Senja bergelut dengan perasaan cemas, disaat ban mobil kembali bergulir menuju hotel. Raut wajahnya berbalut kekhawatiran, sangat kontras dengan Rey yang bersenandung bahagia.
"Kau bahagiakan Senja? Mas sangat bahagia sekali. Ini bukan nominal kecil. Kita bisa membuka cabang perusahaan dan juga menambah investasi saham, jika mereka menyukai pelayananmu nanti," celoteh Rey tanpa menoleh ke Senja. Bahkan sesekali Rey terpekik kegirangan, membayangkan limpahan mata uang dollar.Senja memilih untuk menulikan pendengarannya. Pikirannya sedang sibuk melalang buana. Bayangan kotoran manusia menjijikkan masuk ke dalam mulut, sampai terdorong paksa masuk sampai ke tenggorokan, membuat Senja saat itu merasa seisi perutnya bergejolak. Dia sampai menahan mulutnya dengan telapak tangan, agar tidak muntah saat itu juga. Tapi rasa mual itu terus saja ingin menyembur keluar, hingga memerih di kerongkongan. Berulang kali mual itu kembali datang. Mata Senja sampai berair menahan luapan gejolak itu. Bahkan sekarang Senja merasakan ada cairan yang berasal dari lambung mulai mau membanjiri mulutnya.Tak urung tingkah Senja mengusik kebahagiaan Rey. Dia memandang ke arah Senja, bahkan Rey sempat meminggirkan mobilnya di bahu jalan secara mendadak. Memastikan sekelebat pikiran yang mengusiknya.Tatapan tajam Rey menyayat seluruh bagian tubuh Senja."Kau kenapa, Hah?!" bentak Rey.Seketika membuat rasa mual Senja mereda karena rasa terkejutnya. Senja memandang kearah Rey yang menatap dirinya penuh emosi."Jawab, kau hamil?! Sudah berapa kali aku ingatkan, jangan lupa pakai pengaman. Aku tidak mau kau melahirkan anak haram lagi. Kau kira rumahku penampungan anak harammu?!" sarkas Rey.Beruntun hujaman kata penuh hinaan diberikan Rey pada Senja. Tanpa peduli apa yang dirasakan oleh hati wanita itu. Wanita yang sudah menemani dan mengorbankan banyak hal untuknya."Aku tidak hamil. Kau tidak berhak menuduh dan menghinaku seperti itu, Mas!" lawan Senja. Tapi hanya bisa dalam hatinya. Mulutnya seakan tersumpal cairan berbau asam, hingga dia tidak bisa berbicara."Kenapa diam?! Kau tidak bisa menjawabnya bukan? Kau tidak bisa kembali membohongiku kan? Dari awal menikah, kau hanyalah pembual besar. Besok aku harus membawamu ke Dokter. Aku harus memastikan anak haram itu tidak lahir ke dunia." cercar Rey.Senja hanya bisa membalas hinaan Rey dengan menelan paksa saliva yang sudah bercampur cairan lambungnya. "Beginikah rasanya, menelan kotoran itu? Terasa pahit, asam, dan sangat bau menyengat sampai memenuhi rongga mulut." batin Senja. Belum lagi air mata yang meluncur cepat, menambah rasa asin di bibir Senja.Tapi sebelum semua cairan itu Senja kembalikan ke lambung. Senja sengaja menekan otot perutnya, mengembalikan gejolak yang tadi sempat mereda kembali datang. Bak tsunami yang tidak bisa terbendung, cairan berbau asam itu menumpah ruah ke pakaian jas mahal Rey."Apa yang kau lakukan, Sialan?!" berang Rey. Bahkan tangannya dengan Ringan mengayun keras ke pipi Senja.Wajah Rey memerah padam. Kebahagiaan yang tadi menari - nari di pikirannya kini sirna.Senja tersenyum dalam hatinya. Dia sengaja melakukan itu pada Rey. Melawan, tidak akan mengubah apapun. Walau mendapat satu tamparan, lebih baik untuk Senja. Daripada dia melayani kegilaan orang Dubai tersebut. Apalagi kata 'Anak haram' membuat Senja berpikir untuk membalas Rey dengan cara seperti itu."Bumi bukan anak haram. Tapi kau yang melakukan pekerjaan haram Mas. Kitalah yang haram. Bukan Bumi," batin SenjaBerbeda dengan Rey yang sangat ingin membunuh Senja saat itu juga. Dia berusaha menahan amarahnya, hingga wajahnya bukan lagi berwarna merah, tapi hampir kehitaman. Kepalan tangan yang sangat kuat di roda setir, mendesak Rey untuk melajukan mobilnya secepat mungkin kembali ke rumah. Dia sudah merasa risih dan jijik dengan tubuhnya sendiri."Kau tunggu, apa yang akan aku