Saat istriku tahu, aku menikahi istri kakakku sesuai wasiatnya sebelum tiada. Kupikir rahasia ini akan aman selamanya, tapi ternyata dia berhasil menyelidiki semuanya.
Lihat lebih banyakSaat Istriku Tahu, Aku Menikahi Istri Kakakku Sesuai Wasiatnya Sebelum Tiada
BAB 1"Sayang, aku pulang agak telat ya? Ada hal yang harus kuselesaikan terlebih dahulu," ucap Mas Arga-- suamiku. Seperti biasa, tiap kali keluar kota, Mas Arga tak pernah telat memberiku kabar meski tanpa kuminta. Keterbukaannya itu membuat tingkat kepercayaanku padanya di atas rata-rata."Iya, Mas. Hati-hati di sana. Jaga mata dan hati ya?" ucapku seketika. Aku sendiri tak paham mengapa membalas ucapannya dengan kalimat seperti itu. Refleks saja. Mas Arga tertawa kecil lalu menggodaku. Seperti biasa dia memang pandai mengambil hatiku. "Mas, bumil ngidam mangga muda nih!" Suara yang cukup familiar di telinga membuatku terdiam seketika. Tak lama setelahnya semua kembali hening seperti semula."Siapa yang hamil, Mas?" tanyaku tiba-tiba. Kupikir Mas Arga akan gugup atau kebingungan memberikan jawaban, tapi ternyata dia cukup santai membalas pertanyaanku."Mungkin itu pemain sinetron. Biasalah Dina sama ibu selalu menyukai persinetronan," balasnya kemudian. "Oh ... habis dari rumah ibu apa masih ada tugas kantor lagi?" tanyaku mengalihkan pembicaraan meski masih ada ganjalan dalam hati. Namun aku tak ingin membuat Mas Arga curiga, aku akan menyelidikinya sendiri. "Nggak, Sayang. Nanti sorean pulang. Tiket pesawatnya juga sudah dapat kok. Sudah dulu ya, dipanggil ibu. Love you," ucapnya lalu mengucap salam setelah aku membalas "love you too" untuknya. Aku kembali mengeja apa yang sebenarnya tadi kudengar. Bukan. Itu jelas bukan memberikan komentar soal persinetronan. Sejak kapan Mas Arga suka nonton sinetron hingga Dina memberi tahu soal bumil yang ngidam padanya? Sepertinya ada ibu hamil di rumah ibu yang tengah ngidam, makanya Dina memberitahukan soal itu pada kakak semata wayangnya itu. Tapi siapa perempuan hamil di rumah ibu? Mungkinkah Mas Arga memiliki istri lain di sana? Rasanya tak mungkin jika mengingat perlakuannya yang terlalu manis selama ini padaku. Namun jika tidak, siapa ibu hamil yang ada di rumah ibu? Sementara saudara Mas Arga hanya Dina saja? Kuamati status w******p Dina, tak ada sesuatu yang mencurigakan di sana. Seperti biasa hanya mengunggah masakannya pagi ini lalu foto-foto kebun bunganya. Namun kini aku kembali mengulang video singkat di status w******p Dina.Sekelebat kulihat seorang perempuan dengan gamis motif bunga dan hijab coklat tertangkap kameranya. Mungkinkah tetangga yang tak sengaja lewat di depan rumah ibu? Tapi sepertinya dia membantu Dina menyiram bunga-bunga itu. [Din, lagi nyiram bunga sama ibu ya?]Iseng kuberikan komentar di statusnya. Dia masih online dan terlihat komentarku sudah terbaca. Tak lama setelahnya kulihat Dina mulai mengetik balasan. Aku dan dia memang cukup akrab, meski aku jarang ke Jogja. Namun tiap libur semester, Dina sering ke Jakarta untuk mengisi hari liburnya di kota yang berbeda, katanya. [Iya, Mbak. Sama ibu dan tetangga sebelah. Cuma dia sudah pulang tadi cuma ikut metik cabai saja buat masak mi instan katanya] Balasan dari Dina membuatku sedikit lebih tenang apalagi dia sengaja mengirimkan fotonya dan ibu yang masih sibuk dengan selang air untuk menyiram tanaman. Ketakutan yang tadi begitu terasa sedikit menipis meski tetap saja masih mengganjal. Mungkinkah yang ngidam tadi juga tetangga ibu di sana? Bukan perempuan lain yang kukhawatirkan statusnya? [Ohya, Mas Arga kemana, Din?] Aku ingin menyelidiki dengan halus masalah ini. Tak bisa diam saja dan pura-pura tak tahu. Sepahit apapun hasilnya nanti, aku harus mempersiapkan hati. Secinta apapun aku pada suamiku, aku tetap tak suka jika dia sengaja menyembunyikan rahasia besar dariku. Aku berhak tahu apapun itu sebab dia pun tahu apapun masalah hidupku. [Mas Arga keluar sebentar, Mbak. Mungkin sekadar cuci mata sebab sebelum dia balik ke Jakarta. Kenapa? Mbak Kana kangen ya?Duh ... kapan ya aku ada yang ngangenin juga] Aku tersenyum membaca balasan dari Dina. Dia bilang memang tak pernah pacaran sebab takut patah hati dan ditinggalkan. Dia ingin sepertiku dan Mas Arga yang hanya dua bulan saja kenal dan dekat, Mas Arga langsung melamar. Pernikahan pun digelar sebulan setelah lamaran dilaksanakan. Mungkin karena itu pula aku tak terlalu mengenal keluarga besar suamiku meski sudah tiga tahun bersamanya. Hanya dua tahun sekali kami pulang ke Jogja dan hanya saat lebaran itulah aku mengenal secara singkat keluarga besarnya. Namun selama di sana, tak ada sedikitpun hal yang aneh apalagi membuatku curiga. Semua keluarga menerimaku dengan tangan terbuka, menghormati dan menghargai keberadaanku di sana.Argh! Kepalaku mendadak sakit memikirkan semuanya. Mungkinkah ini hanya sekelumit kekhawatiranku saja sebab rasa cintaku pada Mas Arga yang terlampau besar?Aku terlalu takut jika dia mendua hingga timbul rasa curiga yang tak ada sebabnya? Kuhela napas panjang sembari memejamkan kedua mata. [Mbak ... kapan ke Jogja? Aku dan ibu kangen demo masak sama Mbak Karen]Dina kembali mengirimkan pesan dengan diakhiri emoticon love. Pesan yang sebelumnya pun hanya kubaca dan belum sempat membalasnya. Namun Dina kembali mengirimkan pesan lain yang membuat hatiku berbunga. Mereka merindukanku. Aku yang hanya menantu dan ipar di rumah itu. Untuk mengalihkan kegundahan dalam dada, aku sengaja mengajak Dina video call. Kini aku dan dia juga ibu saling bertukar kabar, menceritakan kesibukanku yang hanya itu dan itu saja sejak resign tiga bulan lalu atas permintaan Mas Arga. Dia tak ingin aku kecapekan mengurus pekerjaan kantor sekaligus pekerjaan rumah yang melelahkan. Mas Arga ingin aku hanya melayaninya saja, sementara urusan nafkah menjadi tanggungjawabnya. Dia selalu bilang terlalu mencintaiku sebagai istrinya hingga tak rela jika ada lelaki lain di kantor yang berusaha mencuri hatiku darinya. Berbagai alasannya yang akhirnya membuatku mengalah dan memilih fokus mengurus rumah. "Mbak ... Kakakku masih memperlakukan Mbak Karen seperti dulu kan? Tak berubah?" Pertanyaan Dina membuatku sedikit tersedak. Apa maksudnya? Sekadar bertanya atau memang ada maksud lain di dalamnya? "Eh, jangan berpikir macam-macam kakakku Sayang. Maksudku, kalau Mas Arga macam-macam bilang aku saja, biar aku cubit dia. Beraninya menyakiti Mbak Karenina." Dina kembali tertawa, membuatku ikut tertawa pula. Selalu begitu. Dina memang lebih sering memihakku jika terjadi keributan kecil diantara aku dan Mas Arga. Misal saat memilih restoran untuk makan malam bersama atau sekadar memilih warna tembok rumah yang selalu berbeda antara aku dan Mas Arga. Dina bilang women support women. Kulihat mata sipit Dina saat dia tertawa. Tawa yang mendadak terhenti seketika saat dia sadar kameranya tak sengaja menampilkan Mas Arga dengan seorang perempuan di belakangnya. Aku yakin jika itu adalah Mas Arga. Mendadak Dina mengalihkan posisinya. Terlihat jelas mimik wajahnya yang sedikit tegang dan tak nyaman. Sepertinya Dina mendadak kebingungan mengawali pembicaraan yang sempat terjeda. "Din, tadi Mas Arga kan? Barusan dia sama siapa?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku ingin segera tahu sebenarnya siapa perempuan yang bersama Mas Arga. Mungkinkah itu perempuan ngidam yang sempat diteriakkan Dina saat Mas Arga menelponku beberapa menit lalu? ***Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen