan kalau suara klakson mobil itu memang tertuju ke rumah mereka."Eh, Lea. Bukannya itu mobil yang kemarin nganterin kamu?" Sarah terlebih dulu mengintip dari p
"TAPI GUE NGGAK PERNAH TIDUR SAMA PRESDIR VIN!"Winda hampir berjingkat karena saking kagetnya, dimana Lea tiba-tiba saja memberi jawaban tapi dengan sedikit teriak."Ya, lo bilang and marah-marah ke group aja, jangan ke gue," sahut Winda memelas. Baru saja akan meneruskan gosip-gosip ikutan apalagi tentang Lea, suara deheman tak kalah kencangnya.Winda melompat menjauh dari kursi calon tempat duduk untuk posisi baru Lea sebagai asisten sang presdir."Se selamat pagi, Pak Presdir," sapa Winda, dan di ikuti keterkejutan Lea yang juga langsung berbalik dan memberi salam yang sama."Bisa di mulai kerjanya?" tanya Vin hanya tertuju pada Lea, dan tidak pada Winda. "Siapkan meeting jam 8. Hujan bukan buat alasan para manager itu telat, jadi beri catatan padaku, siapa saja yang ngaret!" perintah pertama hari Senin untuk Lea."Baik, Pak," tunduk Lea takut-takut mematuhi, serasa sedang di hadapan seorang raja penguasa dunia kegelapan.Lea mengibas-ngibaskan tangan ke arah Winda agar segera ke
"Kenapa? Kamu cemburu?" tembak Vin dengan senyuman tipis."Nggak! Tentu saja tidak, Pak. Saya tidak cemburu, kok." Lea geleng-gelengkan kepala sampai beberapa kali agar lebih meyakinkan."Masa? Terus apa namanya, kalau nanya-nanya soal wanita lain, kalau bukan semburu, hayo?" desak Vin, semakin membungkuk mendekati wajah Lea dan tersenyum penuh kepuasan.Lea mundurkan wajah dengan desakan kemenangan Vin ini."Iya...saya cuma nanya...ingin tahu.""Kenapa? Jawab tanpa terbata-bata. Kalau masih seperti itu, berarti ku anggap kamu memang bohong, dan tutupi rasa cemburu!"Punggung Lea hampir melengkung ke belakang, tapi coba dia tahan dengan kedua tangan hampir menyentuh dada Vin, buat berjaga-jaga bila seandainya terjatuh."Karena anda suami kontrak saya," jawab Lea asal.Kepala Vin menengleng dengan lirikan tajam."Terus, kalau aku suami kontrakmu, kamu harus tahu siapa-siapa yang ada di sekitarku, terutama itu wanita, begitu?""Pak Vin. Saya cuma basa-basi. Tidak ada pikiran apapun.""