Evan berjalan ke arah mobilnya, akan tetapi hatinya begitu tergerak untuk masuk ke dalam rumah itu.
"Ah, masa bodoh! Aku akan mendobrak pintunya. Jika ada yang menganggapku hendak mencuri aku tak peduli, rumah ini milikku," Evan bergumam dan berjalan kembali ke arah rumah itu.Dengan sekuat tenaga di dorongnya pintu itu. Sekali tidak berhasil, dua kali masih gagal, Evan tidak mau menyerah. Dia trus berusaha membuka paksa pintu rumah itu.Akhirnya usahanya membuahkan hasil, pintu terbuka. Evan masuk perlahan ke dalam rumah. Tampak barang-barang sudah berdebu, sudah berapa lama rumah ini di tinggalkan oleh Anin, batin Evan begitu penasaran.Hatinya tergerak menuju kamar, matanya memindai ruangan itu. Bayangan Anin datang di depan matanya tanpa diminta. Senyuman yang tulus itu, tatapan mata yang sayu dan pasrah saat Evan menyentuhnya. Wajah yang memerah menahan gejolak, berganti menjadi wajah penuh air mata karena disakiti oleh suaminya.Evan mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menghilangkan bayangan itu dari matanya. Apa mencintai itu begitu menyakitkan hati seperti ini. Evan berbalik menuju pintu keluar tapi matanya tertarik pada sesuatu di atas meja rias.Perlahan ia berjalan ke arah meja tersebut, sebuah kertas berdebu tergeletak disana ditindih oleh kotak perhiasan yang juga berdebu. Pelan dibukanya kotak itu, berisi satu set perhiasan yang digunakannya sebagai mahar pernikahannya dengan Anin. Wanita itu meninggalkannya.Diraihnya kertas itu dan dibacanya dengan perlahan.Teruntuk mas Evan,Terimakasih pernah ada dalam hidupku, memberiku kebahagiaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.Aku yang salah, berharap menjadi Cinderella. Padahal aku tahu, cerita seperti itu hanya ada dalam dongeng dan cerita romansa.Maaf jika tak sengaja menorehkan luka dalam hatimu mas, aku harap setelah ini kamu akan berbahagia.Kutinggalkan semua pemberianmu, tapi ada satu hal yang tidak bisa kutinggalkan. Karena ia juga bagian dari diriku.Wanita yang kau ceraikanAninda DivaEvan semakin frustasi setelah membaca surat itu. Apa maksudnya tidak bisa meninggalkan satu hal karena itu bagian dari dirinya. Apa Anin benar-benar hamil? lalu kemana dia pergi.Dalam kebingungannya Evan keluar dari rumah itu dan membawa serta surat dan kotak perhiasan itu. Darimana ia akan mengurai benang kusut ini, mencari Anin dahulu atau mencari tahu kebenaran tentang video yang diperlihatkan mamanya menjelang pernikahannya.Melihat fakta yang diterima saat ini, Evan jadi meragukan kebenaran video tersebut. Sungguh sangat terlambat, seharusnya Evan memeriksanya sejak awal, tapi hatinya saat itu sudah tertutup dengan kemarahan hingga menghilangkan akal sehatnya. Tinggallah penyesalan yang bergelayut di dalam pikiran.***Jauh ke arah timur dari metropolitan kota yang di tinggali oleh Evan, tepatnya di daerah patean Jawa Tengah. Seorang wanita tengah asyik berjemur dengan bayinya yang berusia dua bulan. Bayi laki-laki yang mungil dan tampan, sangat mirip dengan ayahnya."Hai junior, lagi berjemur ya?" sapa seorang laki-laki.Ibu dari bayi itu tersenyum ramah pada laki-laki yang menyapa mereka."Mau berangkat ngajar?" tanyanya"Iya, kamu kapan mulai masuk lagi?" laki-laki itu balik bertanya."Sebulan lagi.""Masa iddahmu sudah selesai, bagaimana tawaranku Anin?" laki-laki itu bertanya."Albana butuh seorang yang bisa di pangginya ayah, papa, abi atau apapun itu. Aku akan menjadi ayahnya," ucap laki-laki itu."Aku tidak bisa mas, mas Fajar laki-laki yang baik dan sudah sangat baik padaku. Aku tidak pantas untukmu," jawab Anin tanpa melepas pandangan dari Albana, bayi yang dua bulan lalu baru saja dilahirkannya.Laki-laki yang di panggil Fajar itu menarik nafas dalam-dalam, sungguh sulit menaklukan hati dan meyakinkan wanita ini."Ya sudah, saya berangkat dulu ya. Sampai ketemu lagi Albana. Abi jalan dulu," ucapnya sambil mencolek pipi gembul bayi itu.Bayi yang di panggil Albana itu hanya mengeliat dan masih asyik menutup matanya."Bisa-bisanya dia menyebut dirinya Abi pada Albana," gumam Anin setelah Fajar menjauh dari hadapannya, menuju tempat dia mengajar.Rizky Malik Fajar, laki-laki yang menolongnya sebelas bulan lalu. Saat Anin merasa terpuruk, hamil tanpa suami. Berdiri di atas jembatan dengan tatapan penuh kesedihan, tubuh yang lemah efek kehamilan membuatnya pingsan.Fajar pikir, saat itu Anin hendak bunuh diri kemudian menolongnya. Saat Anin sadar dan hendak diantarkan ke rumah. Anin berkata jika dia tak memiliki rumah, kemudian malah dibawa serta oleh Fajar ke desa ini. Saat itu Fajar tengah dalam perjalanan menuju pondok pesantren Nurul Jadid tempat dia akan mengajar.Selepas pulang dari studynya di negeri Fir'aun sana, Fajar ditawari oleh temannya yang juga kuliah disana untuk mengajar di pesantren milik Abahnya. Dan Fajar tentu saja menerimanya dengan senang hati, dia lebih suka untuk tinggal di pedesaan daripada harus berkutat dengan hiruk pikuk ibu kota.Saat Anin diajak oleh Fajar, tanpa pikir panjang dia mengikuti begitu saja. Orang yang tengah depresi dan kehilangan segalanya, tentu tidak bisa menggunakan akalnya dengan baik. Bahkan banyak dari mereka yang tidak takut mengakhiri hidupnya, beruntung Anin bertemu dengan orang baik seperti Fajar.Dalam perjalananlah Anin menceritakan kisah hidupnya. Saat sampai di tempat tujuan, Fajar mengenalkan Anin sebagai istri temannya yang harus dia jaga karena sudah yatim piatu dan suaminya ada tugas keluar negeri dan sang istri yang tengah hamil tidak di perkenankan ikut serta.Sepertinya memang kurang masuk akal, tapi bukan Fajar namanya jika tidak bisa meyakinkan orang lain. Kepandaiannya dalam mengolah kata membuat semua orang akan terkesima dan mudah percaya. Tapi sepertinya itu tidak berlaku untuk meyakinkan Anin.Seiring berjalannya waktu, dia malah jatuh hati pada wanita itu dan berkeinginan untuk meminangnya. Entah apa lagi alasan yang akan dia katakan pada semua orang jika Anin bersedia menjadi istrinya, mungkin akan bilang jika suaminya meninggal. Cinta selalu memiliki banyak alasan untuk bisa bersama."Muhammad Albana, jadilah anak yang soleh nak. Selalu temani bunda, bunda tidak memiliki siapapun selain dirimu," ucap Anin sambil mencium pipi bayi mungil itu dan mengajaknya masuk kembali ke rumah. Hari sudah beranjak siang, matahari mulai memancarkan panasnya.Di tempat itu, Anin yang juga sarjana pendidikan bisa ikut mengajar di pesantren tersebut. Mendapat fasilitas tempat tinggal yang di sediakan oleh pihak pesantren, jadi dia tak pusing lagi memikirkan tempat tinggal dan tidak terlalu merepotkan Fajar. Jika dia trus merepotkannya, entah dengan apa Anin akan membalas semua kebaikan laki-laki yang terus saja ingin menikahinya.Tapi kali ini Anin tidak akan membuka hatinya pada seseorang dengan status sosial diatasnya, dia tahu Fajar adalah anak orang berada. Dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama, dia sudah merasa senang hidup berdua saja dengan Albana.🍁🍁🍁[Wanita itu benar pernah memeriksakan diri padaku, hanya sekali. Saat itu perkiraan usia kandungannya baru dua minggu. Tapi dia terlihat tidak bahagia dengan kehamilan bahkan dia menolak untuk di USG].Pesan teks dari Aletta masuk ke dalam smartphone milik Evan setelah lima hari lamanya dia menunggu, dan sukses membuatnya spot jantung. Meskipun sejak awal dia sudah menduga akan hal itu. Hatinya terasa diremas saat melihat kata tidak bahagia tertulis didalam pesan itu. "Anin tidak bahagia dengan kehamilannya, apa karena dia membenciku. Apa dia tetap mempertahankan bayi itu, jika dia benar-benar wanita yang berhati baik maka dia tidak akan membunuh nyawa yang tidak berdosa," Evan bermonolog dalam hati. Pria itu bergegas keluar dari apartemen miliknya yang berada di kawasan Kuningan Jakarta, merupakan apartemen mewah garapan Adiguna group. Tujuannya saat ini adalah rumah mamanya, setelah hampir satu tahun dia meninggal tempat itu akhirnya Evan kembali kesana.
"Mbak Anin tidak apa-apa?" tanya laki-laki itu saat melihat Anin seperti kehilangan keseimbangan tubuhnya."Ah, tidak apa-apa cuma agak tidak enak badan saja," jawab Anin berbohong."Ada apa ya mas, untuk apa mas ....""Ghibran," tukas laki-laki itu."Iya, untuk apa mas Ghiban ingin bertemu dengan saya?" tanya Anin setenang mungkin."Saya memang di tugaskan oleh bapak Adiguna untuk mencari mbak Anin. Beliau bilang ingin bertemu dengan cucunya.""Cucu? kenapa ingin bertemu cucunya malah mencari saya, ha-ha!" Anin tertawa sambil menutup mulutnya untuk menutupi kegugupan dalam hatinya."Mbak Anin kan menikah dengan mas Evan, jadi jika mbak Anin hamil artinya itu cucu bapak Adiguna.""Saya memang menikah dengan mas Evan, tapi apa mas tidak tahu malam harinya saya diceraikan. Dan apa saya ini terlihat seperti wanita yang habi
"Kamu yakin dengan ucapanmu Anin?""Tentu yakin mas. Jika Albana kamu akui sebagai anak, nanti jika ada yang kesini lagi aku tak perlu menyembunyikan Albana. Jika dia bersamaku, maka akan aku bilang itu anak angkatmu.""Sebentar, sebentar. Apa maksudnya ini? aku masih binggung.""Jadi mas Fajar mengadopsi Albana, bilang semua orang disini untuk menjawab jika Albana adalah anakmu kalau ada orang baru yang bertanya. Birakan Albana memanggilmu Abi.""Jadi kamu ingin aku mengangkat Albana sebagai putra, bukan menikahimu?""Bukanlah mas, aku kan gak bilang gitu.""Tapi kan kalian satu paket, jika aku menikah denganmu maka Albana otomatis jadi anakku. Jika Albana jadi anakku, otomatis kamu jadi istriku. Begitu kan, makanya tadi saat kamu bilang jadilah abi Albana kupikir kamu sudah mau jadi istriku. Ck kamu PHP Anin.""Ih kok PHP sih mas, kamu aja yang salah mengartikan.""Ya sudah gak usah berdebat, aku kasih tahu ya ... di pesantre
Even mengemasi apartemen miliknya, furniture ditutup dengan kain berwarna putih untuk menghindari debu menempel di sana, sepertinya dia akan meninggalkan tempat itu dalam waktu yang lama. Mengawasi pembuatan masjid sekaligus gedung universitas pasti memerlukan waktu yang tidak sebentar.Setelah lelah mencari informasi tentang istrinya, dia mencari juga laki-laki yang ada di vidio bersama Anin kala itu. Vidio yang membuatnya mengambil keputusan yang disesali seumur hidupnya.Semua informasi dia dapatkan dari orang kepercayaannya, feeling-nya mengatakan jika laki-laki itu mungkin saja memanipulasi video itu jadi Evan enggan menemuinya secara langsung hanya menyuruh orang memaksa laki-laki itu membuka mulutnya. Dia enggan bertemu langsung karena takut tidak bisa mengendalikan dirinya dan membunuhnya.Menurut orang kepercayaannya, laki-laki itu memang sengaja memancing percakapan agar Anin mengatakan ji
Albana keluar rumah dalam gendongan Anin. Seperti kebanyakan ibu lainnya, Anin lebih protektif pada anaknya. Takut jatuhlah, takut ini itu dan lain-lain."Abi ...." Albana memekik dan meronta turun dari gendongan bundanya kemudian lari ke pelukan Fajar."Abi kangen," ucap Fajar sambil mencium pipi mulus Albana dan dibalas dengan pelukan oleh bocah mungil itu."Mas Fajar, sampai sini kapan?" tanya Anin."Tadi menjelang subuh," jawab Fajar. "Albana ku bawa ya, gak usah dititipkan ke day care. Hari ini aku masih belum ngajar," ucap Fajar"Emang enggak capek mas habis berkendara? kok mau jagain Albana segala.""Enggak kan ada temannya gantian nyupir. Eh iya kenalin ini ...." Fajar clingak-clinguk mencari Evan."Lah, kemana tuh orang?""Siapa?" tanya Anin"Temanku tadi dia ikutan kesini tapi kok tau-tau i