perbuat nanti denganmu di rumah Senja," batin Rey geram. Bahkan giginya kini bergemeletuk.Jika tadi pikiran Senja yang berkecamuk, kini giliran Rey yang merasakannya. Bagaimana tidak? Dia harus berhadapan dengan amukan investornya. Rey sangat yakin mereka pasti kecewa dan marah. Gagal sudah semua yang sudah dia rencanakan.Senja sementara memilih diam. Dia sadar, selamat dari mulut buaya, bukan berarti selamat dalam mulut singa. Tapi paling tidak, Ada rasa senang di hati Senja. Dia bisa membalas Rey. Apalagi Senja sempat mencuri lirik ke arah Rey yang tertular mual Senja. berulang kali Senja mendengar suara Rey yang ingin muntah, merasakan bau menyengat di pakaiannya, dan disusul berbagai umpatan."Kau sendiri jijik bukan dengan kotoran? Bagaimana dengan aku, Mas?! Apa kau kira aku tidak akan merasakan jijik sepertimu?" kembali Senja membatin.Bunyi bantingan pintu mobil terdengar seperti sebuah ancaman, disaat Rey tergesa masuk kedalam rumahnya.Senja yang masih didalam mobil hanya bisa memandang sendu, punggung kekar yang dia kira bisa melindungi dirinya setelah mereka menikah.Senja memilih berlama - lama didalam mobil. Sungguh, batinnya belum siap untuk kembali berhadapan dengan Rey.Kondisi sunyi didalam mobil, membawa Senja kembali ke lima tahun yang lalu..."Dimana aku?" gusar Senja. Pertama kali sepasang kelopak matanya yang berat terbuka, menyadarkan dirinya yang berada di kamar yang berbeda.Kepingan - kepingan ingatan tadi malam datang berdesakan. Senja sangat ingat, dia ditarik paksa masuk oleh seorang pria ke sebuah kamar. Disaat Senja ingin kembali ke kamar hotelnya. Dimana dia sedang menginap untuk foto praweddingnya lusa bersama Rey.Senja yang sangat bahagia, sampai ingin datang kesana terlebih dahulu. Dia ingin melihat duluan lokasi foto mereka nanti, walau Rey tidak bisa menemaninya.Sontak Senja meraba seluruh tubuhnya yang ternyata sudah tidak memakai sehelai benang pun. Senja berteriak histeris, dia menangis meraung. Apalagi lelaki yang sudah merebut mahkotanya sudah hilang tanpa meninggalkan jejak.Senja yang merasakan jijik dengan tubuhnya sendiri, bahkan mencakar dan memukul tubuhnya. "Kau sudah tidak suci lagi Senja! Kau sudah tidak suci lagi. Kau hanya wanita kotor. Kau tidak pantas untuk Rey!" teriak Senja semakin menjadi.Senja sudah kehilangan akalnya, bola matanya kini bergerak liar, mencari sesuatu yang ada didalam kamar tersebut.Pandangan Senja kini tertuju pada sebuah pisau yang terletak dipinggir piring berisikan buah - buahan.Pikiran Senja saat itu hanyalah ingin mengakhiri hidupnya. Sudah tidak ada lagi untuknya hidup. Sesuatu yang selama ini dia jaga untuk kekasihnya, kini sudah tidak ada. Senja sangat yakin, Rey akan marah dan meninggalkannya.Tanpa memakai sehelai benang pun untuk menutupi tubuh. Senja berjalan tertatih menuju dimana pisau berada. Rasa perih di bagian intimnya, membuat Senja semakin ingin cepat mengakhiri hidup.Tangan Senja gemetar saat memegang pisau itu. Untuk pertama kali pisau yang biasa membantu dirinya untuk memasak, kini beralih fungsi membantu senja dalam kematian."Maafkan aku Mas Rey. Aku sudah tidak pantas untuk Mas. Aku sudah kotor mas, sudah kotor," racau Senja dengan tergugu disela tangis yang masih belum mereda.Mata Senja terpejam dan meringis, saat pisau mulai menyayat kulit pergelangan tangannya, dan terasa mengoyak urat nadinya."Selamat tinggal Mas Rey. Maafkan aku. Aku mencintaimu Mas. Sangat mencintaimu..."Senja menghirup udara segar di daerah perkampungan. Biasa yang terpandang matanya adalah bangunan yang tinggi menjulang. Kini sepanjang mata yang memandang hanya hamparan hijau dari kebun dan juga sawah. Sungguj sangat menyegarkan matanya."Ma, mana permainannya. Kata mama disini ada permainan? Lihat ini," keluh Bumi. Dia menyodorkan gawainya yang sinyalnya sering hilang dan timbul, hingga dia tidak bisa bermain game yang ada di gawainya. "Bumi mau balik ke rumah ma," sungut Bumi. Terbiasa di kota, membuatnya sangat asing dengan daerah yang dia datangi, belum lagi orang-orang disekitarnya terlihat aneh baginya. Bagaimana tidak aneh, mereka semua memandang ke arah Bumi dengan mata yang tidak berkedip."Ma, Laura cantikkan? Kata nenek, dulu gadis cantik disinu, rambutnya di kepang dua," ucap Laura. Sangat berbeda dengan abangnya. Dia sangat semangat berada di kampung. Apalagi banyak tumbuhan bunga cantik disekitar rumah yang sangat jarang terlihat di kota."Sabar. Baru juga semalam. Kem
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi. Dia membantu mamanya meletakkan pakaiannya ke dalam koper."Kita akan berlibur. Kalian kan sedang liburan sekolah. Jadi kita akan ke kampung neneknya Laura. Sejak kamu lahir, belum pernah mama ajak ke daerah perkampungan," jelas Senja.Pagi ini, setelah suaminya berangkat kerja. Senja mengajak Bumi untuk berkemas. Dia tidak berniat meminta izin pada Langit. Karena sudah lama juga mereka berdua menjadi orang asing, seperti tidak saling mengenal. Bukan itu saja, bahkan suaminya memilih tidur di kamar yang lain, tidak seranjang bersamanya."Apa disana banyak permainan?" tanya Langit. Dia hanya tahu liburan selalu berhubungan dengan permainan."Ya, banyak. Disana banyak permainan yang tidak akan kamu temukan di kota," jelas Senja.Bola mata Bumi berbinar cerah. Dia jadi penasaran permainan seperti apa yang ada disana.Setelah memastikan barang yang akan dibawa sudah terkemas dengan baik. Senja mendatangi kamar Laura Dimana ada Ririn dan juga Laura di dal
"Dari mana kamu Senja?" tanya Ririn. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tapi tidak menemukan Senja berada di atas ranjangnya. Dia sempat panik, tapi seketika hilang disaat melihat Senja sudah mulai masuk ke dalam kamar kembali."Hanya menghirup angin malam sebentar bu. Bosan rasanya di aras ranjang. Kebanyakan tidur, membuat Senja tidak bisa tidur kembali. Maaf sudah membuat ibu khawatir," jelas Senja. Dia berusaha tersenyum selebar mungkin, untuk menutupi hatinya yang sedang porak poranda.Balasan senyum diberikan Ririn. Walau wajah Senja tersenyum, dia bisa melihat mata Senja yang sendu. Seberapa banyak anaknya itu menutupi kesedihannya sendiri. Ingin Ririn medengar semua beban yang membuat sedih anak dari majikannya dulu itu."Besok sepertinya kita sudah bisa kembali bu. Senja sekalian mau ambil cuti. Rasanya ingin kembali merasakan suasana hijau, pasti tenang ya bu," celetuk Senja lagi. Dia sudah berjalan dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Merasa Senja mengajaknya
Lenguhan keluar dari bibir Senja. Pandangan Senja langsung bergerak liar untuk meraba area sekitarnya saat ini. Dia masih ingat, jika tadi dia masih berada di tamab rumah sakit, dia juga masih sadar, saat dirinya akan kehilangan kesadarannya."Kamu sudah sadar nak? Kenapa sampai bisa pingsan? Untung saja janinmu baik-baik saja," seru Ririn. Saat melihat Senja mulai membuka mata, dan seperti kencari sesuatu yang berada di dalam kamar inap yang mereka tempati.Tatapan Senja menyiratkan kekecewaannya. Tidak ada lagi rona warna bahagia terpantuk disana, hanya tinggal warna hitam dan putih saja. Di ruangan yang besar, ada satu tempat tidur untuknya. Tapi tidak ada suaminya disana. Dimana Langit? Apakah dia sesibuk itu dengan Aurora sekarang ini? Hingga tidak tahu keberadaan dan keadaan dia sekarang? Hati Senja merasa tusukan-tusukan duri tajam yang terus menusuk tanpa ampun."Kenapa? Cerita sama ibu, jangan pendam masalahmu sendiri. Apa kamu mencari suamimu? Apa perlu ibu memanggilnya, agar
