Mas Arga terlihat biasa. Dia memintaku membuatkan kopi dan roti panggang seperti biasanya. Aku pun menurut.
Berpura-pura baik-baik saja memang tak mudah, tapi aku ingin membongkar semuanya perlahan. Karena itulah aku tak ingin membuat Mas Arga curiga jika perubahan sikapku yang terlalu mencolok. Aku tahu dia mencintaiku, tapi aku juga tak paham alasan pastinya kenapa dia berani mendua. Wajar jika aku ingin menyelidikinya lebih dulu sebelum memutuskan sesuatu yang penting dalam hidupku kan? "Sudah baikan, Sayang?" tanya Mas Arga dengan senyum tipisnya, seperti biasa. Aku mengangguk sembari membalas dengan senyum lalu menarik kursi di sebelahnya dan duduk perlahan. "Alhamdulillah, aku senang melihatnya. Jadi nggak was-was saat ditinggal kerja," ucapnya lagi lalu mengusap pelan lengan kiriku. "Mas, aku boleh kerja kan? Biar nggak suntuk di rumah," ucapku lagi untuk kesekian kalinya. Mas Arga menghela napas panjang, meletakkan roti panggang ya kembali lalu menatapku lekat. Rasa deg-degan tak karuan, takut jika Mas Arga kembali melarang. Namun sesaat kemudian kulihat anggukan kepala. Refleks aku memeluknya lalu mengucapkan terima kasih. Walau bagaimanapun, dia tetap suamiku dan aku tetap menginginkan ridhonya saat ingin melakukan sesuatu, termasuk izin bekerja kembali. "Makasih banyak, Mas," ucapku pendek. "Aku yang harusnya bilang makasih, Sayang. Kamu sudah berusaha menjadi istri terbaikku. Jika memang kembali bekerja akan membuatmu lebih bahagia, aku mengizinkannya," ucap Mas Arga sembari membingkai wajahku. Tak terasa, kedua mataku berkaca. "Soal program hamil, nggak apa-apa terserah kamu siapnya kapan. Aku tak akan memaksa," sambungnya lagi. Aku mengangguk lagi. Aku pun masih terus konsultasi soal ini dengan dokter. Perempuan mana yang tak menginginkan buah hati, aku pun mendambakannya juga. Hanya saja, Allah masih memintaku lebih bersabar dan ikhlas. Aku yakin nanti dia akan hadir dalam rahimku di saat yang tepat. "Iya, Mas. Aku juga masih konsul dengan dokter kok. Apa kamu nggak mau cek kesuburan juga, Mas? Biar kamu juga lihat dan dengar sendiri bagaimana penuturan dokter. Dari dulu kamu belum pernah ikut cek kan?" tanyaku sembari menikmati roti yang tadi kupanggang.Selama ini Mas Arga memang tak pernah ikut cek kesuburan. Selalu aku saja yang cek ini itu. Dia selalu beralasan sibuk dan begitu yakin akan kesuburannya. Padahal belum tentu juga kan? Bisa saja dia yang bermasalah kenapa tiga tahun ini kami belum dikaruniai momongan. Kini aku curiga, keyakinannya itu mungkin karena dia merasa sudah memiliki anak dengan perempuan lain bahkan kini dia tengah mengandung. Jadi, Mas Arga tak ingin ikut cek bersamaku. "Nggak usah, Sayang. InsyaAllah kita sama-sama subur. Mungkin memang Allah belum mengizinkan kita untuk memiliki buah hati, tapi aku percaya kelak perjuanganmu selama ini tak akan sia-sia. Allah akan kirimkan malaikat kecil itu ke rahimmu, Sayang," ucapnya seraya mengusap perutku. Meski kesal karena penolakannya, tapi lagi-lagi aku menerima. Biarkan sajalah mungkin memang benar aku dan dia subur, toh Mas Arga sudah membuktikan memiliki anak banyak, meski bukan denganku. Aku punya cara sendiri untuk membongkar masalah ini. Apalagi dengan perempuan itu. Aku merasa ada sesuatu yang dia rencanakan, kenapa baru sekarang dia mengusik rumah tanggaku sementara empat tahun belakangan bahkan aku nyaris tak tahu mereka ada hubungan. Apa karena sekarang Mas Arga diangkat jadi manager dan merintis bisnis restoran? Tapi, bukankah dia juga sudah diberi toko grosiran yang aku sendiri baru tahu soal itu kemarin? Semua begitu terencana hingga tak ada kecurigaan sedikit pun di hatiku dengan sikap Mas Arga. ***[Ren, hari ini aku sama Putri mau ke Anggrek Mall. Kalau kamu ada waktu, kita bisa ketemuan di sana. Gimana?] Pesan dari Rita membuatku tersenyum. Aku akan mengorek halus hubungan Mas Arga dan keluarganya di Jogja, kebetulan Rita memang tak tahu banyak hal tentang hidupku. [Oke, Rit. Jam sepuluh ya di Kopee Cafe] Kukirimkan balasan. Gegas