"Kalau kamu jadi mantan suaminya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Evan"Kalau aku tidak akan pernah membuatnya menjadi mantan istriku. Sekali dia kunikahi maka akan selamanya kupertahankan," jawab Fajar mantap."Bukan begitu maksudnya, misalkan kamu berada dalam posisi laki-laki yang membuatnya menjadi seperti itu," ucap Evan menegaskan."Kalau aku yaa tidak akan pernah kulakukan," kukuh Fajar. "Kau tahu, pernikahan adalah suatu yang sakral, perjanjian agung dengan Allah. Mana boleh di buat mainan, habis nikah dicerai setelah digauli. Niat awal ingin menghancurkan, laki-laki macam apa yang bisa berbuat seperti itu pada wanita yang dicintainya. Apa kamu tidak merasa kasian dengan mereka, Albanna tidak pernah melihat ayahnya sejak lahir. Anin, bundanya pun tidak pernah didampingi suaminya saat hamil dan melahirkan. Bahkan aku tidak yakin laki-laki itu tahu benihnya sudah tumbuh sebesar ini."
"Kemana biasanya kalian bermain mas!" pekik Anin lagi. Dia masih terus mengguncang tangan Fajar yang masih termangu tidak memahami situasi."Mas Fajar!" Anin memangil namanya sambil menarik tangannya kembali."I-iya, kami biasa bermain dirumahku," jawab Fajar tergagap.Tanpa menunggu fajar yang masih tercenung Anin berlari ke arah rumah Fajar seperti orang kesetanan. Fajar segera tersadar saat Anin sudah tidak ada di hadapannya, dia mengejar Anin dan meneriakkan namanya.Anin yang sudah ketakutan akan kehilangan Albana tidak peduli dengan panggilan Fajar. Dia trus berlari tanpa peduli keadaan, sepatu yang membuatnya kesulitan berlari pun dilepasnya dan di jinjing begitu saja.Sesampainya didepan rumah Fajar, dia mendengar gelak tawa Albanna terdengar nyaring dari luar rumah. Anin berhenti sebentar untuk mengatur nafasnya yang memburu, mengisi paru-parunya yang terasa kosong. Detak jantungnya begitu keras terdengar ditelinganya sendiri karena
"Assalamu'alaikum ...." Terdengar suara salam dari halaman rumah Fajar."Wa'alaikumsalam ...." Sahut Fajar dan Evan berbarengan, mereka baru saja masuk ke dalam rumah selepas salat Maghrib.Fajar segera membuka pintu rumahnya dan menengok tamunya, sepertinya dia sangat familiar dengan suara itu."Akhi Adit, silahkan masuk." Fajar mempersilahkan tamunya juga kawannya itu masuk kedalam rumah.Abdullah Aditiya Hakim, nama temannya yang dulu sama-sama kuliah di Mesir sekaligus putra pimpinan pesantren tersebut kadang dipanggil Abdullah, kadang Aditya tapi Fajar suka memanggilnya Adit. Sedangkan Hakim adalah nama belakang Abahnya"Habis jama'ah dicari langsung tidak ada, taunya sudah pulang aja," ucap Aditya sambil mendaratkan pantatnya di kursi."Ada apa, tumben nyariin?" tanya Fajar."Habis Maghrib langsung ke rumah ya, Abah pengen bicara dengan kalian berdua." Aditya langsung menjelaskan maksud dan tujuannya datang.Fajar d