Share

Salahkah aku??

SABRINA

 

Meski saat sarapan dan makan malam Mas Bara tak pernah mau makan di rumah, aku akan tetap berusaha mencoba menjadi istri yang berbakti padanya. Kata orang, meluluhkan hati suami bisa dengan masakan istri yang enak dan penuh ketulusan, itulah hal yang sering aku lakukan beberapa bulan belakangan ini.

 

Iya, dari awal setelah kami menikah dan pindah ke rumah ini, Mas Bara tak pernah sekalipun mau memakan masakanku. Aku selalu mengintruksikan diriku dengan kata-kata; mungkin saja Mas Bara masih belum mau memperlihatkan sisi keterbukaannya menerima diriku. Oleh sebab itu, aku berinisiatif ingin memberikannya perhatian lewat makan siangnya Mas Bara.

 

Aku tak tau kenapa Mas Bara tak pernah mengizinkan aku untuk masuk ke dalam ruangannya, kata sekretaris dan resepsionis di kantornya Mas Bara selalu sibuk dan tak bisa di ganggu. Tapi tak mengapa, selama tiga bulan belakangan ini aku selalu menitipkan rantang makan siangku pada resepsionisnya dan segera kembali lagi ke kantor cabangku sendiri.

 

Tapi kali ini, perasaanku mengatakan aku harus melihat Mas Bara kali ini, sebab tadi pagi kulihat wajah pucat kelelahan yang terpampang di wajah datar tanpa senyumannya itu padaku. Hanya saja aku takut mengganggu waktu kerjanya, apalagi Mas Bara sepertinya enggan sekali bertemu tatap denganku.

 

Mengapa menjadi istri Mas Bara sangat melelahkan dan menyakitkan? Lelah, sebab tak pernah diacuhkan suami sendiri kecuali di depan Keluarganya, dan acara penting yang harus ada aku di sana. Menyakitkan, karena entah sejak kapan rasa ini muncul untuk suami yang sepertinya tak pernah menganggapku ada di sekitarnya.

 

Helaan nafasku kembali terdengar. Aku pun mematikan mesin mobil lantas keluar. 

 

Aku baru saja datang dari rumah, menyisihkan setiap dua jam waktu istirahat siangku untuk memasak makan siang Mas Bara dan mengantarkannya ke kantor Mas Bara, baru setelah itu aku akan kembali ke kantor cabangku sendiri.

 

Kumasuki lobi perusahaan langsung menuju resepsionis, melempar senyum ramah padanya.

 

"Mau dititipkan seperti biasanya, Bu?" pertanyaan yang selalu aku dengar setiap kali datang ke kantor Mas Bara.

 

"Eeum, tidak Mbak. Tolong bilang saya menunggu sampai di izinkan masuk."

 

Setelah beberapa saat menunggu pihak resepsionis menghubungi ke ruang Mas Bara, tapi hasilnya tetap saja nihil. "Maaf, Bu. Bapak Bara sedang tidak ingin di ganggu." Resepsionis itu berkata dengan nada tak enak hati.

 

"Kalau begitu saya akan tetap masuk, di beri izin ataupun tidak." Titahku tak terbantahkan lagi.

 

"Tapi, Bu---"

 

"Saya istrinya kalau kalian lupa! Apa kamu ingin merasakan kehilangan pekerjaan?!?!" tanyaku lagi pada seorang satpam yang ingin mencegatku.

 

Resepsionis dan Satpam yang biasanya ku balas sapa mereka dengan senyuman, kini ku perlihatkan bagaimana jika aku sedikit menggertak mereka hingga membuat mereka tertunduk tak berkutik.

 

Kemudian aku berbalik, melangkah berniat menuju masuk ke dalam lift khusus petinggi sebelum lagi-lagi dihambat oleh satpam yang kedua, mungkin baru datang atau entahlah.

 

"Bu, mohon maaf. Pak Bara tidak bisa di ganggu sekarang,"

 

Sontak aku mendelik tajam, "Sudah berapa lama kamu bekerja? Apa kamu tidak ada niat untuk pensiun?"

 

Sahutku terselip akan ancaman didalamnya. Pak satpam langsung pucat pasi. Dengan berat hati akhirnya dia mau membiarkan aku masuk lift petinggi menuju lantai teratas.

 

Aku menyusuri lorong yang pernah dulu hanya sekali saja aku lewati, setalah itu ini baru kali kedua aku datang ke sini.

 

Tanpa menunggu lama, langsung kubuka pintu jati besar itu tanpa kuketuk lebih dahulu. Rasa kesalku sudah lebih dulu menyelimuti benak sedari tadi, bodo amat akan sopan santun, aku ingin memarahi Mas Bara meskipun ini pertama kalinya aku akan memarahinya. Tetap saja aku merasa khawatir, kalau-kalau nanti dia malah bertambah parah, aku pasti akan menyesal akan hal itu.