membersihkan badan dan dandan sewajarnya lalu melajukan motor matic menuju mall yang dimaksud. Jarum jam nyaris menyentuh angka sepuluh aku baru sampai lokasi. Rita kembali menelpon. Dia mengabarkan sudah sampai di cafe yang kuminta. Kulihat Rita dan putri semata wayangnya tengah duduk santai di sana. Seorang pelayan cafe berdiri di samping mereka sembari mencatat menu apa saja yang dipesan. Rita melambaikan tangannya saat melihatku sedikit tergesa ke arahnya. Setelah sampai, seperti biasa saat bertemu kawan lama aku dan dia cipika-cipiki. Anak perempuannya pun menyalamiku lalu menyebut namanya sebagai perkenalan. "Maaf ya, Rit. Aku telat, tadi macet banget. Tumben. Biasanya nggak semacet ini," ucapku jujur. "Nggak masalah, Ren. Aku sama Putri juga belum lama kok. Kamu minum apa biar aku pesankan sekalian," ucap Rita lagi sembari menyodorkan buku menu ke arahku.Aku hanya memesan minuman saja, sebab perut memang sudah kenyang habis sarapan dengan Mas Arga sebelum dia berangkat kerja. "Yakin mau minum aja?" Rita kembali bertanya dan aku pun mengiyakan. "Sudah sarapan sama suami tadi, Rit," ucapku meyakinkannya. Rita pun meminta pelayan untuk membuatkan minuman pesananku."Romantisnya. Ohya, Ren. Lama banget kita nggak ketemu loh ya. Sejak kelulusan itu, kamu sendiri yang menghilang. Sesekali aku masih ikut reuni, tapi kamu nggak pernah nongol. Sibuk bangun usaha apa sih sekarang?" Rita mulai bertanya tentang kehidupanku. Baguslah, nanti aku gantian yang tanya soal kehidupannya di sana. Yang pasti tentang Mas Arga dan istrinya. "Biasalah ngantor, Rit. Usaha nggak ada, baru merintis bisnis kecil-kecilan. Cuma tiga bulan belakangan aku resign kerja, mau istirahat biar nggak kecapekan. Takutnya capek juga menghambat kehamilan, tapi suntuk banget di rumah. Jadi kuputuskan buat cari kerja lagi," balasku panjang lebar. Rita manggut-manggut mengerti. "Kamu sendiri gimana?" tanyaku balik. "Aku masih kerja sih, Ren. Lebih tepatnya usaha kecil-kecilan rumah makan gitu di Jogja. Sebelumnya suamiku yang urus, tapi semenjak dia selingkuh aku yang handle semuanya." Rita berbisik. Mungkin tak ingin putrinya mendengarkan ceritanya. Putri yang kini masih asyik dengan tas barunya. "Wah seru dong ada bisnis gitu, Rit. Suami juga baru mulai bisnis resto. Baru dua mingguan ini launchingnya. Makanya dia super sibuk sekarang, tiap pulang kerja sering ke resto dulu," ucapku kemudian. "Sibuk asal sayang, perhatian dan setia nggak masalah, Ren. Kalau suamiku, sudah pelit, selingkuh pula," balas Rita dengan berbisik lagi. Kata setia yang diucapkannya terasa nyangkut di tenggorokan. Iya, Mas Arga yang kupikir begitu setia ternyata juga mendua. "Sebelumnya aku stress bahkan nyaris bunuh diri, Ren. Beruntung ada temanku yang waktu itu fotonya diupload di f******k, kamu ingat kan?" Aku mengangguk.Bagaimana mungkin aku melupakan temanmu itu, Rita. Justru karena dia aku bela-belain datang ke sini. "Dia tetangga baruku. Lebih tepatnya aku yang tetangga barunya sebab aku baru pindah enam bulan di sebelahnya. Jarak lima rumah saja darinya. Dadi sekian banyak tetangga, cuma dia yang tahu dan paham kondisi batinku yang tak baik-baik saja. Dia sangat baik dan nyaris tiap hari datang ke rumah untuk menenangkanku. Hingga akhirnya beginilah aku sekarang, lebih bersemangat mengahadapi masa depan sekalipun perceraianku di depan mata. Tinggal menghitung hari saja." Rita menceritakan kisah rumah tangganya. Dia memang tipe orang yang lebih terbuka, tak sepertiku yang sangat tertutup dan cenderung jarang memiliki teman.Oh, berarti baru enam bulan saja Dira dan Rita berkenalan. Baru enam bulan juga Rita tahu kehidupan sahabatnya itu. Tentang Mas Arga dan segala keromantisannya selama enam bulan ini. Mungkinkah Dira juga menceritakan tentang masa lalunya pada Rita? Termasuk soal Rangga. Laki-laki yang disebut Mas Arga saat Dira menelponnya semalam. Laki-laki yang Mas Arga bilang kalau Dira belum bisa melupakannya. ***Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers