Share

Menyesal???

BARA

 

Ketukan keras yang berulang-ulang membuatku terjaga. Itu suara Salsabil yang memanggil-manggilku. Astaga kenapa sekalinya dia pulang membuat jengkel begini sih.

 

"Ya ampun, istrimu lagi masak dan kamu masih ngebo?!?!" gerutunya ketika aku membukakan pintu.

 

Dia langsung menerobos masuk kamar dan membuka semua tirai.

 

"Astaga, ini weekend, Bi. Belum waktunya bangun," balasku sambil merebahkan diri kembali ke kasur.

 

Salsabila duduk di dekatku dan memukul pelan lenganku, "Bangun. Mandi. Ayo sarapan bersama!"

 

Aku membiarkan Bila berbicara dan tetap merebahkan diriku di kasur.

 

"Kalian masih pisah kamar? Mas Bara dan Sabrina."

 

Aku menghela nafas dan memiringkan badanku. Kenapa adikku ini usil sekali sih?

 

"Empat tahun bersama dan masih sama seperti ini. Perbaiki rumah tangga kalian, jangan sampai kalian menyesal nanti."

 

"Menyesal apa sih, Bi?"

 

"Aku tau Mas Bara ngga pernah memperlakukan Sabri layaknya sebagai istri. Hati-hati suatu saat kelakuan Mas Bara bisa saja membuat Mas kehilangan Sabri. Jangan remehkan kesabaran dia, Mas..."

 

Aku membuka mata dan menoleh kepadanya. Salsabila balas menatapku dengan tatapan tegas dan tak ada seringaian usilnya.

 

"Aku lapar. Cepatlah mandi!"

 

Dia beranjak dari tempat tidur menuju lemari buku. Dia memang berniat menungguku selesai mandi dan menggiringku kebawah. Saat menuju dapur, aku melihat Sabrina memasak sesuatu.

 

"Punya istri sebaik itu di sia-siakan. Dasar payah," desis Bila sembari mengikutku.

 

Dia kemudian mendahului langkahku ke dapur. Sepanjang sarapan itu aku merenungi kata-kata adikku, entah kenapa aku tidak suka dia mengatakan hal tadi padaku. Aku tidak pernah mengkhawatirkan pernikahanku dengan Sabrina, dia sangat kooperatif menjalankan pernikahan ini. Terutama mengenai mengatasi orang tua kami. Tapi kenapa ada perasaan tak nyaman membayangkan dia bisa saja pergi dari sini? 

 

Sekelebat bayangan untuk pertama kalinya dulu aku melihat tatapan kecewa dari mata Sabrina saat dia sering mengantarkan makan siang ke kantorku, tapi itu sudah lama sekali dan ya, walaupun aku tak pernah memakan makanan yang dia bawa. Entahlah, aku hanya tak ingin dia terus-menerus menyusahkan dirinya hanya untuk repot mengantarkan makan siangku, makanya aku tak pernah menyentuh masakannya.

 

"Ah, iya, Mama dan Papa bilang mau menyusulku ke sini nanti sore." ujar Salsabila yang membuatku kaget.

 

"Senin udah pulang kok. Mereka pasti kangen aku," sambungnya lagi.

 

"Kenapa tidak ada yang memberitahu kami?" tanya Sabrina.

 

"Nanti mungkin. Memang kenapa? Tinggal pindah sekamar, kan?"

 

Ya ampun, anak ini. Meskipun aku dan Sabrina biasa berada di kamar yang sama, tapi aku yakin Sabrina tak begitu nyaman. Dia memang wanita yang konservatif, jadi berduaan meskipun denganku nampak tidak nyaman baginya. Tapi apa mau di kata, kami harus menjalankan kewajiban itu.

 

Setelah kami selesai makan, Sabrina membawa beberapa pakaiannya ke kamarku. Hanya beberapa saja, cukup selama dia menginap di kamarku. Dia menata pakaiannya di sisi lemari yang kubiarkan kosong, sengaja jika harus digunakannya untuk saat seperti ini. Dan benar saja, sore itu kedua orang tuaku muncul di rumah. Tentu saja menginap seperti kata Salsabila tadi.

 

"Sudah lama Mama ngga ketemu kamu, Sabri."

 

Seperti biasanya Mama selembut itu pada Sabrina.

 

"Kenapa makin kurus? Bara mempersulitkanmu?"

 

"Mama!" runtukku.

 

"Aku juga mengira begitu, Ma. Sabri sampai tinggal kulit dan tulang," sambar Bila yang membuatku melotot padanya.

 

Sabrina tersenyum dan mengatakan kalau dia lelah karena mengurus peluncuran brand baru. Hanya dia yang membelaku.

 

"Jangan bekerja terus, Sabri. Habiskan banyak waktu untuk beristirahat di rumah," Mama mengusap lengan Sabrina dan memintanya duduk dekat dengan Mama.

 

"Kayaknya Sabri nggak akan betah tinggal di rumah kalau tidak ada yang membuatnya terpaksa tinggal, Ma."

 

Bom apa lagi yang akan di lemparkan adikku ini sekarang?

 

"Maksud kamu?" Papa yang sedari tadi diam langsung merespon.

 

"Anak lah, Pa. Mas Bara sungguh mengecewakan. Kenapa belum mampu menghamili Sabrina," ujar Bila sambil tertawa.

 

Astaga, aku benar-benar ingin menonyor kepala anak itu.

 

"Sudah program memang, Sabri?"

 

Sabrina melirikku seolah meminta bantuan untuk keluar dari pembahasan ini.

 

"Ma, jangan begitu." ujarku.

 

Mama malah melotot padaku. "Bila benar, Bar. Sudah waktunya memikirkan mempunyai momongan. Empat tahun masa mau pacaran terus sih?!?!"

 

Ya Tuhan!!!

 

SABRINA

 

"Pikirkan untuk punya anak. Selain bisa membuat Sabrina lebih betah di rumah, mungkin kamu bakal dewasa kalau sudah punya anak."

 

Aku cuma bisa bertukar tatap dengan Mas Bara yang sepertinya sudah mati kutu terkena omelan Mama barusan. Kenapa jadi istri Mas Bara sangat banyak sekali kewajibannya?

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status