 

Tapi sepertinya niatku itu tidak akan terwujud begitu menemui pemandangan amat menyesakkan di sana. Dadaku seketika nyeri, seolah di hantam batu besar yang membuatnya terasa amat sakit.

 

Aku memandang nanar mereka yang nampak sangat dekat. Tangan wanita itu bertengger manis menatap wajah suamiku.

 

Mas Bara ngga menolaknya sama sekali, menambah rasa perih yang membara.

 

Aku mendongak, berusaha kuat menahan air mata yang ingin jatuh. Sementara tanganku sudah mengepal erat di bawah sana.

 

Apa ini alasan dia selama ini tidak membiarkan aku masuk?

 

Dia asik bermesraan dengan kekasihnya terdahulu. Dan seakan semesta mengujiku, sekarang aku dihadapkan dengan mereka yang tengah berciuman.

 

Mereka sepertinya masih belum menyadari kedatanganku, ku letakkan rantang yang ku bawa di lantai depan pintu ruangan Mas Bara, kemudian berbalik arah meninggalkan dua sejoli yang ingin memadu kasih itu. Di sini aku lah istri sahnya, tapi di sini pula aku merasa menjadi selingkuhan yang tak berhak cemburu apalagi marah pada perbuatan mereka. Ingin rasanya aku melabrak perbuatan mereka, tapi jantung dan hatiku seakan bekerja terlalu cepat hingga pasokan udara di sekitarku terasa menyesakkan.

 

Apa aku harus menyerah, Mas? Apa aku tak pernah bisa mengisi hatimu dengan namaku? Apa hadirku menyusahkanmu, Mas? Apa aku..... 

 

***

 

SABRINA

 

Apa aku dan Mas Bara masih bisa punya harapan akan menjadi keluarga yang utuh? Kenangan pahit tentang penyimpangan yang dilakukan Mas Bara seakan menjadi pedang tajam yang menikam menghunus ulu hatiku setiap saat. Aku mencintai suamiku tapi rasa kecewaku juga tak bisa ku henyakkan dari diriku. Salahkah aku kecewa, Mas? Salahkah aku mencintaimu, Mas? Salahkah jika aku menginginkan kamu hargai diriku meski rasa cintamu tak pernah bisa kumiliki? Apa benar aku salah telah masuk dalam kehidupanmu, Mas? 

 

Segala pertanyaan itu selalu menghimpit sesak di dadaku. Hanya pada diary biruku saja aku mencurahkan rasa sesak di hatiku ini, setelah selesai berdoa di setiap sholatku. Aku masih mengharapkan satu harap pada Mas Bara, hanya satu, yaitu aku masih ingin Mas Bara menjadi imam sholatku meski hanya sekali saja. 

 

Tuhan..... Apakah harapanku itu masih bisa kugapai nantinya? Jika saja ada orang yang bertanya, kenapa aku sangat menginginkan Mas Bara menjadi imam sholatku? Alasannya adalah sedari kecil aku tak pernah di imamkan oleh ayahku sendiri, maka ingin sekali hasrat di hati ini untuk Mas Bara mau menjadi imam sholatku. Walaupun hanya sekali saja....

 

***

 

"Kamu ngga usah terlalu memikirkan kata-kata Mama, Na."

 

Kupikir Mas Bara yang merebah di sebelahku sudah terlelap. Ternyata belum, bahkan dia tau aku resah dengan pernyataan Mama tadi. Mama tadi memintaku dan Mas Bara mengusahakan punya anak. Usaha itu sudah diawali dengan aku disuruh menabung asam folat dalam susu Pra-hamil. Aku tidak pernah menolak permintaan Mama, jadi aku meminumnya.

 

"Ya, Mas," gumam ku.

 

Aku sudah berusaha mengenyahkan pikiran itu tapi masih saja belum berhasil. Alhasil mataku masih menyalang sempurna.

 

"Na,"

 

Tubuhku menegang saat Mas Bara memanggilku dengan suara parau.

 

"Ya, Mas?"

 

"Kamu akan sulit tidur kalau terus memikirkannya. Lupakan dan pejamkan matamu. Kalau masih sulit, itu mungkin karena posisi tidurmu miring sana terus. Sesekali berbaliklah, nggak apa. Aku nggak akan menggigitmu."

 

Aku memang pegal harus miring kanan terus, tapi bukan itu yang membuatku susah tidur. Untuk membuat Mas Bara tenang, akupun merubah posisi tidurku. Saat aku berbalik, aku mendapati wajahnya. Posisi tidur kami jadi berhadapan.

 

"Marc Jacobs Daisy so Fresh. Kamu masih suka menggunakannya?"

 

Dia menanyakan parfum yang kugunakan?

 

"Iya."

 

Dia membuka matanya perlahan dan tatapan kami bertemu dalam jarak yang dekat.

 

"Cocok denganmu."

 

Aku merasa kikuk melihatnya tersenyum kecil. Setelahnya dia kembali menutup mata dan helaan nafasnya teratur.....

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status