Sudah beberapa hari berjalan, Senja dan Langit melakukan perang dingin. Langit dengan ego besarnya, selalu pergi bekerja terlebih dahulu, membiarkan Senja berangkat bersama supir mereka."Ma, papa kenapa?" tanya Bumi.Ternyata anak-anaknya juga sampai merasakan perbedaan yang terjadi diantara mereka."Papa sedang sangat sibuk. Jadi terburu-buru dan duluan pergi. Kalau mama kan sdang hamil," alasan Senja.Bumi menatap curiga pada mamanya. Tentu tatapan Langit langsung membuat mamanya salah tingkah, dan tidak berani membalas tatapan matanya."Laura, gimana sekolahnya. Teman barumu, masih mau terus dekat-dekat abang?" tanya Senja. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan."Masih ma. Katanya dia mau ketemu dan berkenalan dengan calon mertuanya. Siapa sih ma, calon mertua itu? Sampai abang makin marah da mengusir kami," tanya Laura penasaran.Senja tersenyum tipis. Dia jadi penasaran dengan teman Laura. Kenapa bisa berpikir sedewasa itu. "Calon mertua itu, sebutan untuk mama, dan papa untuk pasa
"Kamu dari mana?" tanya Langit. Saat Senja kembali ke kantor. Langit sudah berada di ruangan mereka.Sebelum menjawab. Senja tersenyum pada suaminya. Menyiratkan jika dia baik-baik saja. "Mas pasti tahu, aku dari mana," jawab Senja.Helaan napas panjang keluar dari bibir Langit. Dia tahu, dia sempat menguntit istrinya tadi, dan dia juga terkejut dengan kondisi Aurora. Ada rasa bersalah dan ingin melindungi wanita yang dulu pernah mengisi hatinya."Jangan kesana lagi. Dia hanya masa lalu mas. Mas tidak mau kamu terluka," sahut Langit.Senyum Senja semakin melengkung. Kalimat Langit sudah memberitahukan jika suaminya tahu, jika di rumah sakit itu ada masa lalunya yang sedang terbaring lemah."Jangan marahi Maira. Dia hanya meminta tolong padaku. Aku sudah berjanji akan membantu biaya rumah sakit dan juga operasi temannya," jelas Senja. Lidahnya tidak bisa menyebut nama Aurora di depan suaminya."Terserahmu," jawab singkat Langit. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya, daripada mengajak Se
Pagi ini Senja datang ke kantor dengan menunjukkan kemesraan yang tidak biasanya. Dia menggelayut manja di lengan Langit. Seakan ingin menunjukkan ke semuanya, jika Langit hanyalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang bisa berbagi dengannya.Tidak urung tingkah yang di lakukan Senja juga menjadi perhatian Maira. Kedongkolan semakin menghantam dadanya dengan palu godam. Padahal dia sudah mengatakan semuanya. Tapi dia merasa, Senja menjadi wanita yang tidak tahu diri."Kamu masuk duluan ya. Ada yang mas diskusikan sebentar dengan Maira," ucap Langit.Senja memgangguk setuju. Dia tidak perlu cemburu, karena dia tahu jika Maira tidak ada maksud lain, selain menginginkan Langit kembali pada Aurora.Suasana antara Langit dan Maira, sejenak hening. Hingga Senja sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, baru lah Langit membuka suaranya. "Apa yang kamu lakukan kemarin dengan istri saya? Jangan pikir saya tidak tahu apapun. Saya ingatkan padamu, untuk pertama dan terakhir kali. Jangan pernah membawa
Senja sangat ingin menutup wajah amarahnya. Tapi tetap saja, emosinya yang tergambar, tidak bisa menutup rasa amarahnya.Dia meminta supir yang bersamanya untuk mengantarkannya menepi ke sebuah taman. Dia harus bisa mendinginkan kepalanya sebelum kembali ke rumah.Matanya masih melihat ke gawai yang menampilkan nama suaminya. "Maafkan aku mas," seru Senja. Dia mematikan gawainya sejenak. Tidak ingin panggilan dari Langit mengganggu kesendiriannya."Kenapa takdir pernikahanku selalu saja harus ada wanita lain disana?" monolog Senja sendiri.Dia masih mengingat jelas semua apa yang dikatakan Maira tadi.[Dia sakit. Dia lebih membutuhkan tuan, daripada anda bu Senja. Sejak awal tuan juga milik Aurora. Bukan milik anda. Harusnya anda mundur, disaat tahu seseorang yang dicintai tuan kembali. Apa anda tega memisahkan keduanya? Disaat salah satu sedang tidak berdaya dengan sakitnya?]Senja menangis terisak. Dia bisa saja membenarkan aoa yang dikatakan Maira. Tapi dia juga bisa menyalahkan Mai
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu